Kekerasan Seksual dalam
Fiqih (2): Definisi Pelecehan Seksual
Untuk menetapkan status hukum bagi pelaku dan
korban kekerasan seksual, penting artinya kita memahami definisi kekerasan itu
sendiri. Sebuah tindakan disebut sebagai kekerasan pada dasarnya adalah karena
dalam tindakan tersebut menyimpan makna aniaya (dhalim). Jika diksi
“kekerasan” ini kita lekatkan pada “seksual” sehingga membentuk frasa
“kekerasan seksual”, maka yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah semua
tindakan yang mengandung “unsur aniaya” yang berorientasi pada kasus seksual.
Tentu definisi ini masih tergolong prematur khususnya bila dikaitkan dengan
syariat, sebab memerlukan banyak perincian dan penjelasan.
Penting memahami frasa “unsur aniaya” untuk
membedakannya dengan “kasus perzinaan”, karena dalam setiap kekerasaan seksual
terdapat unsur perzinaan. Namun, tidak dengan kasus perzinaan, yang mana kadang
tidak masuk dalam bagian definisi kekerasan itu sendiri. Setiap perbuatan
aniaya, terlekat substansi makna pemaksaan (ikrah). Kita ambil contoh
misalnya kasus pemerkosaan.
Pemerkosaan merupakan tindakan yang dhalim
(aniaya). Kezaliman itu disebabkan adanya unsur pemaksaan (ikrah) untuk
melakukan hubungan persenggamaan terhadap orang lain sehingga menyebabkan luka
fisik, berupa hilangnya kehormatan. Kasus ini akan sangat berbeda dengan kasus
perselingkuhan, meskipun sama-sama berujung pada hubungan persenggamaan antara
dua orang. Untuk kasus perselingkuhan, bagi “pelaku” persenggamaan dapat
dikategorikan sebagai pelaku zina. Namun, kasusnya berbeda dengan korban selaku
penderita, ia tidak bisa dimasukkan sebagai pelaku zina, sebab persenggamaan itu
ada disebabkan karena adanya unsur paksaan tersebut. Korban dalam hal ini
merupakan orang yang dipaksa (mukrah).
Demikian juga dengan kasus persenggamaan
dengan sesama jenis, yang mana dalam hal ini bisa dikategorikan dalam dua
kelompok. Awalnya, ia bisa dikategorikan sebagai kekerasan, namun di sisi lain,
tindakan ini juga bisa dikategorikan sebagai bukan kekerasan. Titik beda antara
kekerasan dan tidaknya, bergantung pada ada atau tidaknya unsur ikrah
(pemaksaan) yang merupakan bagian dari tindakan aniaya (dhalim). Apabila
keduanya sama-sama kedapatan unsur “menikmati tindakan” sehingga tidak ada
“pelaku” dan “penderita” – karena keduanya sama-sama lebur sebagai pelaku, maka
kasus persenggamaan sejenis tidak bisa dikategorikan sebagai kekerasan, melainkan
ia masuk kategori perzinaan.
Jika mencermati pada keberadaan unsur ikrah
dan aniaya, maka pada hakikatnya kasus kekerasan seksual dalam syariat ini juga
mencakup kasus pelecehan seksual. Hal ini sebagaimana tercermin di dalam
Al-Qur’an Surat Al-Isra: 32, Allah SWT berfirman:
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Di dalam ayat ini, Allah SWT melarang seorang
hamba melakukan perbuatan mendekati zina. Tindakan mendekati zina ini
digambarkan sebagai tindakan: 1) fâhisyah (tabu) dan 2) seburuk-buruknya jalan.
Contoh dari perbuatan fâkhisyah (tabu) ini misalnya adalah pandangan yang
bernuansa menelanjangi terhadap lawan jenis atau sesama jenisnya, baik
sendirian atau di depan umum sehingga berujung pada upaya menghilangkan
kehormatan seseorang. Itulah sebabnya, syariat memerintahkan menahan pandangan
bagi muslimin dan muslimat serta perintah menutup aurat. Allah SWT berfirman di
dalam QS. Al-Nûr: 30:
قُل
لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ
ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS An-Nur ayat 30)
Substansi dari ayat ini adalah perintah
menahan pandangan, menjaga farji dan menjaga aurat yang merupakan pintu masuk
bagi pelecehan seksual. Hal ini sebagaimana tercermin dari penafsiran yang
disampaikan oleh Al-Thabary dalam kitab tafsir Jâmi’u al-Bayân li Ayi al-Qurân:
353:
يقول
تعالى ذكره لنبيه محمد ﷺم: (قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ) بالله وبك يا محمد (يَغُضُّوا
مِنْ أَبْصَارِهِمْ) يقول: يكفوا من نظرهم إلى ما يشتهون النظر إليه، مما قد نهاهم
الله عن النظر إليه ( وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ) أن يراها من لا يحلّ له رؤيتها،
بلبس ما يسترها عن أبصارهم (ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ) ـ
Artinya: “Allah SWT mengingatkan kepada
Nabi-Nya Muhammad SAW: (Katakan kepada kaum mukmin), Demi Allah dan Demi Kamu,
wahai Muhammad agar (menahan matanya), yakni menahan diri dari memandang
sesuatu yang mengundang selera mata namun dilarang oleh Allah SWT dari
memandangnya, (dan menjaga farjinya) dari diperlihatkan kepada orang yang tidak
halal baginya melihat, menutup anggota tubuh dari pandangan mereka. (Demikian
itu merupakan yang paling bersih buat mereka).” (Ibn Jarir al-Thabary, Jâmi’u
al-Bayân li Ayi al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.: 353)
Namun, tidak semua pandangan ke lawan jenis
juga bisa dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual. Sebagaimana ini
tercermin dari QS. Al-Nûr: 31, Allah SWT berfirman:
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى
اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan katakanlah kepada wanita beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki mereka, atau
putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan –pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur ayat 31)
Berdasarkan ayat ini, ada beberapa pihak yang
diperbolehkan memandang hal-hal yang sejatinya adalah tabu (fâhisyah) bila
dilakukan oleh orang lain yang tidak masuk dalam rumpun pihak sebagaimana
disebutkan dalam teks ayat.
Namun, karena juga tidak menutup kemungkinan
adanya pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya dalam
kondisi normal adalah boleh memandangnya, maka diperlukan batasan syar’i dalam
hal ini. Contoh kasus ini misalnya adalah pandangan ayah terhadap anak
perempuannya yang sudah dewasa, meraba atau mencium bagian organ vital dan
sejenisnya. Sampai di sini, maka batasan syar’i itu diperlukan terkait dengan
pelecehan dan kekerasan seksual.
Untuk mengetahui batasan syar’i suatu kasus
disebut sebagai telah melakukan pelecehan dan kekerasan seksual atau tidak,
maka kita cermati firman Allah SWT dalam QS. Al-Mukminun: 5-7.
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىَٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فمن ابتغي ورآء ذلك فأولئك هم
العادون
Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari dibalik itu, maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas.”
Di dalam Tafsir Al-Qurthuby, halaman
342 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ابتغي di
dalam ayat ini adalah:
ـ
(ابتغى) أي من طلب سوى الأزواج والولائد المملوكة له
Artinya: “Ibtagha adalah orang yang
mencari pelampiasan hajat seksual pada selain istri dan budak perempuan yang
dimilikinya.” (Ibn Jarir al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân li Ayi al-Qur’ân,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt.: 342)
Sementara itu yang dimaksud dengan العادون adalah:
فأولئك هم
العادون أي المجاوزون الحد ؛ من عدا أي جاوز الحد وجازه
Artinya: “Mereka adalah orang-orang yang
al-âdûn, yaitu orang yang melampaui batas yang diperbolehkan.” (Ibn Jarir
al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân li Ayi al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Ma’rifah,
tt.: 342)
Sebagai kesimpulan dari bahasan ini, adalah
bahwa pada dasarnya yang dimaksud kekerasan seksual adalah karena keberadaan
substansi ikrah (pemaksaan) dan berlaku aniaya (dhalim) terhadap korban
kekerasan. Pelaku kekerasan disebut sebagai orang yang memaksa (mukrih),
sementara korban yang dipaksa disebut sebagai mukrah. Karena keberadaan
unsur aniayanya, maka korban kekerasan juga bisa disebut sebagai madhlûm (orang
yang dianiaya). Untuk orang yang memaksa, dia bisa masuk ke dalam kategori
pezina (zâni) namun tidak bagi korbannya.
Dengan tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku
pemaksa adalah dari kalangan orang yang sebenarnya halal bagi korban, maka kita
tarik makna dari pada pelecehan dan kekerasan seksual dalam syariat adalah
“segala tindakan yang melampaui batas syariat yang dilakukan terhadap: (1)
orang yang menjadi hak dan tanggung dari pelaku, atau tindakan perzinaan dengan
orang lain yang disertai adanya ancaman, atau persetubuhan yang dilakukan tidak
pada Miss V-nya dengan dasar paksaan. Wallâhu a’lam. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus
BM Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar