Menduniakan ”Bhinneka Tunggal Ika”
Oleh: Yahya C Staquf
Dihapuskannya norma segregasi dan diskriminasi serta ditegakkannya
kesetaraan antara Muslim dan non-Muslim adalah imperatif yang terbit tidak
hanya sebagai konsekuensi khas dari keberadaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ataupun format negara-bangsa saja.
Akan tetapi, lebih dari itu, ia harus diwujudkan secara universal di seluruh
dunia, termasuk di negara-negara yang hingga kini masih bertudung identitas
sebagai negara Islam.
Wacana yang terdapat dalam fikih (yurisprudensi Islam)
klasik (turats) tentang
empat kategori ”kafir”, yaitu harbi (diperangi), dzimmi (dilindungi), mu’ahhad (terikat perjanjian
damai), dan musta’min (diberi
suaka), sesungguhnya merupakan derivat dari asumsi adanya satu negara
Islam (daulah
Islamiyah) universal. Negara Islam dimaksud meliputi seluruh
wilayah berpenduduk Muslim dan mengikat segenap umat Islam di bawah satu sistem
politik atau penguasa tunggal yang berfungsi untuk mengonsolidasikan seluruh
umat Islam menghadapi ancaman—aktual ataupun potensial—dari pihak non-Islam.
Jelas bahwa kategorisasi itu dilatari nalar ”kesiagaan” menghadapi
konflik. Kemudian menjadi penentu status kewargaan dan kedudukan yang
bersangkutan (kafir) di hadapan negara dan kesatuan umat Islam sebagai
konstituen ”pemilik” negara.
Bahtsul masail maudlu’iyyah (pembahasan masalah-masalah tematik)
dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren
Miftahul Huda Al Azhar, Banjar Patroman, 27 Februari-1 Maret 2019, telah
membuktikan bahwa kategorisasi itu tidak relevan bagi negara-bangsa. Wacana
fikih klasik di atas lahir bersesuaian dengan konteks realitas kesejarahan pada
zamannya, yaitu realitas sistemik dari peradaban umat manusia pada masa itu.
Kini kita menghadapi realitas peradaban yang secara fundamental sama sekali
berbeda. Perubahan-perubahan mendasar pada format peradaban telah terjadi.
Empat fenomena besar
Sebagaimana dinyatakan di dalam Manifesto Nusantara yang telah
diumumkan oleh Gerakan Pemuda Ansor di Yogyakarta, 25 Oktober 2018, paling
tidak ada empat fenomena perubahan besar yang mewarnai lahirnya format
peradaban baru pada masa kini.
Pertama, perubahan tatanan politik internasional. Pada masa lalu,
hampir setiap negara atau kerajaan menyandang identitas agama. Pada masa kini,
sebagian besar negara-negara yang ada telah melepaskan identitas agama dan
menggantinya dengan identitas nasional.
Selain itu, pada masa lalu tak ada rezim perbatasan antarnegara
sehingga hubungan antarnegara berlangsung senantiasa dalam kerangka interaksi
militer. Bahkan, negara-negara yang secara geografis bersandingan satu dengan
lain cenderung terjebak dalam perang abadi di garis batas jangkauan militer
masing-masing. Saat ini, dengan adanya rezim internasional, yaitu PBB, maka
perbatasan antarnegara jauh lebih terjamin kemapanannya sebagai batas- batas kedaulatan
masing-masing.
Kedua, perubahan demografi dan prinsip kewargaan. Migrasi
mengikuti aspirasi dan kontak-kontak ekonomi mendorong pergerakan manusia
melintasi batas-batas negara sehingga—pada masa kini—kita mendapati potret
demografis yang sangat heterogen di berbagai kawasan. Dalam hal ini termasuk
tumbuhnya komunitas Muslim dalam jumlah yang signifikan di kawasan-kawasan yang
pada masa lalu hanya memiliki penduduk non-Muslim saja, seperti di Eropa,
Amerika, dan kawasan-kawasan lain.
Pada masa lalu, karena setiap negara atau kerajaan menggunakan
identitas agama, maka status kewarganegaraan didasarkan pula atas identitas
agama dari penduduknya dan supremasi agama penguasa dijadikan landasan
penilaian. Penduduk yang memeluk agama berbeda dari agama negara cenderung
dipersekusi atau sekurang-kurangnya diberi status sebagai warga kelas dua. Pada
masa kini, dengan dilepaskannya identitas agama, maka negara menoleransi
keragaman identitas agama di antara warganya.
Ketiga, perubahan dalam standar norma-norma (’urf). Praktik-praktik
mengabaikan sebagian hak-hak kemanusiaan yang pada masa lalu ditoleransi,
seperti perbudakan, penjajahan antarbangsa, persekusi, dan diskriminasi atas
minoritas, kini secara umum dipandang sebagai kejahatan menurut standar norma-norma
keadaban.
Keempat, fenomena globalisasi. Globalisasi yang didorong oleh
interaksi-interaksi ekonomi dan perkembangan teknologi telah menjadikan
batas-batas fisik, yaitu batas-batas geografis, ataupun batas-batas politik
antarbangsa semakin kurang relevan dalam dinamika sosial. Perkembangan
teknologi juga telah secara dramatis menjembatani jarak fisik sehingga setiap
peristiwa yang terjadi di mana pun berpotensi memicu rangkaian
konsekuensi-konsekuensi global.
Dinamika global
Dunia masa kini adalah satu kampung besar yang melebur menjadi
peradaban tunggal. Tak ada satu wilayah pun yang dapat diisolasi. Ketika di
suatu negara—yang mengklaim identitas Islam—non-Muslim didiskriminasi atas nama
norma fikih klasik, reaksi akan serta-merta datang dari masyarakat non-Muslim
seluruh dunia, sangat mungkin diiringi pembalasan. Dapat dibayangkan akibat
berantainya akan membawa dunia ke arah konflik semesta tanpa masa depan selain
keruntuhan peradaban seluruhnya.
Pejabat Rais ’Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Miftahul Ahyar
menyerukan rekontekstualisasi pandangan- pandangan fikih yang tidak lagi
selaras dengan konteks realitas. Umat Islam, di mana pun berada, tidak
selayaknya mengasingkan diri, mencurigai, apalagi memusuhi warga masyarakat
dunia lainnya. Keselamatan peradaban dunia bergantung pada kemampuan masyarakat
global dengan segala ragamnya berintegrasi secara harmonis. Dengan dinamika
global yang diwarnai ancaman konflik di mana-mana, sudah saatnya ”Bhinneka
Tunggal Ika” dijadikan norma pergaulan seluruh umat manusia dan landasan
peradaban dunia. []
KOMPAS, 8 Maret 2019
Yahya C Staquf | Katib ’Aam Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar