Indonesia Di Pusaran Radikalisme Global
Oleh: A. Helmy Faishal Zaini
Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) bekerja
sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) beberapa waktu lalu mengeluarkan rilis
hasil penelitiannya. Yang mengejutkan dari penelitian tersebut, terdapat sebuah
fakta mengiris hati bahwa 30 persen sekolah dasar hingga menengah di Indonesia
sudah terpengaruh nilai-nilai radikalisme.
Hasil temuan penelitian itu dalam hemat saya adalah alarm keras
bagi kita. Hasil penelitian tersebut tidak bisa kita abaikan demikian saja
kalau kita tidak ingin masuk ke dalam situasi yang disebut sebagai ”surplus
radikalisme”.
Persemaian Radikalisme
Lalu apa yang memantik sekaligus mengakibatkan fakta menyeruaknya
nilai-nilai radikalisme bisa sedemikian merebak sebagaimana ditemukan ASDP itu?
Tulisan ini ingin mecoba menguraikannya. Saya mencatat setidaknya ada tiga
faktor utama yang menjadi pemantik merebaknya nilai-nilai radikalisme tersebut.
Pertama, hari ini kita semua masuk pada apa yang disebut sebagai
masa ”kemarau spiritualitas”. Agama menjadi kebutuhan untuk bersandar di era
posmodern yang semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai yang dipercayai
mempunyai kekuatan transenden. Itu berarti agama menjadi semacam ”pelarian” di
tengah ketarasingan zaman semacam sekarang ini.
Kedua, situasi butuh terhadap ajaran agama sebagai ”pelarian” itu
tidak ditopang kontrol orang tua yang baik. Artinya, orang tua cenderung lalai
dan abai dalam mengawasi perkembangan paham keagamaan anak. Hal tersebut
terjadi di kalangan anak-anak, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan
tinggi.
Ketiga, kompetensi guru agama yang kurang mumpuni di sekolah
mengakibatkan murid beralih mencari guru-guru pada kegiatan di luar pelajaran
resmi. Lahirlah kegiatan ekstrakurikuler yang belakangan dikenal dengan akronim
rohis. Di sinilah sebetulnya muasal benih radikalisme tersebut disemai.
Tiga penyebab itu, dalam pandangan saya, pada akhirnya akan
menjadi penyebab tiga kondisi turunan. Pertama, tumbuh suburnya rohis. Kegiatan
ekstra semacam rohis tersebut, sebagaimana dikatakan Anas Saidi (2015), menjadi
pabrik yang memproduksi tumbuh kembangnya benih-benih radikalisme. Ladang
persemaian itu begitu dahsyatnya sehingga dampaknya adalah nilai-nilai
radikalisme, pandangan soal kekerasan, abai terhadap toleransi, tidak mengenal
tepo sliro, dan pudarnya tenggang rasa menjadi sedemikian jauh dari karakter
peserta didik mulai tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Kedua, di kalangan kampus berkembang tren paham khilafah islamiah
dan gerakan yang memiliki cita-cita untuk mengganti sistem kenegaraan. Pola
seperti ini terjadi karena yang mendominasi lembaga-lembaga keagamaan atau
rohis di kampus adalah mereka yang memiliki paham keagamaan konservatif dan
kanan. Agama diajarkan secara kaku dan ketat.
Tidak bisa dimungkiri, kampus memang menjadi lahan subur pemasok
pandangan-pandangan yang ekstrem kanan. Istilah-istilah semacam taghut, kafir,
dan sebagainya menjadi kosakata wajib untuk menuding sistem pemerintahan yang
dalam pandangan mereka tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam pada itu, faktor pertama dan kedua tersebut memunculkan
fenomena ketiga, yakni merebaknya gerakan takfiri yang sesungguhnya bila
diamati dengan saksama merupakan metamorfosis gerakan-gerakan kampus. Gerakan
kampus hanya dijadikan semacam ”laboratorium uji coba” dan ”laboratorium uji
layak”. Setelah merasa gerakannya tersebut sudah mapan dan kuat, mereka
”berdakwah’ di luar kampus. Tercatat, sejak 2000-an awal pola dakwah di luar
kampus dengan cara mengekspor pandangan-pandangan yang sudah dikristalisasikan
di kampus digulirkan secara nasional.
Arus Konservatisme
Apa yang kemudian terjadi? Pew Research, sebuah lembaga riset
terkemuka yang bermarkas di Washington DC, awal 2016 merilis hasil penelitian
yang menyebutkan bahwa Indonesia masuk kategori negara yang penduduknya
mendukung pandangan-pandangan dan gerakan Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS).
Dilaporkan, ada sekitar 4 persen atau jika dikonversikan menjadi
angka berarti ada sekitar 10 juta penduduk Indonesia yang setuju dan mendukung
pandangan dan gerakan yang dilakukan ISIS. Ironisnya, kondisi seperti itu
didukung mayoritas anak muda dan usia produktif.
Arus konservatisme ini menjadi sedemikian kuat dan tidak
terbendung lagi. Pandangan-pandangan keagamaan yang cenderung kaku dan ketat
menjadi komoditas yang dengan sangat mudah kita temui dalam kehidupan
sehari-hari. Padahal, pandangan kaku dan ketat seperti merupakan barang langka
di Indonesia jika kita mencarinya 10–20 tahun lampau.
Maka tidak mengherankan jika arus radikalisme yang sedang melanda
Indonesia saat ini sesungguhnya saling berkelindan dengan jaringan
internasional. Indonesia berada dalam arus pusaran radikalisme atau bahkan
terorisme internasional.
Pertanyaannya kemudian, di mana posisi Nahdlatul Ulama (NU)?
Pertanyaan itu beberapa kali ditujukan beberapa orang kepada saya secara
langsung. Terutama mereka yang menganggap NU tidak memiliki sikap dan cenderung
tidak berbuat banyak dalam aksi-aksi mutakhir yang melibatkan jutaan orang di
ibu kota.
Dalam NU, dalam berdakwah setidaknya kita diajari untuk mengerti
esensi dakwah dan tata cara dakwah. Esensi dakwah itu menyangkut pemahaman yang
baik apa itu dakwah secara ontologis dan epistemologis.
Dalam NU dakwah itu mengajak. Ajakan yang terbaik justru bukan
dengan cara menceramahi. Ajakan yang terbaik justru dengan cara memberikan
teladan. Wali Sanga adalah referensi paripurna yang bisa dijadikan renungan.
Dalam berdakwah, para wali cenderung kompromistis dan tidak kaku. Wali Sanga
bukan permisif, tapi lebih bisa meramu ajaran Islam dibumbui dengan kebudayaan
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Jadi, alih-alih mereka sibuk
mengafirkan, yang dilakukan jika melihat umat yang tidak benar justru
menuntunnya, bukan menghardiknya.
Gradasi berdakwah juga penting. Mula-mula tingkatannya adalah
dengan hikmah, kemudian dengan mauizah hasanah (nasihat yang baik). Jika dua
metode tersebut masih tidak berhasil, jika terpaksa kita diberi pilihan untuk
berdebat. Itu pun dengan catatan harus dengan cara-cara yang baik (billati hiya
ahsan).
Bandul Keindonesiaan
Dalam pada itu, jika membincangkan kondisi mutakhir Indonesia,
saya membayangkan di sana terdapat sebuah bandul. Bandul tersebut memiliki dua
sudut atau kutub. Kutub sebelah kanan adalah agama dan kutub sebelah kiri
adalah paham kebangsaan. Posisi sekarang bandul kita ada di sebelah kanan
persis. Dengan posisi bandul yang berada di sebelah kanan persis tersebut,
pandangan-pandangan yang dihasilkan pun cenderung konservatif.
NU dari awal mula berdirinya selalu berusaha menjaga bandul itu
berada persis di tengah-tengah. Tidak terlampau ekstrem kanan maupun terlampau
ekstrem kiri. Tidak terlalu liberal-permisif dan juga tidak rigid-konservatif.
Walhasil, di sanalah NU berada. Di tengah arus konservatisme, NU
tetap berkonsentrasi menjaga moderatisme dengan tetap mengarahkan bandul
keindonesiaan ada di tengah-tengah kutub paham kebangsaan dan kutub agama.
Wallahu a’lam. []
JAWA POS, 06 Januari 2017
A. Helmy Faishal Zaini | Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar