Trump dan
Islam (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Menyaksikan
Donald Trump, Presiden ke-45 Amerika Serikat yang baru dilantik 20 Januari 2017
lalu, mendengar bacaan ayat-ayat Alquran, terlihat dia berusaha menyimak
dengan baik. Dia juga terlihat mencolek istrinya yang sibuk dengan lembaran
kertas yang dipegangnya agar tenang.
Ayat
Alquran yang dibacakan Imam Mohammed Magid, Direktur Eksekutif All Dulles
[bagian Washington D.C.] Area Muslim Society, memang patut direnungkan Presiden
Trump khususnya. Imam Magid pertama membaca Surah al-Hujurat ayat 13 yang
menyatakan; manusia diciptakan Allah dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan; dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
saling mengenal (li ta’arafu);
dan di sisi Allah, orang paling mulia di antara manusia adalah orang yang
paling bertaqwa.
Imam
Magid kemudian membaca ayat Alquran kedua, Surah al-Rum ayat 22, yang
menyatakan; di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah menciptakan langit dan
bumi, dan berlain-lainan bahasa dan warna kulit [umat manusia]; dan
sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang mengetahui.
Menyimak
kandungan dan pesan kedua ayat Alquran itu, jelas Imam Magid bukan tanpa maksud
memilihnya. Kedua ayat jelas mengingatkan Presiden Trump dan warga Amerika
khususnya tentang sejarah dan realitas kemajemukan dan keragaman negara ‘Paman
Sam’. Padahal keragaman diakui konstitusi Amerika dan juga prinsip negara e pluribus unum, dalam pluralitas
[terdapat] kesatuan. Prinsip ini persis sama dengan bhinneka tunggal ika, salah
satu dari empat prinsip negara-bangsa Indonesia.
Pernyataan
Presiden Trump sejak masa kampanye sampai pidato inaugurasinya nampak menolak
keragaman. Semasa kampanye dia misalnya menyatakan bakal melarang Muslimin
masuk AS; membuat tembok tinggi di perbatasan dengan Meksiko sehingga mencegah
orang Hispanik atau Latino masuk Amerika.
Trump
nampaknya tidak berubah banyak setelah terpilih sebagai presiden. Dalam pidato
inaugurasinya, Trump memang tak menyebut lagi ‘melarang Muslim memasuki AS’.
Tapi dia mengeluarkan pernyataan yang tidak kurang konfrontatif, antara
lain;…”[we] will unite the
civilized world against radical Islamic terrorism, which we will eradicate
completely from the face of the earth”.
[…akan
menyatukan negara dunia beradab melawan terorisme Islam radikal, yang kami akan
lenyapkan sepenuhnya dari muka bumi].
Menjadi
tanda tanya besar tentang bagaimana Trump bisa menyatukan ‘dunia beradab’
dengan cara konfrontatif dan pendekatan keras (hard approach). Berbagai kajian
ilmiah tentang pemberantasan terorisme memperlihatkan, hard approach tidak
selalu efektif menyelesaikan radikalisme dan terorisme—tidak hanya di kalangan
Muslim, tapi juga di antara penganut agama-agama lain.
Tetapi
selain masalah tersebut, nada Trump yang konfrontatif dan Islamo-fobik mendapat
kecaman dari banyak tokoh Muslim moderat baik pemimpin agama maupun akademisi.
Dengan mengecam Trump tidak berarti mereka ‘merestui’—apalagi mendukung
radikalisme atau terorisme. Sederhananya, pernyataan dan pendekatan Trump bisa
sangat kontra-produktif dalam upaya menyelesaikan masalah radikalisme dan
terorisme; sebaliknya ketegangan, konflik dan kekerasan dapat menemukan raison
d’etre dan momentum baru dalam skala sulit dibayangkan.
Skenario
gelap itu bukan hanya terpikirkan para pemimpin Islam. Banyak kalangan Amerika
sendiri dan Barat lainnya juga memprediksi skenario menyedihkan.
Salah
satunya adalah Jackson Diehl, Deputy Editorial Page Editor, koran The Washington Post. Dalam
tulisannya yang diterbitkan The
Washington Post (14/12/2016 sebelum inaugurasi Donald Trump), Diehl
menyatakan, Trump akan membawa Barat [khususnya AS] ke dalam tahap ketiga,
tahap tergelap, dalam usaha selama 15 tahun terakhir menetralisasi ekstrimisme
Islam. Tahap itu disebut Diehl sebagai ‘Trump’s Coming War against War’.
Menurut
Diehl, tahap pertama adalah ‘inisiatif kebebasan’ Presiden G.W.Bush. Inisiatif
ini didasarkan pandangan, liberalisasi politik Timur Tengah dari rejim otoriter
bakal membuat keringnya sumber rekrutmen kelompok radikal dan teroristik.
Fase ini
gagal. Liberalisasi politik di Dunia Arab memang berhasil menumbangkan
rejim-rejim otoriter. Tetapi, liberalisasi politik diikuti kekacauan, kekerasan
dan perang masih berlanjut sampai sekarang.
Fase
kedua adalah kebijakan Presiden Obama berdasarkan ‘engagement’ melalui dialog
yang saling menghormati dan kesediaan mendengar kaum Muslim yang menuntut
keadilan. Pendekatan ini yang diharapkan tidak lagi menjadikan Amerika dan
Barat lain sebagai target kekerasan juga berujung kegagalan.
Kini
Presiden Trump menempuh cara dan pendekatannya sendiri yang dalam perspektif
kebijakan Bush dan Obama secara moral keliru dan kontra-produktif. Hal ini tak
lain karena Trump menciptakan konflik peradaban. []
REPUBLIKA,
26 January 2017
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar