Selasa, 24 Januari 2017

Kang Komar: Textual Culture



Textual Culture
Oleh: Komaruddin Hidayat

DARI sekian banyak agama, Islam paling menonjol dalam hal menghargai budaya tulis, dan paling kaya warisannya dalam teks keagamaan. Ini bermula dari keyakinan umat Islam dan bukti sejarah, bahwa wahyu dan mukjizat yang diberikan Allah pada Nabi Muhammad adalah kitab suci Alquran, bukan mukjizat seperti Rasul sebelumnya berupa peristiwa fisik-inderawi. Seperti Nabi Musa membelah lautan, Nabi Ibrahim tidak terbakar api, atau peristiwa banjir semasa Nabi Nuh.

Pada awalnya Alquran diwahyukan lalu dihafalkan, namun perkembangan seterusnya diabadikan dalam bentuk tulisan. Jadi, tradisi lisan dan tulisan berkembang bareng. Setahu saya tradisi menghafal kitab suci hanya terjadi di kalangan umat Islam. 

Penghargaan pada teks Alquran begitu tinggi karena Alquran diyakini sebagai firman Tuhan yang suci dan tidak boleh diubah. Makanya umat Islam sangat teguh membela kesucian Alquran, termasuk membela teks produk percetakan modern. Yang dibela substansinya, namun kertasnya ikut dimuliakan selagi di situ tertulis ayat-ayat Alquran.

Karena Alquran itu berbahasa Arab, maka kitab ini sudah diterjemahkan ke ratusan bahasa lain dengan jumlah eksemplar yang tak terhitung lagi. Yang juga sangat unik dan khas dalam tradisi Islam, Alquran telah mendorong lahirnya studi ilmu tafsir dan setiap zaman muncul ulama tafsir yang bertujuan menggali dan menemukan mutiara pesan-pesan Alquran yang tersembunyi di balik kata dan bahasa itu.

Makanya kita mengenal ratusan dan ribuan buku yang berusaha menafsirkan dan menguraikan ayat-ayat Alquran, baik yang utuh 30 juz maupun sebatas penggalan-penggalan surat dan ayatnya saja.

Di samping Alquran, munculnya budaya teks datang dari himpunan sabda Nabi Muhammad yang kemudian ditulis dan terhimpun dalam teks hadist, baik ucapan Nabi yang diyakini otentik, sahih, maupun riwayat yang dianggap lemah dan palsu. Kesemuanya terhimpun, untuk dokumentasi dan objek penelitian untuk membedakan mana riwayat hadist yang sahih dan palsu.

Kenyataan ini ikut memperkaya dan memperkuat tradisi penelitian, pemeliharaan dan penulisan teks sebagai tafsiran dan ulasan atas teks Alquran dan Hadist. Karena kedua sumbernya dianggap datang dari Tuhan, maka umat Islam sangat memuliakan kitab suci maupun hadist.

Jadi, pada abad ke-6 sampai ke-13, dunia Islam merupakan masyarakat yang paling maju, paling mengenal dan menghargai tradisi baca tulis. Ketika dunia Barat masih dalam kegelapan, dunia Islam telah terang benderang, bermunculan pusat-pusat studi keilmuan yang sangat produktif melahirkn teks.

Buku-buku klasik warisan Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang pada urutannya menyebar ke Eropa. Namun perkembangan selanjutnya pusat-pusat kemajuan dunia bergeser.

Ketika dunia Islam cukup puas dengan warisan budaya tekstual dan disibukkan oleh perebutan kekuasaan politik, Eropa meneruskan apa yang dirintis dunia Islam dalam bidang ilmu pengetahuan empiris warisan Yunani yang diperkenalkan oleh ilmuwan muslim.

Tidak sekadar mewarisi dan meneruskan, secara kreatif dan inovatif Eropa mengembangkannya. Makanya khazanah teks keagamaan tetap terjaga dalam Islam sampai hari ini, namun kegiatan riset keilmuan empiris telah beralih dan berkembang pesat di Barat. Umat Islam terpaku pada pendekatan jadali dan mau'idhoh dalam memaknai dan mengembangkan Islam.

Metode jadali itu sebuah pendekatan debat beradu dalil dan argumen, sedangkan mau'idhoh itu nasihat berupa ceramah-ceramah, tapi sangat kurang mengembangkan pendekatan riset empiris dengan menggunakan instrumen laboratorium. Juga melemah pendekatan bilhikmah atau filosofis dengan metode burhani atau demonstratif thinking.

Akibatnya, wajah dunia Islam tak lagi ditandai sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kajian filsafat yang berdiri paling depan. Yang menonjol tradisi ritual dan budaya tekstual keagamaan yang diperdebatkan dan diceramahkan.

Budaya ceramah dan kesetiaan pada tradisi teks sangat kuat, namun tidak diimbangi dengan inovasi sains empiris. Ini juga terlihat di Indonesia. Akan dianggap kurang Islami kalau sebuah pidato tanpa disertai teks suci.

Semakin banyak menyebut teks akan dinilai semakin Islami. Padahal kalau kita baca Alquran banyak ayatnya yang menyuruh membaca dan melakukan rekayasa ayat kauniyah atau ayat semesta secara saintifik empiris yang pada urutannya melahirkan teknologi modern.

Karena cara berpikirnya seperti itu, maka banyak yang heran dan protes ketika UIN Jakarta mendirikan fakultas umum, misalnya Fakultas Kedokteran. Dinilainya itu akan mengurangi perhatiannya pada kajian Islam.

Mereka lupa bahwa Islam menyuruh umatnya sehat, maka wajib mendirikan Fakultas Kedokteran. Islam menyuruh akuntabel dalam transaksi bisnis, maka UIN wajib membuka program studi akuntansi. Demikianlah seterusnya.

Jadi, pemikiran dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum itu dalam Islam hanya dikenal secara epistemologis sebagai disiplin keilmuan, namun bukan sebagai moda kehidupan (way of life) dan moda berfikir (mode of thinking). Jika mindset ini tidak berubah, siap-siap saja menghadapi kekalahan atau bahkan ditaklukkan oleh dunia non-muslim yang lebih maju dalam bidang sains, teknologi dan senjatanya. Dan itu sudah dan tengah terjadi. []

KORAN SINDO, 20 Januari 2017
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar