Ketuhanan
Abdul Wahid Hasjim
Oleh:
Yudi Latif
Cara
mencari Tuhan dengan tegak lurus di jalan-Nya adalah trayek yang dilalui Abdul
Wahid Hasjim. Ia tumbuh dalam lingkungan religius dan sejak kecil menunjukkan
ketertarikan pada masalah-masalah keagamaan; lantas memperdalam ilmu-ilmu
keagamaan dan berakhir sebagai pemimpin (tokoh) keagamaan.
Ia adalah
"putra dari Bapaknya", Hadlratussyeikh KH Muhammad Hasjim Asj'ari,
pendiri NU dan Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Pesantren yang
terkenal sebagai pusat teladan dari modernisasi komunitas epistemik Islam
tradisionalis.
Didirikan
pada 1899, pesantren ini pada mulanya cenderung rejektif terhadap pengaruh
modernitas dengan memilih strategi otentisasi berbasis tradisi lokal. Selama
hampir dua puluh tahun pertama sejak pendiriannya, pesantren ini mempertahankan
metode-metode pengajaran tradisional seperti sorogan dan wetonan.
Pada
1916, Kiai Ma’sum (anak menantu pertama Kiai Asj’ari yang pernah belajar di
Makkah) memperkenalkan sistem pendidikan madrasah di lingkungan pesantren, yang
kelak pada 1919 dikenal sebagai madrasah “Salafiyah Syafi’iyah”. Sejak
didirikan, madrasah ini telah mengadopsi sistem kelas berjenjang dan pengajaran
dalam kelas. Namun, baru pada 1919, pelajaran-pelajaran umum mulai bisa
diajarkan karena adanya resistensi yang kuat di dalam pesantren terhadap apa
pun yang berbau modern (Dhofier, 1982: 104).
Upaya
lebih jauh untuk memodernisasi madrasah ini dilakukan oleh Mohammad Iljas
(lahir 1911, anak dari kakak perempuan istri Asj’ari). Latar belakang
pendidikannya sungguh tak lazim untuk kalangan Muslim tradisional. Dia belajar
di HIS di Surabaya (1918-1925), kemudian setelah menyelesaikan pendidikan
modernnya ini, dia memilih untuk memperdalam pengetahuan keagamaan di Pesantren
Tebuireng. Pada 1929, dia diangkat sebagai lurah di pesantren itu dan menjadi kepala
sekolah madrasah “Salafiyah Syafi’iyah”. Di bawah kebijakannya, kurikulum
madrasah tersebut memberikan lebih banyak penekanan terhadap pengajaran ilmu
alat (bahasa Arab) dan yang lebih penting, mulai memperkenalkan
pelajaran-pelajaran umum dan meningkatkan pengetahuan umum para siswa dengan
memperkenalkan koran, majalah, dan buku-buku yang ditulis dalam huruf Latin
(Soekadri, 1979: 56).
Kebijakan
modernisasi ini dilanjutkan oleh sang "Putra Mahkota", Abdul
Wahid Hasjim (1913-1953). Awalnya dia belajar di pesantren ayahnya dan
pesantren-pesantren yang lain. Selain itu, ia juga belajar bahasa Belanda dan
bahasa Inggris secara autodidak, serta membaca koran dan majalah baik yang
ditulis dengan huruf Arab maupun huruf Latin, sebelum kemudian menghabiskan
waktu setahun untuk belajar di Makkah (1932-1933).
Saat
kembali, dia mendirikan sebuah madrasah modern dalam lingkungan pesantren
ayahnya yang diberi nama madrasah “Nidhomiyah”. Sekitar 70% dari kurikulum
madrasah ini dicurahkan pada pelajaran-pelajaran umum, seperti bahasa Belanda
dan bahasa Inggris, selain juga bahasa Arab. Selain itu, dia mulai mendirikan
sebuah perpustakaan yang berlangganan berbagai koran dan majalah, terutama yang
ditulis dengan huruf Latin. Pelajaran-pelajaran berpidato dalam bahasa Belanda
dan Inggris, serta mengetik juga mulai diperkenalkan kepada para siswa
(Dhofier, 1982: 106; Soekadri, 1979: 57).
Dengan
ilmu keagamaan yang mendalam, serta wawasan pengetahuan umum yang relatif luas,
Wahid Hasjim tampil sebagai ulama-intelek, yang memberinya modal sosial untuk
tampil sebagai pemimpin muda yang meroket saat pendudukan Jepang. Dengan
politik Jepang yang pada mulanya mencoba menarik simpati komunitas Islam
pedesaan, posisi KH Hasjim Asj'ari sebagai pemimpin kharismatis secara fungsional
praktis dijalankan oleh Wachid Hasjim.
Selama
masa pendudukan Jepang, kendatipun Jepang berusaha untuk “mendekati”
tokoh-tokoh Islam, Wahid Hasjim memperlihatkan dirinya sebagai sosok pemimpin
Islam berintegritas yang “tak dapat dijepangkan”.
Cerminan
keberaniannya terlihat dalam kisah perjalanan naik kereta dari Stasiun Kroya
menuju Jakarta menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, seperti yang
diceritakan kembali oleh Saifuddin Zuhri:
"Sudah
beberapa hari saya dalam perjalanan bersama Alm KH A. Wahid Hasjim. Kereta-api
malam berhenti agak lama di stasiun Banjarpatoman dekat Tasikmalaya. Sudah
hampir jam setengah empat malam, padahal kami belum menyediakan sahur. Ketika
itu sudah masuk bulan Ramadhan, menjelang bulan Agustus 1945. Dengan melalui
penumpang-penumpang yang sangat padat bergelimpangan tidur di bordes, saya
turun sebentar di peron stasiun untuk membeli apa akan saya beli; sudah
kedahuluan dibeli orang lain yang barangkali perlu buat sahur, sehingga saya
hanya berhasil memperoleh 4 butir telor ayam rebus. Ah lumayan juga buat sahur!
Waktu akan dimakan dengat niat untuk sahur puasa wajib, Alm. K.H.A. Wahid
Hasjim menanyakan mana air buat minum? Karena saya tidak berhasil memperoleh
air minum, maka sambil kelakar saya menjawab: ‘Zonder minuman tak apa, toh
besok pagi kita haus juga...!
....Sejak
kami naik di stasiun Kroya, 3 orang opsir Jepang yang duduk bersama kami di
kelas I itu senantiasa mengawasi gerak-gerik kami dengan pandangan
mencemoohkan. Pada waktu kami memerlukan air minum buat sahur, mereka
mengejek-ejek, seorang di antaranya membuang air tehnya yang masih panas dari
persediaan termosnya. Itu waktu saya sudah mulai naik darah, tetapi Alm. K.H.A.
Wahid Hasjim menenangkan hati saya sambil menasehati bahwa janganlah kita
ributkan perkara kecil itu. Nanti akan datang saatnya kita membikin perhitungan
dengan mereka secara besar-besaran dalam masalah yang besar, katanya sambil
mengulang-ulang sabar, sabar!
Rupanya
Jepang-Jepang itu tidak senang ada ‘genyuming-genyuming’ seperti kami berdua
duduk di kelas I menyamai mereka, padahal seharusnya mereka tahu bahwa orang
yang bisa duduk di kelas I menyamai mereka, padahal seharusnya mereka tahu
bahwa orang yang duduk di kelas I di waktu itu bukanlah ‘genyuming’ sembarangan...!
Caranya mencemoohkan kami diteruskan lagi yaitu ketika Alm KH A. Wahid Hasjim
hendak mengembangkan baju mantelnya buat sajadah ketika kami hendak sembahyang
Subuh di peron stasiun Cibatu; salah seorang opsir Jepang tadi meludah di
lantai yang akan kami gunakan untuk sembahyang. Hati saya bertambah panas, tapi
Alm KH A. Wahid Hasjim tetap tenang dan berkata bahwa peristiwa itu belum
saatnya untuk memuntahkan amarah, katanya. Akan tetapi setelah terjadinya
‘peristiwa jendela’ rupanya beliau tidak bisa menjadi orang sabar
terus-menerus. Peristiwa-jendela itu duduknya perkara demikian:
Kami
berdua duduk bersanding menghadap arah jalannya kereta-api. Kereta-api yang
berjalan di lereng-lereng pegunungan di daerah Priangan itu menyebabkan
lokomotif mengeluarkan tenaga maksimalnya sehingga menyebabkan banyak
menghamburkan abu dan api, memasuki tempat duduk. Karena abu dan api itu
langsung mengenai kami berdua, maka Alm KH A. Wahid Hasjim lalu menutup jendela
di samping kami. Melihat itu tiba-tiba dari mulut salah seorang Jepang yang
duduk di muka kami itu keluar perkataan: ‘Kurang ajar, bakero!’ Almarhum
menjawab kontan: ‘Tuan yang kurang ajar!’, ‘Ojo berani sama Nippon!’, kata
Jepang itu. Tapi dengan cepat tangan almarhum memegang pedang samurai kepunyaan
Jepang itu hendak direbutnya jikalau tidak dihalang-halangi oleh Jepang-Jepang
yang lain. Suasana dalam kereta-api kelas I sudah hampir panik, akan tetapi
tiba-tiba salah seorang Jepang yang lain segera mendekati kami sambil senyum
kecut dengan katanya: ‘Kami minta maaf kepada Tuan, maaf maaf!’, sambil
tangannya menahan tangan almarhum. Dengan sikap menguasai dirinya KH A. Wahid
Hasjim berkata: ‘Tuan harus tahu, peristiwa ini akan saya bikin panjang,
menjadi peristiwa antara bangsa dengan bangsa!’ Saya tidak tahu, apakah
Jepang-Jepang itu mengerti arti perkataan yang tajam itu. Tetapi saya yakin,
bahwa jiwa daripada kalimat-kalimat gagah yang dikeluarkan dengan penuh
kesadaran dari jiwa yang besar tentu akan mempunyai dasar dan bekas yang sangat
kuat. Entah karena akibat insiden itu atau memang menurut rencana, maka pada
waktu kereta-api tiba di stasiun Bandung, Jepang-Jepang itu turun semua. Sambil
mataku mengikuti langkah-langkah Jepang yang hendak meninggalkan kereta kita,
dari mulut saya melompat kata-kata: ‘Rupanya Jepang-Jepang ini sedang
menghadapi sekaratnya!’ Dengan muka geram, KH A. Wahid Hasjim menyambung:
‘Setan gundul’ sedang sekarat, tindakannya semangkin gila! Istilah ‘setan
gundul’ atau ‘syayatin’ biasa digunakan beliau untuk mengganti nama Jepang yang
sedang berkuasa di negeri kita di waktu itu (Aboebakar, 2011: 202-205).
Begitulah
sosok Wahid Hasjim: teguh dalam pendirian, namun tetap mengembangkan semangat
persaudaraan melintasi batas-batas ideologi dan agama. Tak heran, menjelang dan
selama revolusi kemerdekaan, ia tampil sebagai sosok pemimpin muda Islam dengan
peran kepemimpinan yang menonjol. Sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), ia terpilih sebagai anggota tim kecil panitia
delapan bentukan resmi BPUPK; Ia juga menjadi anggota tim kecil Panitia
Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Setelah itu, ia juga terlipih sebagai
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mengesahkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai
pemimpin Islam, semasa kontestasi ideologi yang sengit, wajar saja bila
beliau memiliki agenda keislaman. Yang membuatnya istimewa, posisi pendapatnya
masih bisa menerima argumentasi yang berbeda dalam proses permusyawaratan.
Sekali mufakat dicapai, beliau komit pada kesepakatan bersama: mendukung negara
persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan.
Wahid
Hasjim punya andil besar dalam usaha perwujudan negara Indonesia sebagai negara
religius yang inklusif; dengan "menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu."
Setelah
kemerdekaan, beliau terpandang sebagai tokoh Islam yang pernah memimpin
kementerian agama dengan pergaulan yang luas dan luwes. Tokoh muda NU ini bisa
berdiskusi berjam-jam sampai larut malam dengan orang yang disapa “Paman
Husein” yang tak lain adalah Tan Malaka yang berhaluan kiri. Wachid Hasjim
menghormati Tan Malaka, dan begitu juga sebaliknya. Perdebaan pandangan politik
tidak membuat keduanya saling menjauh tetapi saling menghargai. “Sepanjang dia
tidak mengganggu, tidak ada salahnya kita menjalin hubungan baik,” begitu
dinyatakan Gus Dur mengutip ayahnya.
Wahid
Hasjim juga mengembangkan sikap toleransi yang positif dengan proaktif menjalin
pergaulan lintas aliran, lintas ideologis. Seperti dikisahkan oleh anaknya yang
lain, Salahuddin Wahid, bahwa ayahnya sering mengajak anak-anak berkunjung ke
rumah Soebardjo, atau menyambangi tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Prawoto
Mangkusasmita. Lebih dari itu, Wahid Hasjim juga rajin berkunjung ke rumah
tokoh yang berbeda paham, misalnya Mohammad Yamin dan Mr. Sartono dari Partai
Nasional Indonesia. Menurut Salahuddin, “Bapak hendak menunjukkan kepada kami,
ia tidak pernah membeda-bedakan orang” (Tempo, 2011: 32).
Dalam
mengembangkan sikap saling menghargai, Kiai Hasjim bisa menentukan secara
dewasa kapan bisa berbeda, kapan bisa tetap bersaudara. Urusan politik tidak
dicampuradukkan dengan urusan (hubungan pribadi). Beliau pernah menegur
istrinya, Solehah, karena menolak memberi tumpangan kepada seorang anggota
Konstituante yang menyudutkan Kiai Hasjim dalam sidang. Dengan jernih pak Kiai
mengingatkan istrinya, “Urusan pekerjaan dan pribadi tak bisa dicampur-aduk,”
ujarnya (Tempo, 2011: 58-59).
Terhadap
sesama tokoh Muslim sendiri, ia memperlihatkan semangat saling menghargai dan
menghormati dengan memanjangkan tali silaturahim. Seusai shalat jumat di
Masjid Matraman, Bung Hatta dan A. Wahid Hasjim biasa berbincang-bincang (Barton,
2012: 37). Wahid Hasjim yang NU, pada masa revolusi fisik menjadi penasihat
pribadi Panglima Besar Soedirman yang tokoh Muhammadiyah. Bahkan Gus Dur, putra
sulung Wahid Hasjim, ketika sekolah di Yogyakarta dititipkan pada tokoh
Muhammadiyah, KH Juneidi yang anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Gus Wahid
meninggal dalam usia yang relatif pendek (40 tahun), namun meninggalkan
keteladanan yang panjang; jadi role model bagi generasi penerusnya:
berislam yang kuat namun penuh welas asih, dengan menghargai dan melindungi
yang berbeda. []
NU
ONLINE, 05 Januari 2017
Yudi
Latif | Pemikir bidang keagamaan dan kenegaraan; penulis buku
"Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar