Pesan
Damai Al-Azhar dan Vatikan
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Kunjungan
Imam Besar Al-Azhar Kairo Syekh Ahmed Tayeb ke Vatikan, (24/5), jadi perhatian
dunia. Paus Fransiskus Asisi menyebut pertemuan tersebut membawa pesan penting
bagi umat agama-agama di dunia agar senantiasa menjadi perdamaian dan
koeksistensi.
Sejak
lama Al-Azhar dan Vatikan sudah mempunyai program dialog antaragama yang
ditandai dengan kunjungan Paus Paulus Yohanes II ke Al-Azhar pada tahun 2000.
Sebagai dua institusi keagamaan terbesar di dunia, khususnya bagi umat Islam
dan Katolik, Al-Azhar dan Vatikan mempunyai misi mulia untuk menjadikan umat
manusia semakin bahagia di muka bumi.
Pertemuan
bersejarah
Bagi
Syekh Ahmed Tayeb, kunjungannya ke Vatikan merupakan kunjungan bersejarah
karena ia merupakan Imam Besar Al-Azhar pertama yang berkunjung ke Vatikan
setelah kunjungan Paus Paulus Johanes II ke Al-Azhar pada 2000. Kunjungan Syekh
Ahmed Tayeb kali ini dalam rangka memenuhi undangan Paus Fransiskus Asisi.
Kedua sosok berpengaruh di dunia itu sepakat menggelar konferensi internasional
tentang perdamaian dan dialog antaragama.
Pertemuan
bersejarah antara Syekh Ahmed Tayeb dan Paus Fransiskus Asisi punya tiga makna
penting. Pertama, sebagai antitesa terhadap pihak-pihak yang selama ini
mengatasnamakan agama sebagai sumber dan sumbu diskriminasi.
Komentar
Donald Trump, kandidat presiden AS dari Partai Republik yang akan melarang umat
Islam masuk ke AS merupakan sebuah kemunduran bagi hubungan antaragama dan
demokrasi. Trump menggunakan isu islamofobia untuk meraup dukungan politik
kalangan konservatif.
Pemandangan
ini dijawab langsung Syekh Ahmed Tayeb dan Paus Fransiskus Asisi, bahwa siapa
pun-khususnya Donald Trump-tidak pada tempatnya menjadikan agama sebagai
komoditas politik. Agama-agama pada dasarnya mengajarkan kedamaian, dan karena
itu setiap pemimpin politik harus menjaga harmoni di antara pemeluk agama.
Bukan sebaliknya, justru memperkeruh suasana dengan memupuk diskriminasi
terhadap kelompok minoritas.
Kedua,
pertemuan tersebut merupakan pesan bagi kelompok teroris yang kerap
mengeksploitasi isu konflik antara agama untuk menjustifikasi aksi mereka.
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sering menggunakan narasi "perang
melawan kaum Salibis".
Para
teroris selalu mendakwahkan aksi mereka sebagai perang melawan umat Kristiani.
Karena itu, pertemuan Imam Besar Al-Azhar dan Paus Fransiskus Asisi membawa
pesan bahwa agama bisa membangun dialog dan mendorong perdamaian. Narasi para
teroris sama sekali tidak dibenarkan karena dalam sejarah agama-agama terbukti
setiap agama dapat berangkulan, hidup berdampingan secara damai, dan menjadi
inspirasi untuk menjaga harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Begitu
pula menguatnya kelompok ekstrem kanan di Eropa yang kerap membawa isu anti
imigran dari Timur Tengah bisa menjadi isu liar yang dapat membangkitkan
kembali sentimen islamofobia.
Peran
Al-Azhar dan Vatikan sangat strategis untuk memberikan pencerahan: bahwa
agama-agama dapat saling bahu-membahu untuk mewujudkan peradaban dunia yang
adil dan damai. Bahkan, sikap Paus Fransiskus Asisi membawa beberapa pengungsi
Suriah ke Vatikan memberikan bukti bahwa agama-agama mesti hadir untuk membela
mereka yang tertindas. Masalah pengungsi korban konflik politik di Timur Tengah
merupakan kepedulian bersama, dan semua umat agama-agama harus memberikan
perhatian penuh terhadap para pengungsi tersebut.
Ketiga,
pertemuan tersebut dapat menjadi harapan baru bagi umat Islam agar terus
menonjolkan wajah Islam moderat, yang di dalamnya menyimpan pesan luhur
toleransi dan perdamaian. Dalam beberapa tahun terakhir, Al-Azhar sangat aktif
dalam menyebarluaskan paham Islam moderat ke seantero dunia. Syekh Ahmed Tayeb
merangkul para ulama dari berbagai penjuru dunia, baik Timur dan Barat,
termasuk Quraish Shihab sebagai perwakilan dari negara Muslim terbesar di
dunia, Indonesia. Ia membentuk Dewan Kaum Muslim Bijak (Majlim Hukama
al-Muslimin).
Al-Azhar
sadar bahwa begitu banyak ulama atau cerdik cendekia di dunia Islam, tetapi
sedikit kaum bijak. Maka, yang diperlukan dunia Islam tidak hanya para ulama,
tetapi juga dibutuhkan kaum bijak yang membimbing umat dengan keteladanan,
bukan melahirkan fatwa-fatwa ekstrem yang dapat merangsang kekerasan dan
diskriminasi.
Dialog
antaragama
Langkah
Al-Azhar membangun kerja sama dialog antaragama dengan Vatikan merupakan
langkah besar mengabarkan kepada dunia bahwa jalan menuju perdamaian dunia akan
selalu terbuka. Jika para politisi kerap menjadikan agama sebagai komoditas
politik yang cenderung memecah-belah relasi antaragama, para agamawan yang
diwakili Al-Azhar dan Vatikan memberikan pencerahan bahwa agama-agama harus
selalu hadir untuk membawa pesan damai dan kasih sayang.
Para
ulama dan tokoh agama di negeri ini harus meneladani dan menindaklanjuti
langkah besar yang dilakukan Al-Azhar dan Vatikan. Lebih-lebih wacana dialog
antaragama di negeri ini sudah menggema sejak 1990-an yang diprakarsai KH
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Johan Effendi, Romo Mangunwijaya, dan tokoh
lintas agama lainnya.
Namun,
dalam beberapa tahun terakhir wacana dialog antaragama mengalami kemandekan.
Bahkan, jika dibandingkan dengan pengalaman dialog antaragama di masa lalu,
justru dialog antaragama tidak terdengar lagi. Padahal, tantangan yang dihadapi
saat ini jauh lebih besar karena mereka yang mempunyai ideologi "benturan
antaragama" lebih nyaring suaranya, terutama melalui media sosial.
Beberapa
kasus yang disinyalir sebagai konflik antaragama, seperti di Aceh Singkil,
Tolikara, dan beberapa daerah lainnya membutuhkan sebuah dialog antaragama yang
terus-menerus. Dialog antaragama yang melibatkan para tokoh agama, pun juga
dialog antaragama yang juga melibatkan warga. Dialog diharapkan dapat menemukan
titik-temu, serta membangkitkan kesadaran bahwa perbedaan dan keragaman
merupakan sebuah keniscayaan.
Kita
mempunyai Pancasila dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama
yang dapat dijadikan sebagai modal penting untuk menggemakan kembali dialog
antaragama, sebagaimana dilakukan Al-Azhar dan Vatikan. Bahkan, jika
memungkinkan, kita bisa terlibat langsung dalam inisiatif dialog antaragama
yang telah dilakukan Vatikan dan Al-Azhar.
Dengan
demikian, keberagamaan kita akan mempunyai pengaruh yang lebih luas dalam
konteks global. NU, Muhammadiyah, dan beberapa organisasi keagamaan lainnya
sejatinya dapat membangun aliansi strategis dengan institusi keagamaan yang
mempunyai pengaruh luas, seperti Al-Azhar dan Vatikan. Gerakan ini akan
mempunyai dampak yang luas tidak hanya di dalam negeri dalam rangka memperkuat
solidaritas kebangsaan, tetapi juga akan memperluas pengaruhnya bagi
solidaritas kemanusiaan pada tataran global. []
KOMPAS,
04 Juni 2016
Zuhairi Misrawi ; Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo;
Ketua Moderate Muslim Society
Tidak ada komentar:
Posting Komentar