Lingkungan
Strategis dan 2017
Oleh: Susilo Bambang Yudhoyono
Sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya, dunia tak pernah sepi dari kecenderungan (trend), hal-hal yang
tidak diketahui (unknowns), dan juga pengubah jalannya sejarah (game changers).
Kita
mengetahui bahwa ada sejumlah megatrend di awal abad ke-21 ini, seperti
transformasi demografi, lompatan teknologi, gelombang urbanisasi, dan makin
meluasnya globalisasi.
Sementara
itu, pada tahun 2016 dunia memiliki banyak unknowns, misalnya kita belum tahu
apakah Inggris jadi keluar dari Uni Eropa (Brexit), siapa yang akan menjadi
presiden Amerika Serikat Hillary Clinton atau Donald Trump, dan apakah Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tetap kuat atau semakin lemah posisinya di
Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kini
unknowns tersebut banyak yang sudah mendapatkan jawabannya. Melalui artikel
ini, saya akan fokus pada dua hal. Pertama, perkembangan dan dinamika
geopolitik dan geoekonomi yang bisa terjadi pada tahun 2017 dan tahun-tahun
berikutnya. Sementara yang kedua, game changers apa yang bakal memiliki daya
ubah yang tinggi pada tingkat global dan kawasan.
Tiga
front besar geopolitik
Di arena
geopolitik, dunia masih menghadapi tiga front besar, yaitu situasi di Timur
Tengah dan Afrika Utara, perkembangan di Asia Timur dan Asia Tenggara,
khususnya konflik di Laut Tiongkok Selatan, dan meningkatnya aksi-aksi
terorisme di Eropa.
Khusus di
Timur Tengah dan Afrika Utara, penentu utamanya adalah Suriah dan NIIS. Jika
ada perbaikan situasi keamanan di Suriah, dunia bisa menjadi lebih lega. Jika
Amerika Serikat dan negara-negara Barat mulai disengaged atau tidak melibatkan
diri lagi atas konflik Suriah, bola ada di tangan Bashar al-Assad, Rusia, Iran,
dan Turki.
Jika
Suriah bisa mengontrol kembali wilayahnya pasca ofensif besar di Aleppo
bersamaan dengan melemahnya kaum pemberontak (oposisi) dan NIIS, secara
signifikan keamanan di Suriah akan membaik.
Jika
memang kekuatan dan gerakan konvensional NIIS benar-benar melemah, situasi di
keseluruhan kawasan secara gradual juga akan berubah. Namun, saat ini terlalu
dini untuk mengatakan bahwa perbaikan situasi itu pasti akan terjadi.
Yang dikhawatirkan
adalah melemahnya perlawanan NIIS di Timur Tengah dan Afrika Utara justru akan
meningkatkan aksi-aksi terorisme di Eropa bahkan di bagian dunia yang lain.
Sementara
itu, terpilihnya Rodrigo Duterte menjadi Presiden Filipina yang baru memang
telah mengurangi ketegangan di Laut Tiongkok Selatan. Namun, Filipina bukanlah
negara penentu, sungguh pun negeri itu berada di garis depan konflik.
Masih ada
yang lebih menentukan, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Kita harus menunggu
seperti apa sikap dan manuver Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump
kelak. Makin memanasnya situasi konflik di Laut Tiongkok Selatan sudah barang
tentu akan berpengaruh pada wilayah ASEAN, di mana Indonesia berada.
Tren dan
realitas geoekonomi
Di bidang
geoekonomi, kita mengamati sejumlah kecenderungan dan realitas. Pertumbuhan
ekonomi global diperkirakan akan sedikit lebih baik dari tahun 2016, tetapi
belum sepenuhnya pulih dari krisis besar tahun 2008-2009.
Kawasan
Asia dengan motor penggerak Tiongkok juga masih akan mengalami tekanan kendati
ekonomi ASEAN diperkirakan akan lebih baik. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang
jauh lebih rendah dari era kejayaannya dulu tentu menjadi berita kurang baik
bagi mitra-mitranya yang memiliki kerja sama ekonomi yang signifikan, termasuk
Indonesia.
Nasib
negara-negara yang pasarnya masih bertumbuh (emerging markets), termasuk
Indonesia, juga belum pulih benar dari perlambatan ekonominya.
Kabar
yang sedikit menggembirakan adalah ekonomi Indonesia punya peluang untuk
menggeliat dengan outlook yang stabil. Menurut pandangan saya, hal ini
dimungkinkan karena di samping akan ada perbaikan harga-harga komoditas
pertanian dan minyak, Indonesia juga menjanjikan berbagai peluang investasi.
Dengan
uraian tentang kecenderungan global, sejumlah unknowns dan perkembangan
geopolitik dan geoekonomi yang telah saya kedepankan tadi, ada lagi yang mesti
kita lihat baik-baik, yaitu game changers.
Dari
sejumlah game changers, mari kita amati apa yang kira-kira akan dilakukan oleh
empat pemimpin dunia, yaitu Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden
Tiongkok Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Kanselir Jerman Angela
Merkel.
Kecuali
Donald Trump, kebetulan saya mengenal secara pribadi para pemimpin dunia itu
sehingga sedikit banyak saya mengetahui kepribadian, visi, dan pikiran-
pikirannya.
Jika
Trump menjalankan politik luar negeri yang lebih "keras" dan hostile
(bermusuhan) terhadap Tiongkok, sebagaimana yang diretorikakan dalam kampanye
pemilihan presiden yang lalu, geopolitik di kawasan Asia bakal makin panas.
Situasi
keamanan mulai semenanjung Korea, Asia Timur, hingga Laut Tiongkok Selatan juga
akan lebih rawan, bahkan berbahaya. Faktornya bukan hanya terletak pada Donald
Trump yang tindakannya bisa saja tak terduga, melainkan juga pada Xi Jinping
yang kita kenal sebagai pemimpin yang "keras" dan memiliki mimpi
besar bagi kejayaan Tiongkok pada abad ke-21 ini.
Faktor
Putin juga memiliki pengaruh yang sangat kuat (powerful). Bukan hanya urusan
Suriah, melainkan juga untuk Eropa bahkan Asia Timur. Putin juga merasa
memiliki kewajiban moral untuk mengembalikan kejayaan Rusia yang susut sejak
berakhirnya Perang Dingin 25 tahun yang lalu.
Pernyataan
baik Trump maupun Putin baru-baru ini tentang perlunya kekuatan nuklir yang
tangguh bagi negaranya masing-masing telah memunculkan kecemasan baru bagi
dunia.
Sementara
itu, masa depan Angela Merkel, tokoh terkuat dan berpengaruh di Eropa, juga
akan memiliki implikasi bagi dunia, utamanya kawasan Eropa. Jika Merkel tetap
kuat, kebijakannya yang pro imigran akan tetap berlaku meskipun barangkali akan
mengalami penyesuaian.
Kita tahu
bahwa gelombang imigran ke Eropa ini menjadi masalah yang rumit dan sensitif di
lingkungan Uni Eropa bukan hanya menyangkut aspek kedaulatan dan keamanan,
melainkan juga ekonomi.
Kesalahan
dalam mengelola eksodus kaum migran ini dapat menimbulkan ancaman baru di
bidang keamanan, termasuk terorisme.
Tentu
masih banyak nama pemimpin dunia yang bisa menjadi game changers di masa depan,
tetapi itulah yang paling perlu untuk kita amati.
Fenomena
lain yang menarik perhatian masyarakat internasional satu-dua tahun terakhir
ini adalah gejala, mungkin juga kecenderungan, makin meningkatnya nasionalisme,
proteksionisme, dan akhir- akhir ini "penolakan" (rejection) terhadap
konsensus global yang telah disepakati.
Sikap dan
pandangan yang makin nasionalistik dapat diamati misalnya keluarnya Inggris
dari Uni Eropa, sikap Donald Trump yang boleh dikatakan nasionalistik, termasuk
dalam batas-batas tertentu juga Xi Jinping dan Vladimir Putin.
Ancaman
proteksionisme
Proteksionisme
juga memiliki tendensi yang meningkat. Kendati dalam forum global, seperti G-20
dan APEC, semua pemimpin beretorika menolak proteksionisme, kenyataannya
kebijakan yang proteksionis di sana-sini masih dianut.
Yang
tergolong baru adalah munculnya penolakan atau sikap yang berbeda dari sejumlah
pemimpin dunia terhadap berbagai konsensus global. Sebagai contoh, jika tidak
ada perubahan, di bawah Trump Amerika Serikat tidak lagi menjadi champion
perubahan iklim.
Trump
juga bisa menarik diri dari TPP (Trans-Pacific Partnership) yang justru
inisiator dan yang paling berkepentingan adalah Amerika Serikat sendiri.
Semangat dunia untuk mengurangi senjata nuklir bisa mundur kembali dengan tekad
Trump dan Putin untuk mempertahankan bahkan meningkatkan senjata-senjata nuklir
mereka.
Sementara
itu, jika negara-negara di Eropa lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya
masing-masing, tentu masa depan Uni Eropa akan menghadapi tantangan baru.
Hal
seperti ini juga bisa terjadi di ASEAN. Kohesi dan peran sentral ASEAN di
kawasan Asia bisa melemah jika kepedulian dan komitmen para pemimpin ASEAN
terhadap kemitraan dan kerja sama subkawasan melemah.
Kalau
hal-hal seperti ini terjadi, upaya banyak negara untuk membangun arsitektur
kerja sama regional yang bisa menghadirkan stabilitas dan keamanan kawasan
serta kerja sama ekonomi yang kuat dan terus meningkat bakal mengalami
kemunduran.
Jika
sikap dan perilaku nasionalistik, proteksionis, dan membatalkan berbagai
kesepakatan regional dan global terjadi pada tahun 2017, tatanan dunia baru
tengah dibangun kembali. Yang perlu diingat, perubahan tata world order selalu
menghadirkan instabilitas dan ketidakpastian karena memang demikianlah hakikat
sebuah perubahan besar yang kompleks.
Bagi
Indonesia, perlu dilakukan langkah-langkah antisipatif menghadapi perkembangan
dan dinamika lingkungan strategis ini agar kepentingan nasional dapat
senantiasa kita lindungi dan penuhi. []
KOMPAS, 2
Januari 2017
Susilo
Bambang Yudhoyono | Presiden Republik Indonesia 2004-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar