Senin, 09 Januari 2017

Helmy Faishal Zaini: Indonesia Di Pusaran Radikalisme Global



Indonesia Di Pusaran Radikalisme Global
Oleh: A. Helmy Faishal Zaini

Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) beberapa waktu lalu mengeluarkan rilis hasil penelitiannya. Yang mengejutkan dari penelitian tersebut, terdapat sebuah fakta mengiris hati bahwa 30 persen sekolah dasar hingga menengah di Indonesia sudah terpengaruh nilai-nilai radikalisme.

Hasil temuan penelitian itu dalam hemat saya adalah alarm keras bagi kita. Hasil penelitian tersebut tidak bisa kita abaikan demikian saja kalau kita tidak ingin masuk ke dalam situasi yang disebut sebagai ”surplus radikalisme”.

Persemaian Radikalisme

Lalu apa yang memantik sekaligus mengakibatkan fakta menyeruaknya nilai-nilai radikalisme bisa sedemikian merebak sebagaimana ditemukan ASDP itu? Tulisan ini ingin mecoba menguraikannya. Saya mencatat setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi pemantik merebaknya nilai-nilai radikalisme tersebut.

Pertama, hari ini kita semua masuk pada apa yang disebut sebagai masa ”kemarau spiritualitas”. Agama menjadi kebutuhan untuk bersandar di era posmodern yang semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai yang dipercayai mempunyai kekuatan transenden. Itu berarti agama menjadi semacam ”pelarian” di tengah ketarasingan zaman semacam sekarang ini.

Kedua, situasi butuh terhadap ajaran agama sebagai ”pelarian” itu tidak ditopang kontrol orang tua yang baik. Artinya, orang tua cenderung lalai dan abai dalam mengawasi perkembangan paham keagamaan anak. Hal tersebut terjadi di kalangan anak-anak, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Ketiga, kompetensi guru agama yang kurang mumpuni di sekolah mengakibatkan murid beralih mencari guru-guru pada kegiatan di luar pelajaran resmi. Lahirlah kegiatan ekstrakurikuler yang belakangan dikenal dengan akronim rohis. Di sinilah sebetulnya muasal benih radikalisme tersebut disemai.

Tiga penyebab itu, dalam pandangan saya, pada akhirnya akan menjadi penyebab tiga kondisi turunan. Pertama, tumbuh suburnya rohis. Kegiatan ekstra semacam rohis tersebut, sebagaimana dikatakan Anas Saidi (2015), menjadi pabrik yang memproduksi tumbuh kembangnya benih-benih radikalisme. Ladang persemaian itu begitu dahsyatnya sehingga dampaknya adalah nilai-nilai radikalisme, pandangan soal kekerasan, abai terhadap toleransi, tidak mengenal tepo sliro, dan pudarnya tenggang rasa menjadi sedemikian jauh dari karakter peserta didik mulai tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi.

Kedua, di kalangan kampus berkembang tren paham khilafah islamiah dan gerakan yang memiliki cita-cita untuk mengganti sistem kenegaraan. Pola seperti ini terjadi karena yang mendominasi lembaga-lembaga keagamaan atau rohis di kampus adalah mereka yang memiliki paham keagamaan konservatif dan kanan. Agama diajarkan secara kaku dan ketat.

Tidak bisa dimungkiri, kampus memang menjadi lahan subur pemasok pandangan-pandangan yang ekstrem kanan. Istilah-istilah semacam taghut, kafir, dan sebagainya menjadi kosakata wajib untuk menuding sistem pemerintahan yang dalam pandangan mereka tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam pada itu, faktor pertama dan kedua tersebut memunculkan fenomena ketiga, yakni merebaknya gerakan takfiri yang sesungguhnya bila diamati dengan saksama merupakan metamorfosis gerakan-gerakan kampus. Gerakan kampus hanya dijadikan semacam ”laboratorium uji coba” dan ”laboratorium uji layak”. Setelah merasa gerakannya tersebut sudah mapan dan kuat, mereka ”berdakwah’ di luar kampus. Tercatat, sejak 2000-an awal pola dakwah di luar kampus dengan cara mengekspor pandangan-pandangan yang sudah dikristalisasikan di kampus digulirkan secara nasional.

Arus Konservatisme

Apa yang kemudian terjadi? Pew Research, sebuah lembaga riset terkemuka yang bermarkas di Washington DC, awal 2016 merilis hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia masuk kategori negara yang penduduknya mendukung pandangan-pandangan dan gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Dilaporkan, ada sekitar 4 persen atau jika dikonversikan menjadi angka berarti ada sekitar 10 juta penduduk Indonesia yang setuju dan mendukung pandangan dan gerakan yang dilakukan ISIS. Ironisnya, kondisi seperti itu didukung mayoritas anak muda dan usia produktif.

Arus konservatisme ini menjadi sedemikian kuat dan tidak terbendung lagi. Pandangan-pandangan keagamaan yang cenderung kaku dan ketat menjadi komoditas yang dengan sangat mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, pandangan kaku dan ketat seperti merupakan barang langka di Indonesia jika kita mencarinya 10–20 tahun lampau.

Maka tidak mengherankan jika arus radikalisme yang sedang melanda Indonesia saat ini sesungguhnya saling berkelindan dengan jaringan internasional. Indonesia berada dalam arus pusaran radikalisme atau bahkan terorisme internasional.

Pertanyaannya kemudian, di mana posisi Nahdlatul Ulama (NU)? Pertanyaan itu beberapa kali ditujukan beberapa orang kepada saya secara langsung. Terutama mereka yang menganggap NU tidak memiliki sikap dan cenderung tidak berbuat banyak dalam aksi-aksi mutakhir yang melibatkan jutaan orang di ibu kota.

Dalam NU, dalam berdakwah setidaknya kita diajari untuk mengerti esensi dakwah dan tata cara dakwah. Esensi dakwah itu menyangkut pemahaman yang baik apa itu dakwah secara ontologis dan epistemologis.

Dalam NU dakwah itu mengajak. Ajakan yang terbaik justru bukan dengan cara menceramahi. Ajakan yang terbaik justru dengan cara memberikan teladan. Wali Sanga adalah referensi paripurna yang bisa dijadikan renungan. Dalam berdakwah, para wali cenderung kompromistis dan tidak kaku. Wali Sanga bukan permisif, tapi lebih bisa meramu ajaran Islam dibumbui dengan kebudayaan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Jadi, alih-alih mereka sibuk mengafirkan, yang dilakukan jika melihat umat yang tidak benar justru menuntunnya, bukan menghardiknya.

Gradasi berdakwah juga penting. Mula-mula tingkatannya adalah dengan hikmah, kemudian dengan mauizah hasanah (nasihat yang baik). Jika dua metode tersebut masih tidak berhasil, jika terpaksa kita diberi pilihan untuk berdebat. Itu pun dengan catatan harus dengan cara-cara yang baik (billati hiya ahsan).

Bandul Keindonesiaan

Dalam pada itu, jika membincangkan kondisi mutakhir Indonesia, saya membayangkan di sana terdapat sebuah bandul. Bandul tersebut memiliki dua sudut atau kutub. Kutub sebelah kanan adalah agama dan kutub sebelah kiri adalah paham kebangsaan. Posisi sekarang bandul kita ada di sebelah kanan persis. Dengan posisi bandul yang berada di sebelah kanan persis tersebut, pandangan-pandangan yang dihasilkan pun cenderung konservatif.

NU dari awal mula berdirinya selalu berusaha menjaga bandul itu berada persis di tengah-tengah. Tidak terlampau ekstrem kanan maupun terlampau ekstrem kiri. Tidak terlalu liberal-permisif dan juga tidak rigid-konservatif.

Walhasil, di sanalah NU berada. Di tengah arus konservatisme, NU tetap berkonsentrasi menjaga moderatisme dengan tetap mengarahkan bandul keindonesiaan ada di tengah-tengah kutub paham kebangsaan dan kutub agama. Wallahu a’lam. []

JAWA POS, 06 Januari 2017
A. Helmy Faishal Zaini | Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar