Heroisme Santri
Lirboyo dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan
Resolusi Jihad
yang menekankan wajibnya perang sabil melawan penjajah kolonial sebagai
hasil keputusan dalam konferensi para ulama yang tergabung dalam Jam'iyah NU
(kala itu masih bernama Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama, HBNO).
Konferensi tersebut
diikuti oleh para konsul khususnya dari Jawa dan Madura yang dipimpin oleh
Hadhratussyekh Hasyim Asyari pada 21-22 Oktober 1945 bertempat di kantor HBNO
Jalan Bubutan Surabaya.
Spirit pertemuan itu
benar-benar menggerakkan dan menyuntikkan semangat semua komponen bangsa ini
untuk ikut berjuang memberi andil mempertahankan kemerdekaan bangsa saat
Belanda hendak kembali menjajah dengan memboncengi Pasukan Sekutu.
Pertempuran Surabaya
yang memuncak pada 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai hari pahlawan
merupakan suatu rangkaian peristiwa yang dimulai pada hari kedua tentara Sekutu
dibawah pimpinan Brigadir Jenderal AWS. Mallaby saat mendarat untuk pertamakali
di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Sebagai respons dari
resolusi jihad di atas, terutama kaum santri dari pelbagai pesantren dari
banyak daerah kian tergerak untuk terlibat dalam aksi peperangan membela tanah
air. Salah satu pesantren yang tempo itu begitu intens terlibat dan terjun ke
medan perang berjuang untuk tanah air menghadapi musuh baik di era penjajahan
Belanda maupun Jepang adalah Pesantren Lirboyo Kediri, di samping pesantren
lain seperti Tebuireng, Buntet Cirebon, dan lain-lain.
Dengan mengendarai
truk dan hanya bersenjata sederhana, Para Santri Lirboyo di bawah komando
langsung KH Mahrus Aly berangkat menuju Surabaya menghadapi pasukan Sekutu yang
kian hari makin mengganggu stabilitas keamanan dan kemerdekaan Republik
Indonesia yang sudah diproklamasikan. Tercatat nama-nama merereka yang dikirim
antara lain: Syafi'i Sulaiman, Agus Jamaludin, Masyhari, Ridlwan, Baidhowi, dan
Damiri.
Mereka kesumanya
berasal dari Kediri. Ada lagi Abu Na'im Mukhtar dari Salatiga, Khudhari dari
Nganjuk, Sujairi dari Singapura, Zainudin Blitar, Jawahir Jember, Agus Suyuti
Rembang, dan masih banyak lagi santri lainnya. Sebelumnya, KH Mahrus Ali yang
mengkoordinir pasukan santri dan laskar Hizbullah tersebut juga salah satu Kiai
yang ikut menghadiri dan menyepakati tercetusnya Resolusi Jihad di gedung HBNU
Bubutan Surabaya.
Pengiriman pertama
ini berjumlah 97 santri. Di surabaya mereka kemudian tergabung dengan Laskar
Hizbullah. Selama 8 hari di Surabaya semua santri tersebut menjalankan puasa
yang telah diijazahkan oleh Kiai Mahrus. Pada momen perang ini rombongan santri
Lirboyo tersebut berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari pasukn musuh, dan
semuanya dapat kembali dalam keadaan selamat.
Keberhasilan ini
tentu tak lepas pula dari restu dan doa KH Abdul Karim dan menantunya KH
Marzuki Dahlan yang dari pondok senantiasa memberikan dukungan batin dan
spiritual melalui aneka mujahadah yang dipinpin langsung beliau berdua untuk
mendoakan bukan hanya bagi santri Lirboyo tapi untuk para pejuang bangsa secara
umum.
Sebelum pertempuran
Surabaya meletus, tepatnya pasca Bung Karno dan Bung Hatta memplokamirkan
kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 agustus 1945, Perjuangan para santri
Lirboyo telah mulai bergelora.
Tak lama setelah
proklamasi kemerdekaan dibacakan, Mayor Mahfud yang merupakan mantan Sudanco
PETA (semacam komandan seksi) di daerah Kediri menyampaikan berita gembira
kemerdekaan itu kepada KH Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri
di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo.
Di sana diumumkan
bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah oleh pihak asing,
sekarang telah resmi merdeka. Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu,
sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini
Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya) yang letaknya sekitar 1,5 Km dari arah
timur Pondok Pesantren Lirboyo.
Pada malam hari
dengan peralatan seadanya berangkatlah 440 santri mengadakan pernyerbuan di
bawah komando KH. Mahrus Aly, Mayor Mahfudh dan Abdul Rakhim
Pratalikrama.
Adalah Syafii
Sulaiman yang di kemudian hari menjadi Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Santri yang
masih berusia 15 tahun itu, diutus oleh Kiai Mahrus untuk menyusup ke markas
Dai Nippon guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan. Setelah
penyelidikan dirasa cukup, Syafii segera melapor kepada Kiai Mahrus dan Mayor
Mahfudh.
Invasi para santri
itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus, satu truk senjata hasil lucutan
Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo dan setelahnya diserahkan kepada Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang hingga kini (saat buku disusun, red) masih tersimpan
di Markas Brawijaya Kediri. []
M. Haromain, Tim
Penulis buku Sejarah Pesantren Lirboyo terbitan BPK P2L dan Pustaka 1 Abad Lirboyo,
2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar