Halaqah Pesantren (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Pembicaraan dalam halaqah Pesantren ASEAN memperlihatkan, sejarah
pondok dan/atau pesantren (termasuk juga madrasah) sejak 1920an adalah sejarah
pembaharuan pendidikan Islam yang terus berlanjut di masa kontemporer.
Dihadapkan berbagai pembaharuan sebagai dampak perubahan cepat dan luas dalam
masyarakat, pesantren tetap mampu bertahan. Pesantren juga mampu mengubah
citranya menjadi kian positif menyangkut distingsi pendidikannya.
Di tengah semua perubahan, para santri lulusan pesantren sejak
1980-an mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara;
tidak hanya di Timur Tengah, namun juga di Barat. Mereka ini pada gilirannya
memperkaya dan memperkuat generasi baru kaum terpelajar dan intelektual Muslim
Indonesia dengan tetap memegangi Islam Indonesia wasathiyyah.
Sejak 1980-an, pesantren berkembang pesat menjadi semacam ‘holding
institution’, lembaga induk yang mencakup tidak hanya institusi pendidikan
agama—baik khusus untuk tafaqquh
fid-din dan madrasah — tetapi juga pendidikan umum, seperti
SD, SMP, SMU, SMK dan Perguruan Tinggi umum. Bahkan, pesantren juga menjadi
pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi rakyat
seperti koperasi dan usaha kecil, teknologi tepat guna, kesehatan masyarakat
sampai kepada konservasi lingkungan.
Pada saat yang sama, pesantren tidak lagi hanya terdapat di
pedesaan; sejak 1980an, kian banyak pesantren bermunculan di kawasan perkotaan
dan sub-urban, memunculkan gejala yang saya sebut sebagai ‘pesantren urban’.
Bahkan sistem ‘santri mukim’ juga diadopsi sekolah elite Islam, dengan
menggunakan istilah ‘boarding’, yang dilengkapi figur ‘kiai’ seperti di
pesantren.
Sebenarnya secara historis, pesantren sebagai ‘holding
institution’ telah bermula sejak waktu cukup lama. Sejak introduksi lembaga
pendidikan madrasah—sebagai sebuah corak modernisme pendidikan Islam di
Indonesia — sejak dasawarsa pertama abad 20, pesantren sedikit demi sedikit
mulai berkembang dari lembaga pendidikan Islam tradisional dalam dirinya
sendiri menjadi ‘lembaga induk’ (holding
institution) yang menyelenggarakan berbagai bentuk pendidikan mulai
dari ‘pesantren’ yang tetap tafaqquh fi al-din dan madrasah atau
mengkombinasikan keduanya.
Perkembangan ‘pesantren’ sebagai ‘holding institution’ (atau holding educational institution)
jelas meningkat cepat dalam dua dasawarsa terakhir. Sekali lagi, sebagai
lembaga induk, kini ‘pesantren’ tidak hanya menyelenggarakan pendidikan
madrasah, tetapi juga ‘sekolah umum’ sejak dari tingkat dasar sampai ke
perguruan tinggi. Bahkan pendidikan madrasah yang diselenggarakan pesantren
juga mengalami diversifikasi, khususnya untuk tingkat Madrasah Aliyah (MA).
Sekarang MA yang bersifat umum seperti MA IPA, MA IPS, MA Bahasa, MA
Ketrampilan lebih mendominasi di pesantren dibandingkan dengan MA Khusus (Keagamaan)
yang merupakan MA ‘tafaqquh fi al-din’.
Menjadi pertanyaan besar tentang apakah santri-santri MA jurusan
umum masih dapat dimasukkan ke dalam kategori santri tipikal pesantren
konvensional, yang sampai sekarang kelihatan masih menjadi gambaran dan
persepsi banyak kalangan masyarakat. Padahal, para santri jebolan pesantren
telah merambah ke berbagai lembaga pendidikan umum baik di tanahair maupun di
mancanegara. Mereka juga telah berada di mana-mana; tidak hanya di lembaga
Islam, tapi juga dalam pemerintahan dan birokrasi serta berbagai institusi
swasta.
Dalam pembicaraan halaqah pesantren dapat terlihat, perubahan
substansi keilmuan pesantren terjadi ketika madrasah yang ada di lingkungan
pesantren sesuai dengan UU Sisdiknas disetarakan dengan sekolah umum. Untuk
kesetaraan itu, madrasah mesti menggunakan Kurikulum Kemendikbud — ditambah
Kurikulum Agama yang ditetapkan Kemendikbud bekerja sama dengan Kemenag.
Perubahan substansi keilmuan ini mendorong terjadinya perubahan
kelembagaan. Pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah, tetapi juga sekolah
umum. Bahkan pada tingat MA mengembangkan lebih banyak MA Umum dengan jurusan
IPA, IPS, Bahasa, dan Keterampilan. Sedangkan MA tafaqquh fid-din yang dikenal sebagai
MAK justru dihapuskan Ditjen Binbaga Islam (kini Ditjen Pendidikan Islam)
sehingga menimbulkan ‘krisis’ dalam jumlah alumni MA yang mampu memasuki
jurusan di PTAI yang memerlukan kemampuan bahasa Arab seperti Tafsir-Hadits,
Bahasa/Sastra Arab atau Akhwalus-Sakhsiyyah.
Dengan berbagai perkembangan itu, berkembang kecemasan di banyak
kalangan pesantren tentang ‘kemerosotan’ pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam yang banyak diharapkan melahirnya peserta didik yang memiliki pemahaman,
kemampuan dan praksis yang unggul dalam ilmu dan amal Islam. Kian dominannya
‘ilmu umum’ di berbagai lembaga pendidikan berbasis pesantren cenderung membuat
‘ilmu agama Islam’ terpinggirkan.
Perubahan dan pembaruan membawa konsekuensi tertentu yang sering
mencemaskan. Kecemasan itu sepatutnya mendorong para pengelola pesantren untuk
mencari cara untuk memperkuat kembali aspek tafaqquh fid-din pendidikan
pesantren. Dengan pendidikan yang berlangsung 24 jam, pesantren memiliki
peluang besar untuk penguatan kembali tafaqquh
fid-din. []
REPUBLIKA, 05 Januari 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar