Hasil Lengkap Munas NU soal
Distribusi Lahan
Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi
Besar Nahdlatul Ulama yang digelar di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 23-25
November 2017 membahas sejumlah persoalan strategis negara, di antaranya
mengenai distribusi lahan. Topik ini setidaknya dibahas dalam dua forum utama,
yakni Komisi Bahtsul Masail Maudluiyah dan Komisi Bahtsul Masail
Qanuniyah.
Bahtsul Masail Maudluiyah yang fokus pada isu
tematik dan penjelasan konseptual (bukan semata halal-haram) menyoroti
ketimpangan dalam kepemilikan lahan dan apa saja jalan keluar yang bisa
ditempuh oleh negara; sedangkan Bahtsul Masail Qanuniyah yang fokus pada
masalah perundang-undangan mengulas landasan yuridis konstitusional dan
keagamaan terkait pentingnya distribusi lahan untuk kemakmuran bersama.
Dalam kesempatan ini, Redaksi NU Online
memuat dua hasil Munas-Konbes NU 2017 tentang distribusi lahan itu dalam dua
tahap. Berikut ini adalah hasil lengkap Bahtsul Masail Qanuniyah yang bertajuk
“Distribusi Lahan untuk Kesejahteraan Rakyat”.
======
Latar Belakang
Belakangan ini muncul isu redistribusi lahan
dalam rangka kesejahteraan dan pemerataan ekonomi. Isu ini ramai
diperbincangkan bersamaan dengan rencana Presiden Jokowi Widodo membuat
kebijakan redistribusi lahan untuk mengatasi kesenjangan antarwilayah dan antarkelas
sosial. Bahkan Presiden Jokowi sudah memerintahkan tiga kementerian yakni
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Lingkungan Hidup
Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan
Nasional (ATR/BPN) untuk melakukan reformasi agraria.
Masalah utamanya sebenarnya bukan sekadar
soal kebijakan redistribusi, melainkan tentang konsep dasar, filosofis dan
menyeluruh tentang distribusi lahan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi
rakyat. Dalam konteks ini, negara harus hadir dan berperan sentral untuk
membangun kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak, termasuk agar tanah
berperan dan berfungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT sebagai Pencipta alam semesta.
Sungguhnya, yang diharapkan adalah reformasi agraria secara fundamental agar
sejalan dengan tujuan bernegara dan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
bagi rakyat Indonesia.
Inti dari distribusi lahan adalah terwujudnya
keadilan bagi masyarakat dalam penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah
serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, program reformasi
agraria yang dicanangkan oleh pemerintah adalah bagaimana mengembalikan
orientasi reformasi agraria supaya tidak sekadar bagi-bagi lahan bagi rakyat,
tetapi tidak menyentuh akar dari ketimpangan struktur sosial dan ekonomi
masyarakat sendiri. Orientasi paling dasar dari reformasi agraria ialah
perombakan struktur yang timpang, terutama dalam hal kepemilikan dan penguasaan
sumber daya alam. Seluruh aspek, mulai dari tanah, air, hingga udara harus
ditata ulang sesuai dengan semangat kemerdekaan bangsa ini. Jika hal itu dapat
dilaksanakan, maka adanya jaminan kepastian hukum kepemilikan tanah,
penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang berasaskan prinsip keadilan, tiadanya
kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat, bukan lagi sekadar
sebuah pernyataan di atas kertas.
Kerangka Konseptual
Terdapat tiga persoalan pokok yang harus
diatasi untuk melakukan reformasi agraria dalam konteks distribusi lahan untuk
kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat; Pertama adalah ketimpangan
penguasaan tanah negara. Ketimpangan ini terjadi karena proses historis di masa
lalu, di mana pelaku kekuatan ekonomi raksasa mendapatkan hak pengelolaan lahan
dalam skala besar, sementara rakyat di kelas bawah makin kehilangan lahan
mereka. Kedua adalah timbulnya konflik-konflik agraria, yang dipicu oleh
tumpang tindihnya kebijakan distribusi lahan pada masa lalu, di mana
lahan-lahan negara yang diberi izin untuk dikelola ternyata tidak seluruhnya
merupakan lahan negara yang bebas kepemilikan. Ketiga adalah timbulnya
krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Krisis ini diindikasikan dengan makin
terdegradasinya kualitas lahan pertanian di pedesaan, makin menyempitnya lahan
untuk pertanian yang dimiliki oleh para petani, dan makin berkurangnya jumlah
tenaga kerja yang bekerja di sektor produksi pertanian.
Reformasi agraria dapat dilaksanakan melalui
dua jalan; pertama adalah melalui penataan pada sistem politik dan sistem hukum
pertanahan dan keagrariaan. Jalan ini tidak sepenuhnya menjadi tugas dan
kewenangan fungsi BPN-RI, tetapi mengharuskan kita untuk dari waktu ke waktu
mengembangkan, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan
ini, baik lembaga-lembaga negara maupun masyarakat agar terjadi check and
balances dan sistem pengawasan yang ketat dan terkendali. Jalan yang kedua
adalah dapat melalui apa yang disebut “land reform plus”, yaitu land reform
yang di dalamnya menampung ciri terpenting berupa distribusi dan redistribusi
atas aset tanah pada masyarakat yang berhak yang kemudian disertai pula dengan
mekanisme bagi negara untuk memberikan jalan bagi masyarakat yang ikut dalam
program distribusi dan redistribusi ini untuk bisa memanfaatkan tanahnya secara
baik dan produktif. Dalam konteks ini, pemerintah harus mau berinvestasi
maksimal untuk memfasilitasi masyarakat dalam penggarapan atau pemanfaatan
hasil dari distribusi dan redistribusi tanah tersebut.
Cara di atas pada gilirannya akan berdampak
positif bagi upaya peningkatan produksi di bidang pertanian secara tetap dan
terus menerus, dengan cara mengakhiri sistem penguasaan tanah secara tidak
terbatas dan besar-besaran oleh beberapa orang yang tidak mengerjakan tanahnya
secara intensif atau bahkan menelantarkan tanahnya serta mempekerjakan buruh
tani secara kurang wajar. Kebijakan redistribusi tanah dalam rangka land reform
juga merupakan sarana yang dapat mempengaruhi lingkaran kemiskinan, kebodohan
dan stagnasi, serta merupakan suatu permulaan pembaharuan yang pengaruhnya
dapat meratakan jalan ke arah perkembangan di bidang pertanian.
Di berbagai negara di dunia, reformasi
agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur
agraria, kemiskinan, ketahanan pangan, dan pembangunan perdesaan. Berbagai
negara secara beragam mengimplikasikan program pembaruannya sesuai dengan
struktur dan sistem sosial, politik, dan ekonomi yang dianutnya. Namun
demikian, terdapat kesamaan cara pandang dalam meletakkan konsep dasar
pembaruannya, yaitu keadilan dan kesejahteraan rakyat. Reformasi agraria
sebagai strategi dan langkah pembangunan telah terbukti dalam sejarah dan dalam
pengalaman negara-negara lain mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar dan
sekaligus mampu mewujudkan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan.
Secara garis besar, langkah-langkah konkret
yang harus dilakukan dalam kebijakan distribusi tanah dalam konteks reformasi
agraria harus menjawab beberapa persoalan di berbagai aspek yang sangat luas,
yang meliputi aspek sosial-ekonomi, sosial-politik, dan mental-psikologis,
yakni: 1) Penguatan kerangka regulasi dan pembaharuan hukum pertanahan. 2)
Penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek reformasi agraria yang disertai
dengan adanya legalisasi dan kepastian hukum. 3) Mengakhiri pengisapan feodal
secara menyeluruh dan bertahap. 4) Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan,
pemanfaatan, dan produksi atas lahan. 5) Penguatan kelembagaan pelaksana
reformasi agraria di pusat dan daerah. 6) Perencanaan persediaan dan peruntukan
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya secara berencana
sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
Landasan Yuridis Konstitusional
Dalam pasal 33 UUD 1945 secara tersirat
ditegaskan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam konteks pertanahan, negaralah yang
menentukan bagaimana dan siapa saja yang dapat memiliki, menguasai, dan
menggunakan tanah yang tersebar diseluruh wilayah negeri ini melalui mekanisme
dan aturan yang berlaku. Inilah yang menjadi landasan yuridis konstitusional
tentang perlunya reformasi agraria dan distribusi tanah untuk keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
Sebenarnya, kebijakan reformasi agraria yang
termasuk di dalamnya redistribusi lahan sudah dirancang sejak lama. Hanya saja
dalam perjalanan waktu keinginan itu tertutup oleh hiruk pikuk kekuasaan yang
semakin jauh dari keberpihakannya pada rakyat. Pada awalnya panitia reformasi
agraria dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 131 Tahun 1961 dan kemudian
di ubah melalui Keputusan Presiden No. 262 Tahun 1964. Pada tahun 1980, dengan
pertimbangan bahwa panitia land reform yang ada tidak memadai dengan
perkembangan dewasa ini, maka ditetapkan organisasi dan tata penyelenggaraannya
yang disesuaikan dengan pertimbangan dewasa ini, yaitu melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1980.
Keputusan presiden ini kemudian
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri No.37
Tahun 1981 tentang Pembentukan Panitia Pertimbangan Land Reform dan Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981 mengenai Perincian Tugas dan Tata
Kerja Pelaksanaan Land Reform. Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980
Pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa pelaksanaan land reform ditugaskan kepada
Menteri Dalam Negeri serta para gubernur kepala daerah, bupati/walikota madya
kepala daerah, camat, dan kepala desa yang bersangkutan selaku wakil pemerintah
pusat di daerah, lebih lanjut mengenai perincian tugas masing-masing diatur
dalam Pasal 2, 3, 4 dan 5 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 1981.
Seiring perjalanan waktu, reformasi agraria
yang dicanangkan itu dapat dikatakan kurang berhasil atau bahkan gagal mencapai
tujuan yang hakiki. Salah satu sebabnya adalah karena hampir semua kebijakan
reformasi agraria itu bersifat paternalistik, yakni cenderung menyandarkan diri
pada kedermawanan pemerintah (reform by grace) semata. Akibatnya begitu
pemerintah berganti, maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah
dicapai oleh pelaksanaan reformasi agraria tersebut.
Oleh karena itu, untuk menjamin keberlanjutan
reformasi agraria agar tidak bergantung pada “pasar politik” semacam ini, maka diperlukan
reformasi agraria yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat “land reform by
leverage” atau “pembaruan agraria melalui dongkrak”. Artinya, walaupun
undang-undangnya dibuat oleh pemerintah pusat, tetapi pelaksanaannya amat
fleksibel. Bahkan wewenang pelaksanaan undang-undang itu tidak harus berada di
tangan pemerintah tetapi di tangan asosiasi tani regional atau bahkan lokal
karena rakyat tani setempatlah yang paham betul bagaimana kondisi daerahnya.
Terkait kebijakan redistribusi tanah, yang
dimaksudkan adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan telah
ditegaskan menjadi objek land reform yang diberikan kepada para petani
penggarap yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. Pembagian tanah ini bertujuan untuk
memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat khususnya para petani dengan cara
mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat
tani berupa tanah sehingga melalui pembagian tersebut dapat dicapai pembagian
hasil yang adil dan merata.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
sebagaimana dijelaskan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Pokok Agraria). Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat baik
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang memilikinya maupun bermanfaat bagi
negara dan masyarakat secara keseluruhan. Artinya, jika hak atas tanah apapun
yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan dipergunakan semata-mata
untuk kepentingan pribadi terlebih jika hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Jika tanah-tanah yang sudah diberikan hak
oleh negara, misalnya berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang namun
ternyata tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai
dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya,
maka hal tersebut tergolong sebagai tanah terlantar. Tanah yang ditelantarkan
oleh si pemegang hak (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah lainnya), menurut
peraturan perundang-undangan, Badan Pertanahan Nasional dapat menghapus
hubungan hukum si pemegang hak dan tanahnya tersebut dengan menetapkannya
sebagai tanah terlantar yang dapat diredistribusi kepada masyarakat lain yang
dapat menggarap dan memanfaatkannya secara produktif.
Penetapan suatu area sebagai tanah terlantar
dan membagikannya kepada yang berhak (redistribusi tanah) yang kemudian
menghapus hubungan pemegang hak dengan tanah tersebut merupakan amanat UU Pokok
Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penetapan dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 PP Nomor
11 tahun 2010, bahwa peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan
masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara
serta untuk cadangan negara lainnya.
Landasan Keagamaan
Dalam kehidupan manusia, kebutuhan akan tanah
adalah bagian dharury (asasi) untuk kelangsungan hidup. Begitu juga, tanah
harus terdistribusi secara adil agar bisa digarap dan dimanfaatkan secara
produktif untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Islam telah menegaskan bahwa
peredaran kekayaaan, termasuk tanah, tidak boleh terkonsentrasi pada segelintir
orang atau golongan.
مَّآ
أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ
ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ
ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Artinya, “Apa saja harta rampasan (fai) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kotakota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.” (QS al-Hasyr: 7)
تفسير
القرطبي – (ج ١٨ / ص ٦١) ـ
ومعنى
اآلية: فعلنا ذلك في هذا الفئ، كي ال تقسمه الرؤساء واالغنياء واالقوياء بينهم دون
الفقراء والضعفاء، الن أهل الجاهلية كانوا إذا غنموا أخذ الرئيس ربعها لنفسه، وهو
المرباع
Artinya, “Pengertian ayat di atas adalah
bahwa harta fai’ itu diperuntukkan; supaya tidak hanya dibagikan kepada
pemimpinpemimpin, orang-orang kaya, dan orang-orang kuat di antara mereka
semua, bukan orang-orang fakir dan lemah. Sebab Orang jahiliyah (zaman dahulu),
ketika mendapat harta fai’, para pemimpin, dan penguasa mengambilnya terlebih
dahulu seperempatnya untuk mereka.”
Dalam mengomentari ayat tersebut, Dr Wahbah
Az-Zuhaily mengatakan di dalam Tafsir Al-Munir, juz XXVIII, halaman
81:
وهذا
مبدأ إغناء الجميع، وتحقيق السيولة للكل
Artinya, “Ini adalah prinsip kewajiban
memberi kecukupan kepada semua dan terjadinya pencairan kekayaan bagi semua.”
وَلَا
يَنْبَغِي لِلْامَاِم أَنْ يُقْطِع َمِنَ الْمَوَاتِ إلَّا مَا قَدَرَالْمُقْطَعُ
عَلَىِ إحْيَائِهِ ؛لأِنَّ فِي إقْطَاعِهِ أَكْثَرَمِنْ هَذَا الْقَدْرِ
تَضْيِيقًا عَلَى النَّاسِ فِي حَقٍّ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمْ، مِمَّا لاَ فَائدَةَ
فِيه، فيَدْخُل بِه ِالضرَرُعَلَى المُسْلِمِينَ
Artinya, “Imam wajib mendistribusikan tanah
terlantar sesuai dengan kemampuan pihak penerima dalam mengelolanya. Sebab,
pemberian lahan yang melebihi batas kemampuannya yang dapat berakibat
mempersempit pihak lain untuk memperoleh apa yang menjadi hak bersama di antara
mereka termasuk hal yang tak berguna sehingga menyebabkan mudarat bagi kaum
Muslimin,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua belas, juz VI, halaman 430)
قَال
أَصْحَابُنَا إِنَّهُ إذَا حَجَّرَ أَرضًا وَلَم يَعْمُرهَا ثَلاَثَ سِنِينَ
أخَذَهَا الإمَام أَوْ دَفَعَهَا إِلَى غَيْرِهِ لأِنَّ التحْجِير لَيْسَ
بِإحْيَاءٍ لِيَتَمَّلَكَهَا بِهِ لأنّ الإحْيَاءَ هُوَاَلْعِماَرةُ وَالتحْجِيرُ
لِلْإعْلاَمِ
Artinya, “Para ulama dari kalangan ةadzhab kami (Madzhab Hanafi) berpendapat bahwa
sungguh ketika seseorang memberikan garis batas (tahjir) lahan dan ia tidak
mengelolanya selama tiga tahun maka imam bisa mengambilnya dan memberikannya
kepada pihak lain. Sebab, tahjir (pengkaplingan lahan) bukanlah masuk kategori
menghidupkan lahan agar dapat memilikinya. Karena menghidupkan lahan adalah
mengelolanya, sedang pemagaran lahan adalah untuk sekadar pemberitahuan
(i’lam),” (Lihat Badruddin Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, Beirut, Darul Fikr,
cetakan pertama, 1421 H/2001 M, juz XV).
عَنِ
الحَارِثِ بْنِ بِلاَلِ اَلْمُزَنِيِّ ،عَنْ أَبِيه ، أَنَّ رَسُول اللهَ ﷺ
أَقْطَعَهُ اَلْعَقيِقَ أَجمَعَ ، قَال :فَلَمَّا كَان عُمَرُ قَال لِبِلاَلٍ:
إِنَّ رَسُول الله ﷺ لَم يقْطِعْكَ لِتَحْجُرهُ عَنِ
النَّاسِ، ِإنَّماأَقْطَعكَ لِتَعْمَلَ، فَخُذْ مِنْهَا ما قَدَرتَ عَلَى
عِمارتِهِ وَرُدَّ البَاقي
Artinya, “Dari Al-Harits bin Bilal bin
Al-Harits Al-Muzani dari bapaknya, bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan
lembah (al-aqiq/dekat kota Madinah) seluruhnya. Sayyidina Umar RA pada
masa jabatannya berkata kepada Bilal RA, ‘Sungguh Rasulullah SAW tidak
memberikan lembah tersebut untuk kamu pagari, tetapi beliau SAW memberikannya
kepadamu agar kamu mengelolanya. Karenanya, ambillah dari lembah tersebut
sesuai kemampuanmu dalam mengelolanya dan kembalikan sisanya,” (Lihat Ibnu
‘Asakir, Tarikhu Madinati Dimasyqi, Beirut, Darul Fikr, 1995 M, juz X,
halaman 426).
الثالثُ
اُسْتُثْنَى مِنَ اْلقَعاِدَةِ صُوَرٌ اَلأولَى لِلْإِمَام الْحِمَى وَلَوْ أَراَد
مَنْ بَعْدَهُ نَقْضَهُ فَلَهُ ذَلِك َفِي الأَصَحِّ لأِنَّهُ لِلْمَصْلَحَةِ
Artinya, “Yang ketiga, dikecualikan dari
kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad (ijtihad tidak bisa
dibatalkan dengan ijtihad lain) beberapa bentuk. Pertama, diperbolehkan bagi
imam (negara) mengeluarkan kebijakan penetapan hima (kawasan lindung).
Apabila generasi setelahnya bermaksud membatalkan kebijakan tersebut, maka
boleh menurut pendapat yang lebih sahih (al-ashshah) dengan pertimbangan
kemaslahatan,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir,
Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403, h. 104).
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Tanah harus dikembalikan pada fungsi
dasarnya sebagai alat produksi untuk kesejahteran rakyat secara adil dan
merata. Dengan demikian, tanah tidak boleh dimonopoli kepemilikan dan
penggarapannya, yang dapat mengakibatkan ketimpangan.
2. Perlu adanya payung hukum yang kuat dan
komprehensif untuk menjamin kepastian hukum bagi kebijakan distribusi lahan
melalui reformasi agraria secara fundamental dan menyeluruh. Pengaturan tentang
distribusi lahan diintegrasikan ke dalam RUU Pertanahan.
3. Konglomerasi penguasaan lahan konsesi yang
tidak proporsional harus diredistribusi melalui mekanisme hukum yang sah.
Pemerintah berkewajiban menyiapkan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan lahan
hasil redistribusi tersebut.
4. Kebijakan reformasi agraria dan distribusi
lahan untuk kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat harus dilakukan secara
menyeluruh dan berkelanjutan, tidak bergantung pada kebijakan politik rezim
kekuasaan yang berganti-ganti.
5. Proses dan mekanisme pelaksanaan reformasi
agraria dan distribusi lahan harus transparan dan terbuka kepada publik, dapat
dikontrol dan diawasi secara ketat oleh negara dan masyarakat.
Tim Perumus Bahtsul Masail Ad-Diniyyah
Al-Qanuniyyah
KH. Abdul Muhaimin
KH. Busyro Musthofa
KH. Syafruddin
KH. Romadhon Chotib
H. Zaini Rahman
H. Asrori S. Karni
H. Muhammad Mustafid
H. Daniel Zuchron
H. Syamsuddin Slawa
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar