Trump dan
Keunggulan RI
Oleh:
Bambang Soesatyo
JIKA
tidak aral melintang, Trump akan dilantik pada 20 Januari 2017. Indonesia harus
secara seksama mencermati serta mengantisipasi sejumlah dampak dari persoalan
rumit yang dihadirkan Amerika Serikat (AS) pada aspek geopolitik dan
perekonomian global.
Perilaku
pemerintahan baru AS di bawah kepemimpinan bakal Presiden Donald Trump yang
unpredictable diduga akan menghadirkan persoalan baru bagi banyak negara,
termasuk Indonesia, sepanjang tahun 2017.
Pemerintah
memang sudah mengidentifikasi sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia
sepanjang tahun ini. Setelah memimpin rapat koordinasi terbatas tingkat menteri
pada Selasa (3/1/), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
(Polhukam) Wiranto merinci beberapa tantangan itu.
Semua
tantangan dan ancaman 2017 itu diidentifikasi oleh 12 kementerian di bidang
politik, hukum, dan keamanan. Pemerintah menempatkan keberadaan sel-sel ISIS di
Asia Tenggara sebagai ancaman global yang juga akan dihadapi Indonesia.
Tantangan
dan ancaman lainnya adalah penyebaran paham atau ajaran radikalisme melalui
internet, terorisme, dan tindakan intoleransi. Persoalan lain yang juga tidak
luput dari perhatian pemerintah adalah maraknya kasus pembalakan liar,
perdagangan manusia, dan peredaran narkoba.
Melengkapi
catatan tentang potensi tantangan dan ancaman itu, Pemerintah RI mau tak mau
perlu menyimak dengan seksama, serta mengantisipasi persoalan rumit yang
dihadirkan pemerintahan baru AS di bawah kepemimpinan bakal Presiden Donald
Trump. Selain itu, eskalasi memburuknya hubungan AS dengan Rusia juga perlu
dicermati. Sebelum mengakhiri delapan tahun periode kepresidenannya, Barack
Obama telah mengusir 35 diplomat Rusia yang bertugas di AS.
Inilah
refleksi kemarahan AS terhadap Rusia yang dituduh mengintervensi Pilpres AS
untuk memenangkan Trump. Bagi AS sendiri, persoalannya menjadi rumit karena
Trump tidak sependapat dengan tuduhan itu. Dia bahkan cenderung membela Rusia.
Padahal, tuduhan terhadap Rusia itu telah dirumuskan dengan suara bulat oleh
komunitas intelijen AS.
Masalah
ini menempatkan Trump berseberangan dengan komunitas intelijen negeri itu,
termasuk para agen CIA. Dalam kesimpulan laporannya, CIA memastikan bahwa
Presiden Rusia Vladimir Putin mengarahkan serangan siber untuk membantu Donald
Trump memenangkan pilpres yang digelar 8 November lalu.
Tujuan
Rusia adalah menjatuhkan kepercayaan warga AS terhadap proses demokrasi dan
merusak citra Hillary Clinton (pesaing Trump dari Partai Demokrat AS).
CIAsangat yakin dengan laporan setebal 25 halaman yang dirilis Jumat malam
(6/1/2017) waktu AS itu.
Kontra-Terorisme
Apa saja
dampak dari gaya kepemimpinan Trump yang sulit diprediksi itu bagi Indonesia
memang belum bisa dikalkulasi saat ini. Semasa kampanye kepresidenannnya, Trump
terlihat rasis karena mengedepankan isu-isu bernuansa SARA. Apakah dia akan
berlaku ekstrem terhadap Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim
terbesar di dunia? Bagi Trump, pilihannya hanya satu.
Dia harus
kooperatif dengan Indonesia karena berbagai alasan. Dalam konteks hubungan
kedua negara, Indonesia memiliki daya tawar yang lumayan. Sejak tragedi
serangan 9/11 tahun 2001 (serangan teroris yang meruntuhkan gedung World Trade
Center (WTC) di New York hingga kini, AS diketahui mengandalkan Indonesia dalam
perang melawan terorisme.
Kemampuan
Polri dan TNI dalam perang yang satu ini sudah diakui komunitas internasional.
Trump yang begitu marah terhadap terorisme saat ini tentu saja harus
memperhitungkan peran signifikan Indonesia. Pada waktunya nanti, para
pembantunya harus memberitahu Trump tentang rencana ISIS membangun basisnya di Asia
Tenggara.
Dan, di
kawasan ini, hanya Indonesia yang memiliki kemampuan mumpuni untuk merespons
manuver sel-sel ISIS di Asia Tenggara. Masih dalam konteks itu, maka rencana
berkelanjutan Indonesia untuk memodernisasi sekaligus meningkatkan pertahanan nasional
akan berjalan lebih mulus. Akses Indonesia untuk belanja alat utama sistem
persenjataan (alutsista) menjadi lebih terbuka.
Seperti
diketahui, Indonesia saat ini terus memodernisasi Alutsista melalui program
minimum essential force (MEF) guna mewujudkan postur pertahanan nasional yang
ideal. Kalau AS masih menutup pintu seperti di masa lalu, Indonesia akan
belanja Alutsista dari Rusia. Kedekatan personal antara Trump dan Putin akan
memuluskan langkah Indonesia meremajakan Alutsista.
AS pun
tidak bisa melangkah sendiri ketika terlibat pada konflik di Laut China
Selatan. AS butuh kekuatan penyeimbang. Kekuatan penyeimbang itu ada pada
Indonesia yang mempertahankan kedaulutannya di Kepulauan dan Perairan Natuna.
Maka,
dalam konteks perang melawan terorisme ataupun menjaga keseimbangan kekuatan di
Laut China Selatan, Trump harus melihat Indonesia sebagai partner yang saling
butuh. Trump akan dilantik di Washington pada 20 Januari 2017. Di AS sendiri,
banyak orang tidak bahagia dengan tampilnya Trump.
Banyak
perkiraan telah dibuat tentang peran AS di dunia selama era kepresidenan Trump
nantinya. Para pemimpin pemerintahan di banyak negara pun sudah antisipatif.
Indonesia pun hendaknya seksama mencermati perilaku kepemimpinan Trump. []
SUARA
MERDEKA, 17 Januari 2017
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar