Tanggapan Syekh Ibnu Hajar
atas Tuduhan Bid’ah Puasa Rajab
Sebagian kalangan menganggap bahwa puasa di
bulan Rajab adalah bid’ah. Mereka berdalih bahwa hadits yang menerangkan
tentang puasa Rajab tidak bisa dibuat dalil. Mereka menganggap tradisi berpuasa
di bulan Rajab ini adalah terlarang. Beberapa syubuhat (propaganda)
mereka lancarkan di berbagai media untuk menghentikan tradisi berpuasa Rajab
yang telah turun temurun diakui oleh para kiai dan ajengan di Nusantara.
Benarkah puasa Rajab dilarang oleh agama?
Fenomena pelarangan puasa Rajab sebenarnya
bukan hal yang baru. Dahulu ada seorang ustadz di zaman Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami dengan lantangnya menyuarakan pelarangan puasa Rajab. Ia seakan
merasa lebih alim dari ulama pada waktu itu yang secara keilmuan jauh lebih
luas darinya. Ia berargumen begini:
أَحَادِيثُ
صَوْمِ رَجَب مَوْضُوعَةٌ وقد قال النَّوَوِيُّ الْحَدِيثُ الْمَوْضُوعُ لَا
يُعْمَلُ بِهِ وقد اتَّفَقَ الْحُفَّاظُ على أَنَّهُ مَوْضُوعٌ
“Hadits-hadits tentang puasa bulan Rajab
adalah maudlu’ (palsu), al-Imam al-Nawawi mengatakan hadits maudlu’
tidak bisa diamalkan. Sedangkan para huffazh sepakat bahwa hadits tersebut
palsu.”
Dengan argumen tersebut, secara frontal ia
mengharamkan dan membid’ahkan masyarakat setempat yang menjalankan puasa Rajab.
Hal ini membuat masyarakat resah atas fatwa haram tersebut, hingga akhirnya
persoalan tersebut dihaturkan kepada Syekh Ibnu Hajar al-Haitami untuk
memberikan solusi jawaban atas fatwa tersebut.
Jawaban Syekh Ibnu Hajar al-Haitami atas
fatwa bid’ah berpuasa Rajab tersebut setidaknya dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Pertama, memang betul
terdapat beberapa hadits puasa Rajab yang maudlu’ (palsu), hanya saja
para ulama dalam menetapkan kesunahan berpuasa Rajab sama sekali tidak
berpegangan pada hadits tersebut. Beliau menegaskan:
نَعَمْ
رُوِيَ في فَضْلِ صَوْمِهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ مَوْضُوعَةٌ وَأَئِمَّتُنَا
وَغَيْرُهُمْ لم يُعَوِّلُوا في نَدْبِ صَوْمِهِ عليها حَاشَاهُمْ من ذلك
وَإِنَّمَا عَوَّلُوا على ما قَدَّمْته وَغَيْره
“Betul demikian, terdapat banyak hadits palsu
yang menerangkan keutamaan berpuasa Rajab, hanya saja para imam kita dan yang
lain tidak berpedoman pada hadits-hadit tersebut, dan sungguh tidak mungkin
bila hal tersebut tetjadi. Akan tetapi mereka berpegangan pada argumen yang
telah saya sampaikan dan dalil-dalil lainnya.”
(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ
al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983, juz 2, halaman 53)
Kedua, kesunahan puasa
Rajab sudah tercakup dalam hadits yang menganjurkan berpuasa secara umum,
seperti hadits qudsi:
يقول
الله كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ له إلَّا الصَّوْمَ
“Allah berfirman, seluruh amal Ibnu Adam
diperuntukan kepadanya kecuali puasa.”
Atau hadits Nabi tentang puasa Daud:
إنَّ
أَفْضَلَ الصِّيَامِ صِيَامُ أَخِي دَاوُد كان يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah
puasanya saudaraku Daud, ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari
berikutnya.”
Dalam hadits tersebut, Rasulullah tidak
mengecualikan bulan tertentu, termasuk Rajab. Ibnu Hajar menegaskan:
وكان
دَاوُد يَصُومُ من غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِمَا عَدَا رجب من الشُّهُورِ
“Dan Nabi Daud berpuasa tanpa ada batasan
pengecualian di bulan Rajab.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ
al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz 2, halaman 53)
Ketiga, kesunahan puasa
Rajab sudah tercakup dalam hadits yang menganjurkan berpuasa di bulan-bulan
haram. Dan sudah sangat maklum, Rajab termasuk dari bulan-bulan haram, bahkan
tergolong yang paling mulia di antara bulan-bulan haram tersebut. Seperti dalam
hadits riwayat Abi Daud, Ibnu Majah dan lainnya:
عن
الْبَاهِلِيِّ أَتَيْت رَسُولَ اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم فَقُلْت يا رَسُولَ
اللَّهِ أنا الرَّجُلُ الذي أَتَيْتُك عَامَ الْأَوَّلِ قال فما لي أَرَى جِسْمَك
نَاحِلًا قال يا رَسُولَ اللَّهِ ما أَكَلْت طَعَامًا بِالنَّهَارِ ما أَكَلْته
إلَّا بِاللَّيْلِ قال من أَمَرَك أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَك قُلْت يا رَسُولَ
اللَّهِ إنِّي أَقْوَى قال صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ
وَصُمْ الْأَشْهُرَ الْحُرُمَ
“Dari al-Bahili, aku mendatangi Nabi, dan
berkata: ‘Ya Rasul, aku adalah laki-laki yang mendatangimu di tahun yang lalu.’
Rasul menjawab, ‘Aku lihat badanmu semakin kurus.’ Ia menjawab, ‘Ya Rasul, aku
tidak makan di siang hari, aku makan hanya di malam hari.’ Rasul berkata,
‘Siapa yang memerintahmu untuk menyiksa dirimu?’ Aku berkata, ‘Ya Rasul
sesungguhnya aku kuat (berpuasa).’ Rasul berkata, ‘Berpuasa di bulan sabar dan
tiga hari setelahnya, berpuasalah di bulan-bulan mulia.”
وفي
رِوَايَةٍ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا من كل شَهْرٍ قال زِدْنِي فإن لي
قُوَّةً قال صُمْ يَوْمَيْنِ قال زِدْنِي فإن لي قُوَّةً قال صُمْ ثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ بَعْدَهُ وَصُمْ من الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ من الحرم وَاتْرُكْ وقال
بِأُصْبُعِهِ الثَّلَاثِ يَضُمُّهَا ثُمَّ يُرْسِلُهَا
“Dalam riwayat lain disebutkan, berpuasalah
di bulan sabar dan satu hari di setiap bulannya. Al-Bahili menjawab, ‘Tambahkan
lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih sanggup.’ Rasul berkata, ‘Berpuasalah dua
hari.’ Al-Bahil berkata, ‘Tambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih
sanggup.’ Rasul berkata, ‘Berpuasalah tiga hari setelahnya, berpuasalah dari
bulan haram, tinggalkanlah dari bulan haram, berpuasalah dari bulan haram dan
tinggalkanlah darinya.’ Nabi berisyarah dengan ketiga jarinya seraya
mengumpulkan dan melepaskannya.”
Setelah mengutip hadits di atas, Syekh Ibnu
Hajar menegaskan:
فَتَأَمَّلْ
أَمْرَهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم بِصَوْمِ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ في الرِّوَايَةِ
الْأُولَى وَبِالصَّوْمِ منها في الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ تَجِدهُ نَصًّا في
الْأَمْرِ بصوم رَجَب أو بِالصَّوْمِ منه لِأَنَّهُ من الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ بَلْ
هو من أَفْضَلِهَا
“Renungkanlah perintah Nabi dengan berpuasa
penuh di bulan haram dalam riwayat pertama, dan berpuasa di sebagian hari bulan
haram dalam riwayat kedua, maka engkau akan menemukan dalil nash yang tegas
tentang anjuran berpuasa di sepanjang bulan Rajab atau beberapa hari darinya,
sebab Rajab termasuk bulan-bulan mulia, bahkan termasuk yang paling utama di
antara bulan-bulan mulia tersebut.”
(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ
al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz.2, hal.53)
Keempat, terdapat beberapa
hadits dla’if yang menganjurkan berpuasa di bulan Rajab secara khusus, di
antaranya hadits riwayat al-Baihaqi dari sahabat Anas:
إنَّ
في الْجَنَّةِ نَهْرًا يُقَالُ له رَجَبٌ أَشَدُّ بَيَاضًا من اللَّبَنِ وَأَحْلَى
من الْعَسَلِ من صَامَ من رَجَبٍ يَوْمًا سَقَاهُ اللَّهُ من ذلك النَّهْرِ
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat sungai
yang disebut Rajab, lebih putih dari susu, lebih manis dari madu. Barang siapa
berpuasa dari bulan Rajab satu hari, maka Allah kelak memberinya minum dari
sungai tersebut.”
Hadits ini tergolong hadits mauquf atas Abi
Qilabah, seorang tabi’in.
Dalam hadits lain disebutkan:
عن
أبي هُرَيْرَةَ أَنَّ النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم لم يَصُمْ بَعْدَ رَمَضَانَ
إلَّا رَجَبَ وَشَعْبَانَ
“Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi tidak
berpuasa setelah Ramadlan kecuali di bulan Rajab dan Sya’ban.”
Sanad hadits ini adalah lemah (dla’if).
Meski tergolong dla’if, namun hadits di atas
dapat dipakai dalam konten yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadlail
al-a’mal), dan berpuasa Rajab termasuk dalam konteks ini. Syekh Ibnu Hajar
menegaskan:
وقد
تَقَرَّرَ أَنَّ الحديث الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضَلَ
وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بها في فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا وَلَا شَكَّ
أَنَّ صَوْمَ رَجَبٍ من فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ فَيُكْتَفَى فيه بِالْأَحَادِيثِ
الضَّعِيفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذلك إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ
“Dan merupakan ketetapan bahwa hadits dla’if,
mursal, munqathi’, mu’dlal dan mauquf dapat dipakai untuk keutamaan amal
menurut kesepakatan ulama. Tidak diragukan lagi bahwa berpuasa Rajab termasuk
dalam keutamaan amal, maka cukup memakai hadits-hadits dla’if dan sesamanya.
Dan tidak mengingkari kesimpulan ini kecuali orang bodoh yang tertipu.” (Syekh
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar
al-Fikr, 1983 M, juz.2, halaman 53)
Demikian penjelasan mengenai tanggapan atas
syubuhat (propaganda) mengenai pelarangan puasa Rajab. Klaim bid’ah atau haram
atas tradisi berpuasa Rajab tidak memiliki dasar yang kuat, bahkan menurut
Syekh Ibnu Abdissalam sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Hajar, pihak yang berfatwa
demikian adalah orang bodoh. Ditegaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah
al-Kubra:
وَاَلَّذِي
يَنْهَى عن صَوْمِهِ جَاهِلٌ مَعْرُوفٌ بِالْجَهْلِ وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ
يُقَلِّدَهُ في دِينِهِ
“Orang yang melarang berpuasa Rajab adalah
orang bodoh yang dikenal kebodohannya. Dan tidak halal bagi orang muslim untuk
mengikutinya dalam urusan agama.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ
al-Fiqhiyyah al-Kubrâ, Beirut, Dar al-Fikr, 1983 M, juz.2, halaman 53).
Semoga penjelasan ini bermanfaat. Dan mari
kita senantiasa berhati-hati untuk gegabah memvonis bid’ah atau haram, terlebih
tradisi yang sudah diamini oleh banyak ulama secara turun temurun tanpa ada
pengingkaran dari mereka. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar