Kisah Sumur Zamzam yang Sempat Kering dan
Tertutup
Imam Bukhori meriwayatkan di dalam Kitab
Shahih-nya seputar sumber air zamzam. Makkah belum berpenghuni ketika Nabi
Ibrahim dan sang istri (Siti Hajar) serta sang bayi (Nabi Ismail) tiba di
Makkah. Tanahnya berupa pegunungan yang tandus. Tak satu pun manusia tinggal di
sana kecuali keluarga Nabi Ibrahim as, dalam kedeadaan sedemikian rupaAllah SWT
memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk meninggalkan istri dan putra menuju
Palestina.
Dengan berat hati beliau melangkahkan kaki
meninggalkan mereka yang amat dicintainya. Beliau meninggalkan mereka di suatu
tempat yang sangat sepi, sunyi, dan tak berpenghuni serta hanya berbekal air
dan kurma yang tak memadai.
Ketika langkah kaki Sang Nabi semakin jauh
dan tak terlihat lagi oleh istri dan putranyabeliau memalingkan wajah ke
Baitullah seraya berdoa. Dengan mengangkat kedua tangan setinggi-tingginya dan
air mata yang membasahi pipi, Nabi Ibrahim as berdo’a sebagaimana yang telah
diabadikan dalam Firman Allah SWT QS Ibrahim (14): 37.
رَّبَّنَآ
إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ
ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفِۡٔدَةٗ مِّنَ
ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ
يَشۡكُرُونَ ٣٧
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah
menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman
di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian
itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Itulah doa Nabi Ibrahim as untuk anak
turunannya agar senantiasa menjalankan sholat sehingga berkah dan rezeki tetap
mengalir bagi mereka yang selalu istiqomah menjalankan peintah-Nya.
Siti Hajar terus-menerus menyusui Nabi Ismail
sampai tak terasa perbekalan air dan kurma hampir habis. Dan pada akhirnya,
Siti Hajar sudah tidak bisa menyusui lagi. Ketika air susu Siti Hajar kering,
Nabi Ismail mulai kehausan dan terus menangis dengan keras. Siti Hajar
kebingungan tak tau apayang harus ia kerjakan.
Lalu, Siti Hajar naik menuju Bukit Shafa
sembari menoleh kekanan dan ke kiri seraya berharap menemukan orang yang dapat
membantunya. Akan tetapi, tak ada satu pun manusia yang tampak di gurun yang
tandus itu.
Kemudian, ia menuju Bukit Marwah dengan
harapan yang sama pula. Ia berkata, “Seandainya aku terus berlari-lari kecil,
aku pasti akan kecapaian. Dan seandainya anakku meninggal, aku kelak tak akan
bisa melihatnya kembali.”
Akhirnya, pada putaran ke tujuh tatkala turun
dari Bukit Marwah, Siti Hajar mendengar suara aneh dari arah Baitullah. Beliau
mendekatinya. Ternyata, suara itu merupakan malaikat yang sedang mengepakkan
sayapnya sehingga keluar mata air yang sangat jernih. Melihat air memancar
sangat deras, Siti Hajar pun mendekatinya dan membuat gundukan di sekitar air
tersebut agar tidak mengalir ke mana-mana.
Kemudian mata air itu disebut dengan zamzam.
Lari-lari kecil yang dilakukan Siti Hajar dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah
menjadi ritual haji yang disyariatkan oleh Nabi sampai saat ini yang disebut
dengan sa’i, yaitu lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh putaran.
Zamzam Sepeninggal Nabi Ismail
Salah satu kabilah dari Yaman yang dikenal
dengan nama Jurhum datang dan tinggal di Makkah. Mereka senang tinggal di
Makkah karena terdapat air zam-zam yang jernih dan segar yang sepanjang hidup
mereka belum pernah menemukan air seperti ini. Sumur zam-zam telah menjadi
sumber penghidupan bagi mereka.
Namun keadaan itu membuat mereka lupa, bahkan
berlaku zalim terhadap orang yang mengunjunginya. Mereka berani memakan harta
yang mereka hadiahkan untuk Baitullah dan merampas harta benda orang lain yang
hidupdi sekitarnya. Padahal, pada waktu itu tidak diperkenankan melakukan
segala bentuk kedzaliman di dalamnya.
Seiring dengan perilaku dan sikap Kabilah
Jurhum yang semakin brutal, sedikit demi sedikit sumber air sumur zamzam
semakin mengecil. Sampai sumber air zamzam tertutup sama sekali. Ini merupakan
suatu balasan atas kebrutalan mereka.
Semua perilaku Jurhum menyebabkan petaka bagi
orang-orang di sekitarnya. Sehingga suatu ketika terjadi peperangan antara
Jurhum dan Bani Khuza’ah yang berakhir dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari
Baitullah. Seiring dengan berjalannya waktu, sumur zam-zam semakin tertutup dan
tak terlihat.
Penggalian Zamzam oleh Abdul Muthalib
Zamzam mulai digali pada masa Abdul Mutholib,
kakek Rasululullah SAW. Penggalian tersebut terjadi sebelum kelahiran Nabi
(Tahun Gajah) dan berdasarkan mimpi beliau. Suatu ketika beliau tidur.
Tiba-tiba ada perintah yang mengatakan,
“Galilah thibah!” Beliau pun bertanya, “Apa thibah itu?” Setelah
berulang kali ada suarayang memerintahkan, “Galilah zamzam!” Dia bertanya lagi,
“Apa itu zamzam?” Suara itu kembali terdengar, “Tidak akan berhenti selamanya
dan tidak akan terputus untuk memberi penghidupan jamaah haji yang mulia.”
Ketika tempat yang ditentukan sudah jelas,
beliau memulai mencoba untuk menggalinya. Tempat zamzam yang ditunjukkan
ternyata sangat kering, seolah-olah tidak mungkin ada sumber air sebelumnya.
Penggalian zamzam terus dilakukan walaupun banyak dari para penggali yang
meninggal dunia.
Melihat keadaan kaumnya yang sangat kesulitan
dalam usaha penggalian mata air zamzam, maka muncullah dalam hati Abdul
Muthalib untuk bernadzar, “Seandainya penggalian sumur zamzam dapat sempurna
dan mata air kembali keluar, jika aku dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki,
maka aku akan menyembelih salah satu di antara mereka.”
Ternyata, Allah SWT mengabulkan nadzarnya.
Dari enam wanita yang dinikahi oleh Abdul Muthalib terlahirlah sepuluh anak
laki-laki, yaitu Al-Haris, Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubair, Al-Abbas, Dhoror,
Abu Lahab, Al-Ghaidaq, Hamzah, dan Al-Muqawwam.
Kehadiran sepuluh putranya menjadikan
inspirasi baru bagi Abdul Muthalib untuk memulai penggalian sumur zamzam yang
sempat terhenti. Dengan izin Allah SWT, penggalian sumur zamzam berhasil.
Kemudian untuk memenuhi nadzarnya, Abdul Muthalib mengundi di antara sepuluh
putranya. Setelah berkali-kali dilakukan, ternyata undian tetap jatuh pada
Abdullah, putra kesayangannya. Abdul Muthalib mengundang Bani Makhzum dan para
pemimpin kabilah Quraisy.
Ibnu Hisyam menjelaskan dalam bukunya “Sirah
Nabi”, “Ketika Abdul Muthalib membawa Abdullah untuk disembelih, Al-Mughirah
bin Abdullah bin Amr bin Mahzum mengatakan:
“Demi Allah, jangan sekali-kali engkau
menyembelihnya untuk selamanya sampai engkau dapat menghindarinya. Apabila kita
bisa menggantinya dengan harta, maka lebih baik kita menggantinya.”
Orang Quraisy tetap tidak setuju dengan cara
mengorbankan saah satu putra beliau. Mereka khawatir kelak hal ini akan menjadi
kebiasaan orang Arab dan orang Makkah.
Setelah sekian lama berdebat, akhirnya Abdul
Muthalib berdoa kepada Allah. Dan akhirnya diputuskan bahwa ia menyembelih
seratus ekor unta sebagai ganti nadzarnya. Pelanggaran nadzar ini disebut dengan
diyat (denda). Dan itulah denda pertama kali kemudian ditetapkan dalam
syariat Islam sebagai dalam pelanggaran tertentu di Tanah Haram. []
Millatul Miskiyyah, Mahasiswi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar