Syukur Tanpa Tepi,
Tanpa Tapi dan Tanpa Henti
Penulis
: Khaliel Anwar
Cetakan
: I, Oktober 2018
Penerbit
: PT. Qaf Media Kreativa
Tebal
: 291 Halaman
ISBN
: 978-602-5547-31-7
Peresensi
: Muhammad Faiz As, Pengurus
Perpustakaan Pondok Pesantren. Annuqayah Lubangsa Selatan Sumenep, sekaligus
staf redaksi Majalah Infitah.
“Syukuri apa yang
ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik.”
Penggalan lirik lagu yang sempat dipopulerkan oleh Band D’Masiv ini masih lekat
di telinga kita. Kurang lebih semangat yang ingin disampaikan Khaliel Anwar
melalui buah tangannya ini sama dengan lagu tersebut, yaitu spirit bersyukur dalam
menjalani kehidupan.
Menurut
literatur-literatur agama, utamanya yang berbau tasawuf, syukur memiliki
beberapa tingkatan, yaitu syukur dengan perkataan(bil lisan), syukur dengan
perbuatan(bil arkan) dan syukur dengan hati (bil qalb). Khaliel Anwar mengajak
kita menghayati syukur dari tataran yang paling bawah dan paling mudah, yaitu
syukur perkataan, dengan sekadar melafadzkan alhamdulillah.
Melalui judul buku
yang dicanangkan, Khaliel menegaskan bahwa alhamdulillah bukan kalimat singkat
yang semata diucapkan sebagai formalitas kala dikaruniai nikmat oleh Tuhan.
Alhamdulillah mengandung kekuatan ilahiah yang jika disadari berimbas pada
totalitas penghambaan diri kepada Allah SWT. Sebab seperti kata D’Masiv tadi,
hidup kita sejatinya adalah anugerah, terlepas dari banyak kekayaan yang kita
miliki atau bahkan tidak memiliki apa-apa sama sekali. Helaan napas, kedipan
mata, gerak tangan, langkah kaki adalah sekelumit nikmat agung yang kadang
luput kita syukuri, kendati sekadar dengan alhamdulillah.
Di zaman yang kian
mendekati ajalnya, syukur seakan menjadi perkara tabu yang tertelungkup di
bawah hasrat menggebu untuk menumpuk harta, memanjat tahta, dan menguber dunia.
Potret pilu ini dipicu minimnya penghayatan dan penerimaan atas segala nikmat
yang telah Allah ruahkan. Padahal, tanpa syukur, orang kaya belum tentu
bahagia. Sebaliknya, dengan bersyukur, orang miskin belum tentu menderita.
Karena Allah tidak menyertakan kekayaan batin dalam tumpukan kekayaan material
yang kita raup (hlm. 26).
Khaliel Anwar menyadari
bahwa syukur tidak terbatas saat kita sedang mendapat nikmat, semisal kenaikan
pangkat, gaji, lulus ujian dan semacamnya. Segala realitas kehidupan, sejatinya
adalah manifestasi dari kehadiran-Nya. Ia pasti telah meramu segenap realitas
tersebut dengan ilmu-Nya yang mahaluas. Dan tak ada tujuan dari semua realitas
yang telah diramu dengan ilmu-Nya kecuali untuk kebaikan dan kebahagiaan hamba
saja. Karena itu, bermacam warna realitas yang singgah, patut kita
alhamdulillah-hi tanpa menyoal pahit dan manisnya.
Syukur yang seakan
'buta' realitas tersebut menjadi alamat dari puncak laku spiritual. Di mana
yang tampak berharga bukan apa yang diberikan, namun siapa yang memberi nikmat
tersebut. Spirit syukur yang membuhul kuat ini tersimpul dari intensitas
kecintaan yang amat kuat pula kepada Allah SWT. melalui dzikir yang senantiasa
diucapkan. Sehingga hati tidak pernah menemukan celah keburukan dari setiap
hilir mudik realitas yang menghampiri (hlm. 33).
Pijakan primordial
untuk membangun semangat bersyukur tersebut adalah melafadzkan alhamdulillah.
Tentunya bukan sebatas pengucapan yang kosong makna atau bernada formal belaka.
Alhamdulillah perlu dihayati secara mendalam dengan terus berusaha menguak,
meraba bahkan menghitung segenap nikmat yang Allah berikan kepada kita.Tatkala
alhamdulillah telah menyublim dalam jiwa, ia akan menjembatani hati dan polah
tingkah kita untuk turut padu dan lebur dalam syukur pula.
Dari kacamata
alhamdulilah, Khaliel membawa kesadaran kita bertamasya ke setiap lini
kehidupan. Ujungnya, kesadaran kita akan serasa dicubit oleh
elaborasi-elaborasi bernuansa psikologi spiritual yang amat kontemplatif dan
instrospektif. Lebih-lebih bagi kita yang masih sering mengeluh dan enggan
berterimakasih atas nikmat-nikmat yang telah Allah limpahkan.
Gaya bertutur yang
khas juga membuat pesan yang hendak disampaikan Khaliel menjadi ringan dicerna,
tidak berbelit-belit, tidak pula fakir esensi. Sayangnya, buku ini tidak luput
dari peribahasa “tiada gading yang tak retak”. Buku yang saya miliki mengalami
cacat cetakan berupa kurangnya beberapa halaman. Sebagai pembaca yang
baik—sebagaimana spirit yang ingin dibangun buku ini—saya akan mensyukuri buku ini,
sekalipun terdapat ketidaksempurnaan, Alhamdulillah! Dan semoga ini hanya
terjadi pada buku yang saya miliki saja. Salam Literasi! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar