Senin, 30 Januari 2017

(Ngaji of the Day) Hukum Mas Kawin



Hukum Mas Kawin

Pertanyaan:

Ada beberapa pertanyaan yang menyangkut Mas Kawin dalam satu dialog antara anak dan orang tua si laki-laki yaitu keinginan orang tua anaknya tidak usah memaksakan dengan mas kawin yang "wah .. " harga dan bentuknya dan mereka menyarankan yang tidak terlalu memberatkan anaknya itu, yaitu bisa dengan membacakan ayat/surat dalam Al-Qur'an (misal Al-Ikhlas 3x) dsb.

Yang jadi pertanyaan dari si anak ini adalah:
1.     Apakah hukumnya dari memberikan mas kawin seperti itu?
2.     Apakan mas kawin berupa seperangkat alat shalat itu baik? karena yang wajib (shalat) diwajibkan lagi (mas kawin).
3.     Apa konsekwensi dari memberikan mas kawin dari surat-surat Al-Qur'an dan seperangkat alat shalat itu, kepada si pemberi mas kawin/yang di beri ?

Itulah beberapa pertanyaan yang saya tampung dari sekian permasalahan yang sering kita diskusikan sehabis shalat.

Dadan

Jawaban:

Mengenai mas kawin atau mahar yang saudara tanyakan, hukumnya wajib bagi suami terhadap isteri. kewajiban mas kawin/mahar ini berdasarkan dalil al-Qur'an dan hadits diantaranya firman Allah yang berbunyi:

"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) diantara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka (dengan sempurna)" (Q.S. al-Nisa': 24)

Begitu juga dalam ayat selanjutnya : "Kawinilah mereka dengan seijin keluarga mereka dan berikanlah mas kawin mereka sesuai dengan kadar yang pas" (Q.S. al-Nisa': 25)

Adapun mengenai batas-batasnya (maksimal atau minimal), mahar tidak mempunyai batasan. Suami boleh memberikan mas kawin kepada isterinya berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan suami.

Pernah suatu kali Sahabat Umar bin Khattab ra. ketika menjabat sebagai khalifah membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham, tindakan ini ditentang oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa Allah telah berfirman:

"Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun". (Q.S. al-Nisa' : 20) Kalimat "qinthaar" dalam ayat ini bermakna : jumlah yang banyak tanpa batas. Maka ketika itu Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya berkata: "Wanita itu benar, Umarlah yang salah".

Tetapi walaupun demikian, agama tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah:

"Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling sedikit/murah mas kawinnya."

Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal mas kawin:
1.     Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2.     Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.
3.     Ulama Syafi'iah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat). Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada (a) ayat "Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian (wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa'), yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk dizinai" (Q.S. al-Nisa' : 24). Kalimat "amwaal" (Indonesia = harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya wajib diamalkan. (b) Hadits Rasulullah yang berbunyi : "iltamis walau khaataman min hadid" ("Berikanlah [mas kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi). Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: suatu saat Nabi didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan. Namun lantas Nabi berfikir agak panjang. Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada Nabi,
"Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu denganku".
"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?"
"Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini".
"Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan mahar? Carilah sesuatu".
"Sama sekali saya tak punya apa-apa".
"Carilah, walau hanya cincin besi".
Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata Nabi:
"Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur'an?".
"Oh ya, surat ini dan surat ini", dia mengatakan surat-surat yang dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, "Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari al-Qur'an".

Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali, bahkan berupa bacaan al-Qur'an, yang penting bernilai dan berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih (pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).

[]

Pengasuh Pesantren Virtual

Tidak ada komentar:

Posting Komentar