Serangan
Jantung Budaya
Oleh:
Yudi Latif
Mental
primordial budaya Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam samudra,
yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati
dirinya.
Pada
1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore
berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yang
tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara
keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan kesan
mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan
relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar
darinya.
Menyaksikan
pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan, "Orang
Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu
sendiri." Lantas ia simpulkan, "Aku melihat India di mana-mana di
Pulau Jawa, tetapi tidak tahu di mana sisi India yang sesungguhnya" (Das
Gupta, 2002). Arkeolog Belanda ternama, FDK Bosch (1946), melukiskan genius
Nusantara sebagai kemampuan mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang warisan
budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis, yang berujung
kelahiran tipe peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Lebih
lanjut, Bosch menjelaskan, pengaruh India di Nusantara bukan melalui kedatangan
para ksatria dari India; tidak pula tersebar oleh koloni-koloni dagang India.
Pengaruh India itu tampak dalam pengadopsian bahasa Sanskerta; bahasa suci dan
ilmiah, yang orang-orang awam India sendiri belum tentu menguasainya. Alhasil,
proses indianisasi itu ditransmisikan melalui ranah intelektual, utamanya dalam
domain keagamaan, dengan inisiatif para klerikus Nusantara menyerap cerlang
budaya-spiritualitas dari India.
Spiritualitas-ketuhanan
adalah jantung budaya Nusantara, dengan kaum cendekiawan (guru) keagamaan
sebagai agen budaya terpentingnya. PJ Zoetmulder menyimpulkan, tradisi filsafat
yang berkembang pada masyarakat Indonesia utamanya menyangkut filsafat yang
berkaitan dengan ketuhanan. Berbeda dengan filsafat Barat yang lebih obyektif
dengan kecenderungan mengarahkan kesadaran pada dunia di luar dirinya, filsafat
Nusantara lebih reflektif-introspektif dengan mengarahkan kesadaran pada
dirinya sendiri. Implikasi dari proses introspektif ini, filsafat Nusantara
lebih menekankan laku (perbuatan) ketimbang teori.
Clifford
Geertz, dalam Religion as a Cultural System (1966), menengarai adanya dua inti
keberagamaan: world view (sistem keyakinan dan pandangan dunia) dan ethos
(nilai moral, emosi, dan motivasi). Pandangan dunia religi primordial di Tanah
Air ini bersifat iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
merupakan pasangan-pasangan yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi,
saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.
Pandangan
hidup modern, yang berbasis pada logika Aristotelian, menolak entitas
kontradiktif yang mengakui adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling
bertentangan. Namun, dalam logika primordial suku-suku bangsa di Indonesia,
segala sesuatu itu bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme. Hidup
berkembang dalam logika dwitunggal, loro ning atunggal (dua yang menyatu).
Bahkan, yang "beragam itu" (Bhinna ika) pada dasarnya bisa dilihat
sebagai "satu itu" (tunggal ika). Segala Keragaman yang saling
bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari "Yang Esa"
(Tuhan), yang tidak bergantung (Sumardjo, 2014).
Dengan
pandangan hidup seperti itu, etos budaya Nusantara bersifat adaptif,
gradualistik, estetik dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak
atau paling jauh hanya bisa ditoleransi selama tak membahayakan. Sebaliknya,
perbedaan harus diterima secara riang gembira sebagai bagian dari kesempurnaan
hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling menyerap, saling berbagi, saling
menghormati. Dalam perkembangannya, pandangan hidup dan etos Nusantara itu
tidaklah bergerak di ruang hampa yang kedap pengaruh dari luar. Karena letak
geografisnya yang strategis serta kekayaan alamnya yang berlimpah, Nusantara
merupakan "jalur persilangan", yang mengundang arus masuk beragam
peradaban.
Radiasi
budaya
Dalam
proses perubahan kebudayaan tersebut, kita bisa menengok pandangan Arnold
Toynbee dalam A Study of History (1957), tentang pengaruh "radiasi
budaya". Dalam pandangannya, peradaban itu berlapis-lapis, dimulai dari
teknologi di lapisan terluar, berturut-turut disusul oleh lapisan seni, lapisan
etika, dan agama di lapisan terdalam. Kebudayaan yang lebih kuat akan meradiasi
kebudayaan yang lebih lemah. Namun, pengaruhnya tak langsung masuk secara
keseluruhan, tetapi secara parsial merembesi lapisan-lapisan budaya. Lapisan
terluar (teknologi) merupakan lapisan paling mudah ditembus; makin ke dalam,
makin sulit.
Lapisan
agama jantung terdalam yang paling sulit ditembus. Meski demikian, pengaruh
radiasi budaya berbanding terbalik dengan nilai kedalamannya. Bahwa kian tinggi
teknologi sebuah peradaban, makin mudah meradiasikan lapisan-lapisan budaya
lainnya terhadap peradaban lain. Dalam pelacakannya terhadap faktor kebangkitan
dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban
dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata,
serangan terhadap pandangan dan etos keagamaan di jantung kebudayaan merupakan
serangan paling berbahaya, yang bisa melumpuhkan daya hidup peradaban tersebut.
Selama
berabad-abad, jantung spiritualitas Nusantara memiliki daya lenting yang luar
biasa dalam menghadapi radiasi budaya dari luar. Proses indianisasi tidak
melemahkan, malah memperkuat pandangan dunia iluminasionisme. Kehadiran Islam
membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat Nusantara,
terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan
bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi
'kesetaraan' dalam hubungan antarmanusia, konsepsi 'pribadi' (nafs, personne)
yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah)
yang 'linear', menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996).
Meski demikian, mental primordial itu terus terjaga melalui jaringan tarekat dan
pesantren pedesaan.
Dalam
Islam Observed (1968), Geertz melukiskan bahwa Iluminasionisme keagamaan yang
bersifat sinkretik, dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, estetik
dan toleran itu bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19. Sejak akhir abad
ke-19, pandangan dan etos keberagamaan seperti itu mendapat gempuran dari
"logosentrisme" yang bersumber dari dua arah: pertama modernitas
Barat dengan logika Aristotelian dan rasionalitas instrumentalnya. Kedua dari
skripturalisme keagamaan dari gerakan reformisme Islam, terutama yang bercorak
Wahabiyah.
Meski
demikian, proses pembaratan itu ada batasnya. Menurut Denys Lombard (1996), di
sana terlihat adanya dualitas "pemelukan" dan "penolakan".
Di satu sisi, ada elemen yang terbaratkan. Di sisi lain ada proses kembali ke
sumber-sumber ke-"timur"-an. "Pengambilan kata-kata Barat,
seperti revolusi, nasionalisme, demokrasi, belum berarti bahwa sungguh terjadi
pembaratan mentalitas Jawa lewat konsep-konsep tersebut." Karena, di sisi
lain, ada pula proses pribumisasi modernitas, seperti dalam penemuan konsepsi
Pancasila serta pemahlawanan tokoh-tokoh berbagai elemen bangsa.
Respons
Islam sendiri dalam menghadapi tantangan modernitas bersifat dinamis. Di satu
satu, ada gerakan yang melakukan pengambilan secara selektif (appropriation)
terhadap unsur-unsur sains-teknologi dan seni dari Barat, seperti dikembangkan
oleh Muhammadiyah. Di sisi lain, ada gerakan otentisasi (authentication),
dengan berpaling pada tradisi-tradisi keagamaan lokal sebagai bentuk resistensi
terhadap serangan modernitas, seperti yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama.
Alhasil,
sehebat apa pun gempuran modernisme dan skripturalisme, kontinuitas pandangan
dan etos religi Nusantara masih bisa dipertahankan. Geertz (1981) menyimpulkan
bahwa karena peran ulama sebagai pialang budaya, pengaruh reformisme Islam dari
Timur Tengah itu masih bisa diseleksi, disesuaikan dengan konteks lokal,
sehingga ketahanan mental primordial Nusantara yang bersifat adaptif, menyerap,
gradualistis, dan kompromistis masih bisa bertahan. Radiasi reformisme
keagamaan dalam perkembangannya tak mengarah kepada kedalaman pemurnian
(force), tetapi perluasan (scope).
Namun,
perkembangan dunia pasca-industrial dengan revolusi di bidang telekomunikasi,
transportasi, dan turisme membawa arus globalisasi yang makin luas cakupannya,
dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Dengan intensitas dan
ekstensivitas arus globalisasi, radiasi budaya dari lapisan terluar (teknologi)
bisa cepat disusul oleh peradiasian pada lapisan-lapisan budaya yang lebih
dalam, hingga menembus jantung spiritualitas bangsa ini.
Dengan
posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke
dalam pihak "yang menang" (winners) dan "yang kalah"
(losers); serta menumbuhkan ketidaksetaraan, baik secara internasional maupun
dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007). Selain menimbulkan deprivasi sosial bagi
pihak-pihak yang kalah, hidup dalam sebuah dunia pasca-modern, seperti yang
dijelaskan Baudrillard (1992), berarti hidup dalam sebuah gerak interpenetrasi
pengalaman-pengalaman kultural dan pluralisasi alam kehidupan yang dialami
manusia sehingga melahirkan ketidakjelasan nilai-nilai ideal dan
menumbuhkembangkan gaya hidup konsumerisme yang menyebabkan terjadinya
diferensiasi dan fragmentasi dalam pandangan dunia.
Distorsi
komunikatif dan alienasi sosial
Keretakan
dalam pandangan dunia ini diperburuk oleh distorsi komunikatif dalam ruang
publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebajikan hidup bersama oleh
rasionalitas instrumental dari dunia sistem kapitalisme. Distorsi komunikatif
ini menimbulkan alienasi sosial, yang melemahkan hubungan-hubungan permusyawaratan
dengan hikmat-kebijaksanaan dalam kehidupan bersama.
Meluasnya
gejala deprivasi dan alienasi sosial membawa dampak serius pada corak keagamaan
Indonesia. Arus radiasi budaya dari penyebaran teknologi baru bersama seni dan
konsekuensi nilai-etis yang ditimbulkannya melahirkan resistensi dalam bentuk
revivalisme keagamaan, dengan menarik agama ke arah politik identitas. Dengan
politisasi identitas keagamaan, manusia yang pada dasarnya multi-identitas
direduksi habis-habisan ke dalam satu identitas-keagamaan.
Dalam
kerangka politik identitas, fanatisisme dirayakan dengan menolak rasionalitas,
perbedaan tafsir, prinsip representasi dan inklusivitas, serta pemerintahan
konstitusional sebagai bantalan vital demokrasi. Pandangan dunia keagamaan menjadi
hitam-putih, kawan-lawan, kehilangan elan vital etos klasik keagamaan di
Indonesia yang bersifat adaptif, estetis, dan toleran.
Serangan
gencar terhadap jantung keberagamaan ini bisa mengubah secara mendasar jati
diri kebangsaan Indonesia. Jalan nasionalisme kewargaan di Indonesia tidak
menempuh trayek sekularisme. Dalam pengalaman Eropa, munculnya nasionalisme
(sekular) berbarengan dengan pudarnya pengaruh agama. Di sini, ketika
nasionalisme bangkit, agama memainkan peran penting. Kemunculan masyarakat
sipil dan politik utamanya terlahir dari komunitas agama-budaya, bukan dari
komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme kewargaan ditempuh dengan cara
pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan untuk bisa memasuki kehidupan
publik secara damai dan toleran.
Dengan
kata lain, tantangan perusakan jantung budaya Indonesia itu harus direspons
dengan mengupayakan konsepsi keadilan bersama secara simultan dengan
revitalisasi pandangan hidup dan etos primordial religi Nusantara. Minoritas
kreatif dari komunitas agama-budaya harus didukung untuk bisa menyemai
ruang-ruang komunikatif (pesantren, sekolah, rumah ibadah, media massa, media
sosial, partai politik, dan masyarakat sipil) dengan nilai-nilai spiritualitas
Nusantara.
Nilai
inti spiritualitas Nusantara itu mencari harmoni persatuan dalam perbedaan
dengan mengembangkan hubungan cinta kasih dalam relasi ketuhanan, kemanusiaan,
dan kealaman. Dalam realisasinya, spiritualitas itu harus dapat mendorong peri
kehidupan ketuhanan yang berkebudayaan dan toleran, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan dalam kebinekaan, permusyawaratan secara inklusif dan
argumentatif, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
[]
KOMPAS,
30 Desember 2016
Yudi
Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar