Membongkar Kerancuan
Islam dan Islamisme
Judul
: Islam dan Islamisme
Penulis
: Bassam Tibi
Penerjemah
: Alfathri Adlin
Penerbit
: Mizan Pustaka Bandung
Cetakan
: I, Agustus 2016-12-23
Tebal
: 302 halaman
Peresensi
: Ali Makhrus, Kader GP Ansor-Banser Kabupaten Madiun.
Islam dan Islamisme
sampai saat ini terus menerus menjadi perhatian publik dunia, sehingga memicu
lahirnya terminologi saintifik tentang studi ‘islamologi’. Yakni sebuah kajian
Islam dengan kerangka ilmu sosial berbasis penelitian yang mengaitkan realitas
keislaman dengan konflik internasional di dunia politik, seperti halnya
Sovietologi era awal abad XX (Prakata, VII). Dengan demikian, Bassam Tibi
mencoba membeberkan alas an-alasan argumentative-ilmiah dalam bingkai sains
sosial tentang “Islam” dan “Islamisme” yang tidak boleh gebyah-uyah. Sebab
menurutnya, ada suatu kontradiksi dalam peristilahan (contraditio in terminis)
antara Islam dan Islamisme. Islam sebagai keyakinan dan Islamisme sebagai
politik keagamaan; yang menggunakan simbol agama untuk tujuan politik.
Dalam buku setebal
302 halaman tersebut, Bassam Tibi mengajak pembaca merefleksikan krisis Timur
Tengah (meski tidak semua) yang gagal dalam membangun sebuah Negara atau
tatanan paska kolonialisme yang melanda negeri para bangsa arab tersebut,
sehingga merancukan term “Islam” dan “Islamisme”. Istilah ‘arab’ bermaksud
membatasi dan sekaligus menghubungkan pesimisme yang terkoneksi dengan
peristiwa perang enam hari bangsa arab (Mesir, Yordania, dan Suriyah)
dengan Israel (1967). Kekalahan tersebut menciptakan krisis legitimasi di dunia
Arab, menandai awal runtuhnya sekulerisme dan bersamaan dengan munculnya
politik yang diagamaisasikan dari islamisme (halaman 56-57).
Paham Islamisme
kemudian diproduksi, dikembangkan, dipropagandakan dan disistematiskan pertama
kali dengan istilah “harbu al-afkar”. Istilah harbu al-afkar atau perang
pemikiran merupakan perwujudan konsep jihad yang dikobarkan oleh Sayyid Qutb
dan Hasan al Bana dalam perseteruan kosmik iman/islam (muslim atau dia dan
kelompoknya) denga kufr (Yahudi dan semua yang tidak sejalan dengan Qutb
kawan-kawanya). Perang abadi antara mu’min dan kaafir oleh Qutb, kata Bassam
Tibi, dalam kitab Hasan Al Bana Risalatul Jihad dan Sayyid Qutb Ma’rakatuna
Ma’al Yahud (pertarungan kita dengan kaum yahudi). Sikap ini selain atas nama
agama (diagamakan), juga bagian dari adanya dugaan pengecohan ummat muslim
dalam keadaan dunia-politik dengan penctraan “islam yang dikepung”.
Kerangka perang (anti
semitisme dalam studi barat) ini diperkuat oleh gagasan tentang ghozwul fikr
(invasi intelektual) atas dunia Islam, diduga dihasut oleh orang-orang Yahudi
(dalam konsep terbaru Yahudi mendompleng Barat dan juga kaum Salibiyun) halaman
80, 76, 85. Agenda penting (utama atau inti) dari gerakan-gerakan Islamisme
yang disampaikan dalam buku tersebut, hemat penulis, ada enam.
Pertama, ialah
Hakimiyyat Allah (pemerintahan tuhan). Asumsi utama ideologi islamis
(islamisme) adalah bahwa hanya Allah, bukan manusia yang berhak memerintah
dunia (halaman 137). Lawan dari ide ini adalah ide demokrasi yang dikembangkan
(dipromosiskan) oleh Barat, yang menekankan “kedaulatan rakyat”, sebagaimana
dalam konstitusi UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, menurut
Islamisme, apa yang sekarang dikenal dengan azmat aldemokratiyyah (krisis
demokrasi di dunia arab) dikarenakan para penduduknya tidak menggunakan hukum
Allah.
Kedua, Din Wa Daulah
(kesatuan antara agama dan Negara). Artinya, ketika para islamisme berbicara
tentang din wa daulah agama bersatu dengan tatanan Negara, mereka menerapkan
suatu ide al hall al-islam (solusi islam) bukan dalam arti demokrasi melainkan
memperbarui tatanan politik yang ada dalam mengupayakan berdirinya negara
syariah. Dan inilah ide utamanya, bukan kekerasan, yang merupakan cirri khas
dan condition sine quo non dari Islamisme (halaman43). Hal ini sebagai sebuah
bentuk perlawanan dan perang (konspirasi Yahudi dan Salibiyun) atau bentuk
legitimasi kekerasan, tetapi juga untuk mengubah format jihad klasik: dari
perang regular yang dilakoni oleh Negara Islam menjadi terror yang dilancarkan
oleh para aktor islamis non- Negara (halaman 27, 291).
Ketiga, Nizom Islami
(sistem/tatanan baru Islam). Nizom islam dimaksudkan untuk menjadi langkah
pertama dalam proses bertahap. Hal yang membuat Islamisme menjadi isu global
adalah bagian kedua dari visi ini: perluasan Negara islam untuk menciptakan
sebuah tatanan dunia. Revolusi dunia yang diproklamasikan oleh islamis tidak
hanya bertujuan untuk membuat tatanan politik dari Negara territorial, tetapi
juga diarahkan menuju pembaharuan dunia. Islamisme mengubah mengubah
universalisme Islam menjadi internasionalisme politik yang berusaha
menggantikan tatanan sekuler yang ada dari Negara-bangsa yang berdaulat dengan
satu ‘islam’(halaman, 44).
Keempat, ummah
(komunitas). Inveted ummah (umat bentukan) atau meminjam istilah dari Benedict
Anderson sebagai “kommunitas yang dibayangkan” (imagined community) bukanlah
ummah seperti islam tradisional atau komunitas iman, tetapi gerakan politik
yang anggotanya mendukung pemberlakuan hukum syariah secara ketat oleh Negara
(halaman, 44). Kelima, Siyyadatul Islam (kepemimpinan islam). Bagian ini
ditegaskan oleh Qutb dalam bukunya al-salam al-‘alami wa al-islam, kutib Bassam
Tibi, “bahwa hanya dominasi islam yang dapat menjamin perdamaian dunia; untuk
mencapainya, ia menganjurkan agar menafsirkan jihad sebagai “sebuah revolusi
dunia komprehensif (internasionalisme politik islam) yang permanen dalam rangka
membangun pemerintahan Allah demi menyelamatkan seluruh umat manusiai” (halaman
214).
Keenam, autentisistas
islam (kemurnian Islam). ialah upaya prufikasi kontemporer yang
merepresentasikan suatu reaksi balik terhadap proses (westernisasi), halaman
29. Sebagimana Daniel Bell katakana, the return of the sacred (kembalinya yang
suci). The return of the sacred adalah kebangkitan program tertentu berdasarkan
agama. Menurut Bassam Tibi, meski ada penampakan artifisial dari kebangkitan
kembali agama, “kembalinya yang suci” bukanlah sebentuk “renaisans agama”, melainkan
agama menerima suatu bentuk politis (halaman 2).
Keenam hal yang
penulis ambil dari buku Bassam Tibi tersebut, merupakan manifesto politik
Islamisme yang berbeda dengan Islam atau bisa dikatakan conditio sine quo non
(syarat mutlak) identitas Islamisme. Bahkan, beliau berpendapat bahwa mereka
(islamisme) itu paling tepat dipahami sebagai ideologi totalitarianisme
religius, tidak seperti totalitarianisme pendahulunya, yaitu fasisme, komunisme
yang sekuler. Disana juga banyak istilah-istilah penting yang menjadi
bahasa-bahasa komunikasi Islamimisme, seperti tsaurah al ‘alamiyah (revolusi
dunia), iIham (tipu daya), tadhhiyah (kurban) al-hulul al-mustauradah (solusi
-solusi impor) dan lain sebagainya.
Dengan tidak
mengurangi rasa hormat, pada bagian-bagian tertentu, Bassan Tibi agaknya
mengeneralisir anasir-anasir islamisme di belahan Timur Tengah, seperti gerakan
Hamas dan Fatah Palestine terhadap kolonialisme Israel, coup de etat di
Ikhwanul Muslimin/ Hizbut Tahrir Mesir dan Libiya terhadap pemerintah tangan
besi, ISIS di Suriyah dan Iraq, AKP di Turkey, Wahabi Arab Saudi dan
lain-lainya. Ambisi neo-kapitalisme global kurang dilibatkan dalam analisis
buku tersebut. Kesanya, Krisis Timur Tengan bersih dari campur tangan asing
soal politik ekonomi, sebagaimana yang terjadi di Iraq, Libya.
Meski begitu, hemat
penulis, buku hasil penelitian tiga dekade tersebut sangat membantu membuka
cara pandang bahkan memperkuat pemahaman kita -sebagai warga NKRI mengutip
istilah Bassam Tibi buat Islam Indoensia (Nusantara) ialah Islam
kewargaan (civil Islam) halaman135- tentang berbagai aksi teror, takfiri,
khilafah, bid’ah dan key word yang selama ini kita kenal. Pada prakteknya,
bentuk mereka ada yang institusionalisme (partai/parlemen) yang bermain dengan
demokrasi seperti, amun ada pula yang jihadiisme dengan menggunakan jalur-jalur
di luar intsitusional (non parlemen). Wallahu ‘alam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar