Selasa, 24 Januari 2017

Sri Mulyani: Reformasi Perpajakan, Keharusan yang tidak Bisa Ditawar



Reformasi Perpajakan, Keharusan yang tidak Bisa Ditawar
Oleh: Sri Mulyani Indrawati

KALAU kita bicara mengenai penerimaan, nanti saya akan bicara mengenai sisi belanjanya. Rasio perpajakan kita perlu untuk diperbaiki. Kita sekarang meluncurkan suatu reform karena kami tahu bahwa penerimaan perpajakan sebesar 11% itu tidak memadai, bahkan kalau dibandingkan dengan negara-negara emerging yang lain. Banyak negara yang memiliki paling tidak rasionya pada level 15%, yang itu dianggap sebagai suatu tingkat yang memadai bagi suatu negara untuk bisa mengumpulkan penerimaan pajak untuk mencapai tujuan pemerataan dan pemberantasan kemiskinan. Penerimaan perpajakan kita telah mencapai Rp1495,9 triliun dan ini termasuk pajak dan bea cukai.

Kalau kita lihat terjadi peningkatan dari 2009 ke 2016, kenaikan itu tidak secepat seperti harga minyak, di saat harga minyak itu naik dari US$50 menjadi US$100. Penerimaan kita tidak meningkat secara cepat. Harga komoditas batu bara, palm oil atau komoditas lain mengalami pelonjakan pada periode 2011-2013, tetapi kita tidak bisa meng-capture cukup tinggi di dalam perpajakan. Ini adalah PR yang cukup besar kalau kita lihat pajak tidak hanya di kontribusikan sektor-sektor tertentu. Pajak adalah tanggung jawab dari seluruh warga Indonesia yang memiliki kemampuan ekonomi. Tingkat kepatuhan dari wajib pajak di Indonesia masih perlu untuk terus diperbaiki.

Kalau kita lihat di 2016, ada 32 juta wajib pajak yang terdaftar dan WP yang harusnya wajib menyerahkan SPT seharusnya 20 juta, tapi realisasinya hanya 12 juta (hanya 63%), yang merupakan suatu tingkat yang relatif kurang baik jika dibandingkan dengan negara lain yang biasanya mencapai sekitar 75%-80%. Jadi kami perlu melakukan penggiatan dan ini tidak hanya akan berhenti di amnesti pajak saja, kita akan terus melakukan pembangunan. Jumlah pagawai pajak hingga hari ini kurang dari 40 ribu. Sebetulnya sejak saya menjadi menkeu 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang jumlah ini tidak pernah meningkat, dan ini yang menjadi salah satu tantangan bagi kita dari sisi jumlah, kompetensi, kualitas, dan governance kita. Ini merupakan PR bagi kami dalam melakukan reform.

Kalau kita melihat pajak itu penting, saya akan memberikan contoh bagaimana penerimaan APBN terutama dari pajak itu merupakan sumber untuk menjaga Republik Indonesia sebagai negara kesatuan. Pulau Jawa yang mengontribusikan terhadap GDP 57,2% tetapi dalam hal ini kemampuan terhadap mendapatkan APBD 32%. Dia mendapatkan transfer atau dalam hal ini menerima pajaknya sangat besar dan transfernya dalam hal ini meningkat sangat besar. Transfer dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa dari sisi APBN sangat besar. Lihat Pulau Sumatra, share terhadap GDP 22%, tingkat kemiskinan 11% pendapatan APBN dan APBD 20% dan belanja APBN 17%.

Dia menerima net transfer sekitar Rp80 triliun di dalam transfer belanja pemerintah pusat maupun transfer daerah. Kalimantan juga dalam hal ini menyumbangkan pertumbuhan ekonomi 8,8%, belanja APBD 9%, dan dana transfer yang diperolehnya sekitar Rp70 triliun. Sulawesi yang dalam hal ini memiliki size ekonomi 5,87% dari ekonomi Indonesia, tetapi memiliki transfer yang signifikan sekitar Rp130 triliun dari APBN. Papua dan Maluku yang memiliki share 2,36% dari GDP Indonesia tetapi mendapatkan transfer dari APBN mendekati Rp130 triliun. Begitu juga dengan Bali dan Nusa Tenggara yang GDP share-nya adalah 2,87% tetapi net transfer dari APBN mencapai Rp60 triliun.

Menggali potensi

Ini yang menggambarkan bahwa APBN bisa dan mampu menjadi alat untuk redistribusi. Kalau kita melihat dari sisi sektoral perpajakan, kita jumlah dari tax ratio kita masih belum cukup memadai. Sektor-sektor yang sudah mengontribusikan kepada perpajakan kita adalah industri dan perdagangan. Namun, sektor pertanian sangat kecil, konstruksi sekitar 5% dan kemudian pertambangan dan penggalian sekitar 13%. Kalau dilihat dari sisi ini, sektor jasa pertumbuhannya tinggi. Namun, kemampuan untuk bisa berkontribusi pada pajak masih kecil. Kemudian uang pajaknya dipakai untuk pembangunan perlu ditingkatkan. Industri pengolahan sangat besar mudah untuk dipajaki. Yang memiliki pertumbuhan tinggi justru sulit dikenai pajak.

Reformasi pajak dalam hal ini sangat dibutuhkan. Presiden Jokowi turun langsung menyosialisasikan tax amnesty dan kita ingin tax base meningkat cukup tajam. Wajib pajak yang ikut tax amnesty 627 ribu dengan pajak yang dikumpulkan Rp109,8 triliun, aset yang dideklarasikan Rp4.314 triliun. Bayangkan ini adalah aset yang selama ini tak pernah dideklarasikan kemudian kita pajaki. Mereka kemudian mendeklarasikan harta untuk kemudian menebus. Kami dengan ini memulai suatu tradisi kepatuhan yang baru. Menjadi satu landasan reformasi di dunia perpajakan. Sekarang saya gambarkan bagaimana APBN itu bisa berfungsi untuk pembangunan infrastruktur, subsidi atau belanja pegawai dan sosial lainnya. Dengan Rp1 triliun itu kita bisa membangun jalan sepanjang 155 km. Dengan Rp1 triliun ada 11.900 rumah prajurit yang dapat dibangun.

Dengan Rp1 triliun bisa membayar gaji 10 ribu polisi selama setahun. TNI-Polri sudah bekerja keras menjaga keamanan. Kemudian Rp1 triliun sama dengan 93 ribu ton benih yang bisa dibagikan kepada para petani dan membantu pupuk sebanyak 300 ribu ton. Di bidang pendidikan, Rp1 triliun itu berarti pemerintah membantu 2,2 juta murid dari SD hingga SMA. Begitu juga Rp1 triliun merupakan intervensi langsung kepada 355 ribu keluarga miskin dalam bentuk cash transfer. Rp1 triliun sama dengan membantu 3,6 juta keluarga miskin untuk mendapat akses kesehatan. Kalau kita mendelegasikan banyak fungsi kepada daerah, Rp1 triliun itu bisa membangun 6.765 ruang kelas SD baru. Sama dengan membangun 50 rumah sakit, bayar tunjangan profesi 23.585 guru, membantu SD/SMP/SMA untuk bisa beroperasi melalui BOP, dan membantu 4,2 juta ibu hamil untuk mendapat jaminan persalinan yang aman.

Jadi belanja pemerintah menjadi sangat penting sebagai instrumen yang mewujudkan kemakmuran dan keadilan bersama. Kalau kita lihat belanja pemerintah, alokasi belanja kelompok, kenaikan jumlah pegawai, tapi yang lebih besar adalah belanja barang dan modal. Dua sisi ini penting karena pemerintah perlu sekali untuk membangun infrastruktur dasar, mulai air bersih, sanitasi jalan, hingga listrik yang dibutuhkan masyarakat di seluruh pelosok Indonesia.

Komposisi belanja

Coba kita lihat komposisi dari belanja pemerintah karena Presiden melakukan suatu koreksi yang cukup dengan menajamkan belanja khusus untuk memperbaiki fundamen masyarakat Indonesia. Pendidikan, kesehatan, infrastruktur meningkat karena itu yang dibutuhkan masyarakat untuk menjadikan masyarakat makmur dan produktif. Itu sebabnya dilakukan koreksi dari subsidi energi yang tidak menciptakan kecerdasan. Selain itu, juga perbaikan dari kesehatan masyarakat yang setiap tahun masih tumbuh dan kelas menengah yang semakin lama semakin tinggi aspirasinya. Ini adalah suatu komitmen yang luar biasa berani, mungkin dari sisi ini alokasi arahnya sudah mulai membaik untuk pemihakan.

Hal yang paling penting sebetulnya ialah efisiensi dan efektivitas belanja, yang dalam hal ini kita lihat banyak fungsi yang sudah didesentralisasikan di daerah. Total transfer ke daerah sekarang lebih besar daripada belanja kementerian dan lembaga. Artinya peran daerah menjadi luar biasa penting. Makanya kalau dalam berita ada suatu kabupaten/kota rezim penguasa hanya datang dari keluarganya saja atau orang dekatnya, itu adalah salah satu contoh nyata dari apa yang disebut elite capture. Artinya elite is capturing seluruh sumber daya ekonomi at the cost rakyatnya.

Kita tidak perlu pakai studi meng-hire orang penting atau pintar. Begitu fenomena elite capture terjadi, dia adalah musuh dari hampir semua negara di dunia. Semua yang gagal menjadi negara kaya makmur, itu biasanya di saat negara tersebut mulai agak kaya elitenya meng-capture itu semuanya. Kalau kita mengikuti pembahasan mengenai Amerika Serikat hari ini, mereka sebetulnya tidak berbicara tentang berbagai hal. Akan tetapi, Amerika sekarang merasakan bahwa mereka tiba-tiba merasa seperti negara berkembang. Elite politik bisa menguasai semuanya, termasuk media massa, institusi hukum, dia akan sulit melakukan cek. Itu adalah salah satu fenomena yang muncul di banyak negara yang gagal untuk melakukan apa yang disebut keadilan. Ini salah satu fokus yang harus kita konsentrasikan. []

MEDIA INDONESIA, 20 January 2017
Sri Mulyani Indrawati | Menteri Keuangan Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar