Dari
Megawati untuk Mereka
Oleh: Budiarto
Shambazy
”Kalau
jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab.
Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia
dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”
Perayaan
hari jadi ke-44 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Jakarta,
Selasa (10/1) lalu, menjadi etalase keindonesiaan yang kolosal, khidmat, dan
mungkin berhasil menggugah akal dan nurani publik mayoritas diam (the silent
majority) untuk sekali lagi memahami betul arti kebinekaan. Rentetan acara yang
berlangsung sekitar 2,5 jam menyuguhkan aneka acara budaya, suguhan videotron,
dan pemberian penghargaan internal partai, di pungkas pidato politik Ketua Umum
PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Hari jadi
PDI-P kali ini tak lagi sekadar ajang pemberian tumpeng dari Megawati kepada
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla seperti pada dua tahun sebelumnya.
Hari jadi kali ini istimewa karena Megawati berpidato jujur dan lantang
menyikapi situasi politik beberapa bulan terakhir. Situasi politik dimaksud
adalah kericuhan waktu aksi Bela Islam pada 4 November 2016. Saat bersamaan
nyaris pecah kerusuhan di Jelambar dan sempat ada penumpukan massa di depan
Kompleks Parlemen, Senayan.
Sebelum
aksi Bela Islam pada 2 Desember 2016, sejumlah tokoh diciduk dan sampai kini
masih diperiksa dengan sangkaan makar. Aksi 2 Desember sendiri berlangsung aman
dan tertib serta dihadiri Presiden dan Wapres.
Aksi Bela
Islam itu untuk memprotes Gubernur DKI (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama yang
kini diadili karena dakwaan menodai agama. Basuki adalah calon gubernur DKI
2017-2022 yang didukung, antara lain, oleh PDI-P, yang menyertakan kadernya,
Djarot Saiful Hidayat, sebagai calon wakil gubernur.
Jadi
jelaslah peristiwa sejak 4 November 2016 sampai saat ini erat kaitannya dengan
Pilkada DKI yang berlangsung 15 Februari 2017. Dalam perjalanan peristiwa
inilah muncul sejumlah ”pemaksa kehendak” yang bukan hanya ingin melancarkan
makar, tetapi juga terang-terangan menghina presiden dan lambang negara.
Rasa
prihatin, sedih, dan sebal inilah yang membuat Megawati berbicara lantang.
”Anak-anak saya ini nakal-nakal Bapak Presiden, tetapi kalau untuk bangsa, jiwa
mereka berikan. Kalau ada yang macam-macam Bapak Presiden dan Wakil Presiden,
panggil kami,” ujarnya.
Di satu
pihak sesungguhnya demokrasi kita yang terhitung masih seumur jagung tidak
perlu lagi mempraktikkan machtsvorming (pengerahan massa). Politik hari ini
melulu memperlihatkan machtsvorming, seolah kekuatan politik hanya bisa diukur
melalui berapa banyak massa yang dikerahkan untuk ”demokrasi jalanan”.
Di lain
pihak, pernyataan Megawati cukup kontekstual untuk kondisi politik hari ini.
Megawati, yang akan berusia 70 tahun pada 23 Januari 2017, sosok politisi ulung
yang sudah makan asam-garam sejak diusir Orde Baru dari Istana Negara akibat
pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Juga
cukup aktual ketika Megawati mengutip ucapan ayahnya, Presiden Soekarno,
tentang menjadi Indonesia seperti tertera di atas kolom ini. Semakin hari kita
semakin menyadari adanya gerakan yang dilancarkan para pemaksa kehendak,
seperti yang memelesetkan Pancasila menjadi ”Pancagila”.
”Apa yang
terjadi di pengujung tahun 2016 harus dimaknai sebagai cambuk yang mengingatkan
kita terhadap pentingnya Pancasila sebagai ’pendeteksi sekaligus tameng
proteksi’ terhadap tendensi hidupnya ’ideologi tertutup’ yang mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa,” kata Megawati. Menurut dia, ideologi tertutup
itu dogmatis dan hanya muncul dari kelompok tertentu yang dipaksakan diterima
seluruh masyarakat.
Mereka
itulah yang anti dialog dan demokrasi, hanya memaksakan kepatuhan yang
didapatkan dari teror serta propaganda. Mereka melarang pemikiran kritis,
menghendaki keseragaman, memusnahkan pemahaman terhadap agama dan keyakinan
sebagai bentuk kesosialan, dan tidak menoleransi demokrasi serta keberagaman.
”Tidak
hanya itu, mereka benar-benar anti kebinekaan. Itulah yang muncul dengan berbagai
persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi lain, para pemimpin yang menganut
ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa self fulfilling
prophecy, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan
pasti terjadi pada masa datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana,
yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya,” kata Megawati.
Poin
paling menggugah dari pidato politik Megawati adalah ajakan terhadap kelompok
masyarakat mayoritas sunyi. ”… sudah saatnya silent majority bersuara dan
menggalang kekuatan bersama. Saya percaya mayoritas rakyat Indonesia mencintai
NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Sebuah
istilah dalam bahasa Inggris berbunyi ”the singer, not the song”. Kita mungkin
kira-kira sudah paham apa yang dipidatokan, tetapi isi pidato menjadi bertambah
makna karena diucapkan oleh siapa yang berbicara.
Dalam hal
ini, Megawati mempunyai legitimasi dan legalitas untuk berbicara tentang
situasi politik belakangan ini dan bagaimana kita memandang serta
menanggapinya. Kebetulan Megawati cenderung dikenal sebagai politisi yang
menjalani the politics of principles yang teguh.
Ia
memimpin sebuah partai nasionalis khas Indonesia yang dimulai dengan perjuangan
berat, dimulai dari karier politik paling bawah sebagai aktivis Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia yang sempat merasakan represi politik Orde Baru.
Dalam usia biologis ataupun ideologis yang nyaris paripurna, sebagai presiden
ke-5 dan politisi senior, ia sudah berbicara kepada kita mengenai situasi
politik yang kita hadapi saat ini.
Pidato
Megawati tentu juga jadi pemanasan untuk pertarungan PDI-P dan partai-partai
pendukung lainnya dalam pilgub DKI 15 Februari mendatang. Sekali lagi,
dirgahayu PDI-P! []
KOMPAS,
14 Januari 2017
Budiarto Shambazy | Wartawan
Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar