KH Zainul Arifin
Pohan: Panglima Santri, Bangsawan dari Barus
Oleh: Munawir Aziz
Narasi perjuangan
kemerdekaan Indonesia dipenuhi oleh penguasa dan jaringan militer yang
melanggengkan heroisme. Sejarah perjuangan kaum santri tidak banyak tercatat,
hanya sayup-sayup terdengar. Padahal, dari rahim pesantren, terdapat Laskar
Hizbullah, Sabilillah dan segenap laskar pemuda santri yang berjuang untuk
kemerdekaan. Gerak juang kaum santri terpinggirkan dari panggung sejarah
perjuangan Indonesia. Bagaimana sejarahnya?
Dari panggung
perjuangan republik, Laskar Hizbullah dan Sabilillah merupakan barisan militer
yang terdiri dari pemuda santri dan kiai pesantren. Dari tapak jejak mereka,
mobilisasi dukungan dari kaum santri dan warga sekitar menjadi menggema.
Terlebih, kaum santri berjuang dengan tekad bulat, serta niatan ikhlas untuk
menegakkan kemerdekaan di bumi Indonesia. Laskar Hizbullah, dipimpin oleh KH
Zainul Arifin Pohan, seorang ahli diplomasi dan pejuang militer dari tanah
Barus. Sedangkan, Laskar Sabilillah dikomando oleh Kiai Masykur (1904-1994),
sosok alim dari Malang.
Siapakah Kiai Zainul
Arifin? Sejarah hidup Zainul Arifin membuktikan bahwa Nahdlatul Ulama tidak
hanya terdiri dari kiprah para kiai dan tokoh Islam asal Jawa. Kiai Zainul,
sosok cerdas dan ahli strategi perang asal Barus, menjadi catatan nyata. Zainul
Arifin Pohan lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 2 September
1909. Ia merupakan putra tunggal dari pasangan keturunan Raja Barus, Sultan
Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan bangsawan asal
Kotanopan, Mandailing Natal, Siti Baiyah br. Nasution. Ketika Zainul Balita,
orang tuanya bercerai. Ia kemudian dibawa ibunya pindah ke Kotanopan, kemudian
berdiam di Kerinci, Jambi. Di Kerinci, Zainul menyelesaikan Hollands
Indische School (HIS) serta sekolah menengah calon guru, Normal School.
Pada usia 16 tahun,
Zainul Arifin merantau ke Batavia (Jakarta). Di kota ini, dengan berbekal
ijazah HIS, dia diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente)
sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) Pejompongan, Jakarta Pusat.
Setelah keluar dari Gementee, ia bekerja sebagai guru sekolah dasar dan
mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat. Balai
pendidikan ini, bertempat di kawasan Masteer Cornelis (Jatinegara). Keahilan
diplomasi dan kepiawaian bahasa Belanda, juga mengantar Zainul sebagai pemberi
Bantuan Hukum bagi orang Betawi, yang saat itu dinamakan Pokrol Bambu.
Karirnya dalam
organisasi Nahdlatul Ulama, dimulai sebagai kader Gerakan Pemuda Anshor.
Bersama Djamaluddin Malik (1917-1970), seorang tokoh film nasional, Zainul
bergabung dalam barisan pemuda Nahdlatul Ulama. Dari Anshor, karena keahlian
berdiplomasi dan kecerdasan komunikasi, ia dekat dengan Kiai Wahid Hasyim
(1914-1953), Kiai Mahfud Shiddiq (1906-1944), Muhammad Ilyas dan Abdullah
Ubaid. Selang beberapa waktu, Zainul Arifin kemudian menjadi Ketua Konsul NU
Jatinegara (Masteer Cornelis), serta kemudian menjadi Ketua Majelis Konsul NU
Batavia, hingga masuknya Jepang pada 1942.
Pencetus sistem RT
Ketika Jepang masuk
ke Indonesia, strategi politik ormas Islam berubah haluan. Jika dengan Belanda,
posisi ormas Islam berseberangan dengan pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi,
Jepang menggunakan strategi berbeda dengan mendekati pemimpin-pemimpin ormas
Islam. Jepang mengajak ormas Islam sebagai bagian dari pendukung Nippon,
sebagai saudara tua di Asia. Inilah startegi politik dan militer Jepang untuk
mencengkeram kawasan Asia, terutama Asia Tenggara dalam perang melawan Sekutu.
Di bawah kendali
Jepang, terjadi perombakan struktur politik serta ritme organisasi Islam. Pada
waktu itu, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi). Ketika itu, Jepang memberi kewenangan organisasi
Islam untuk melebarkan sayap dan lebih aktif dalam pemerintahan. Kiai Zainul
Arifin, mengusulkan pembentukan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga. Pada
awalnya, tonarigumi dibentuk di Jatinegara, kemudian melebar untuk diadopsi ke
sebagian besar desa di Jawa. Kiai Zainul Arifin dengan jeli melihat
pentingnya sistem komunikasi antarwarga setingkat RT. Dengan demikian, kultur
dan hubungan komunikasi antar warga terjaga dengan baik.
Ketika Jepang masuk
ke Indonesia, mereka membutuhkan dukungan pasukan untuk menguatkan militer di
kawasan Asia. Semula, Pemerintah Jepang, melalui Abdul Hamid Nobuharu Ono,
meminta agar Kiai Wahid Hasyim mengerahkan santri-santri masuk ke Heiho,
sebagai tentara cadangan yang akan dikirimkan ke Birma dan Kepualaun Pasifik.
Akan tetapi, Kiai Wahid tidak menerima tawaran itu. Untuk menampik permintaan
Jepang, Kiai Wahid dengan startegi diplomasinya mengusulkan tawaran cerdas:
Pertama, latihan kemiliteran yang diberikan kepada santri lebih baik untuk
pertahanan dalam negeri. Kiai Wahid merasa bahwa, mempertahankan tanah air
negeri sendiri, akan lebih meningkatkan semangat pemuda santri.
Kedua, pertempuran
yang menghadapi tentara sekutu, lebih baik dihadapi oleh prajurit profesional,
yakni tentara Dai Nippon. Sedangkan, jika menggunakan tentara yang tidak
profesional hanya akan menyulitkan tentara Jepang sendiri. Ketiga, jika PETA
(Pembela Tanah Air) ditunjukkan untuk pemuda nasionalis, sudah semestinya ada
wadah bagi pemuda santri untuk latihan kemiliteran (Zuhri, 1974; 1987).
Sedangkan, Hairus Salim (2004: 41) menambahkan satu alasan diplomatis
dari Kiai Wahi Hasyim, terutama mengapa harus ada satu wadah untuk latihan
kemiliteran bagi santri, yakni adanya kewajiban berperang untuk mempertahankan
agama Allah (jihad fi sabilillah).
Pada latihan awal,
pemuda santri yang tergabung dalam Laskar Hizbullah digembleng oleh Kapten
Yanagawa, yang juga melatihan PETA. Latihan ini berlangsung di Cibarusah, Jawa
Barat. Latihan militer pemuda santri, berlangsung selama tiga bulan, yang
dipimpin oleh para Sydanco PETA. Kemudian, setelah latihan usai, 500 kader ini
kemudian kembali ke desa masing-masing, untuk melatih kader-kader pemuda santri
di kawasan setempat. Salim (2004), mencatat bahwa hingga akhir rezim Jepang di
Indonesia, tercatat sekitar 50.000 angota laskar Hizbullah yang telah
mendapatkan latihan militer.
Latihan perdana
Laskar Hizbullah, tanggal 28 Februari 1945, yang dihadiri oleh Gunseikan, para
perwira Jepang, Pimpinan Pusat Masyumi, Pangreh Raja dan pejabat terkait
diumumkan betapa misi Hizbullah adalah untuk berjuang bersama Dai Nippon,
melawan musuh yang zalim. Gunseikan, dalam pidatonya, menegaskan bahwa:
"Berhubung
dengan nasib Asia Timur Raya, maka masa sekarang adalah masa yang amat penting
yang belum pernah dialami atau terjadi di dalam sejarah. Dalam saat yang
demikian itu telah bangkit segenap umat Islam di Jawa, serta berjanji akan
berjuang "luhur bersama dan lebur bersama" dengan bala tentara Dai
Nippon. Buktinya, ialah pembentukan barisan musa Islam yang bernama Hizbullah.
Dengan demikian lahirkan tujuan untuk menghancurkan musuh yang zalim dan
perjuangan dengan segenap jiwa dan raga, maka saya sangat gembira membuka
latihan pusat Barisan Hizbullah ini... (Latif, 1995: 20, Salim, 2004: 42).
Dengan demikian, yang
dimaksud oleh pemerintah Jepang bahwa musuh bersama dari bangsa Indonesia dan
Jepang, merupakan tentara sekutu yang berusaha menjajah Asia. Jepang merasa
sebagai pembebas bangsa Asia, hingga menyebut diri sebagai "Saudara
Tua" bangsa Asia. Oleh Kiai Wahid Hasyim, pelatihan militer dimaksudkan
untuk menguatkan barisan santri jika nantinya Indonesia sudah saatnya menjemput
kemerdekaan. Benar saja, pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, disusul dengan
peristiwa demi peristiwa yang membutuhkan konsolidasi dan kekuatan militer, di
antaranya pada peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Mengabdi untuk negeri
Ketika para pemimpin
bangsa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah
Hindia Belanda tidak rela atas keputusan politik ini. Hindia Belanda tetap
ingin menguasai Indonesia sebagai ladang ekonomi dan jajahan politik. Keinginan
Belanda, terbukti dengan hadirnya tentara Sekutu, serta tentara NICA (Netherlands
Indische Civil Administrative). Tentu saja, kedatangan tentara ini membuat
warga Indonesia marah. Kota Surabaya dan beberapa kota lain menjadi saksi kemarahan
warga ketika tentara Sekutu mengintimidasi. Pada 19 September 1945, terjadi
perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato. Peristiwa ini, sekaligus menjadi
tanda kemarahan rakyat atas invasi tentara sekutu dan NICA.
Situasi negeri
menjadi kacau dan warga menjadi tersulut kemarahan karena intimidasi tentara
Sekutu. Situasi pertahanan negara sedang diuji, apalagi ketika negara Indonesia
baru saja merdeka. Sistem birokrasi, pemerintahan dan barisan militer masih
sangat lemah. Pada saat itulah, laskar-laskar santri memainkan peran penting
untuk mengkonsolidasi kekuatan rakyat. Pada 22 Oktober 1945, para kiai
menyatakan rumusan tentang Resolusi Jihad. Kiai Hasyim Asy'ari mengeluarkan
fatwa untuk menggemakan Resolusi Jihad. Fatwa Kiai Hasyim inilah yang kemudian
melecut semangat santri dan warga di kawasan Jawa Timur, dan kawasan lainnya
untuk berjuang melawan penjajah.
Pada 25 Oktober 1945,
tentara sekutu mendarat di Surabaya. Pasukan Sekutu di kota Surabaya, terdiri
atas 5000 pasukan dari kesatuan 49 Infanteri di bawah pimpinan Jenderal AWS
Mallaby (1899-1945). Pertempuran berlangsung selama beberapa hari. Api semangat
kaum santri dan warga membara, dengan dukungan para kiai dan kuatnya jaringan
laskar. Puncaknya, 10 November 1945, pemuda santri dan warga sekitar Surabaya
berhasil memukul mundur pasukan Sekutu, dengan tewasnya Jendral AWS Mallaby
pada peristiwa sebelumnya, 30 Oktober 1945.
Kiai Zainul Arifin
memainkan peran besar pada episode perjuangan bangsa Indonesia, baik pra maupun
pasca kemerdekaan. Perjuangan laskar Hizbullah yang dikomando Kiai Zainul
Arifin pada peristiwa November 1945 di Surabaya dikenang sebagai peristiwa
heroik. Masa setelah kemerdekaan menjadi ujian bagi pejuang negeri. Kiai Zainul
Arifin terus bergerak untuk mengomando laskar santri, barisan Hizbullah untuk
berkoordinasi dengan tentara pimpinan Jendral Soedirman (1916-1950).
Dalam catatan
Saifuddin Zuhri (2001: 355), beberapa pemimpin cabang Laskar Hizbullah sering
berkumpul bersama di Yogyakarta, karena panggilan rapat Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (parlemen). Kiai Zainul Arifin, sebagai Ketua Markas
Tertinggi Hizbullah, juga sering bertandang ke Yogyakarta untuk rapat. Selain
itu, ada juga Wahib Wahab (Hizbullah Surabaya), Abdullah Siddiq (Hizbullah
Jember), Amir (Hizbullah Malang), Bakrin (Hibzullah Pekalongan), Munawar
(Hizullah Solo) dan Saifuddin Zuhri (Hizbullah Magelang). Mereka berkumpul
untuk mengabdi pada negeri, sekaligus mengonsolidasi barisan laskar santri.
Ketika terjadi agresi
militer II pada Desember 1948, pasukan Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta,
serta menahan Soekarno Hatta. Tentu saja, pada masa krisis ini, BP KNIP tidak
berfungsi secara maksimal. Kiai Zainul Arifin, kemudian terlibat sebagai
anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa, bagian dari Pemerintah Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada masa ini,
Zainul Arifin bertugas mengkonsolidasi laskar-laskar militer untuk membantu
tentara untuk bergerilya di bawah komando Jendral Soedirman.
Ketika kondisi sudah
aman, serta pemerintah RI memegang kendali, terjadi penyatuan seluruh elemen
laskar militer ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kiai
Zainul Arifin dipercaya sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI, karena jasa
besarnya pada masa perjuangan. Akan tetapi, ketika banyak mantan anggota
Hizbullah yang tidak bisa diterima sebagai anggota TNI karena alasan ijazah
formal serta tidak mendapat pendidikan modern, Zainul memilih mengundurkan
diri. Inilah jiwa besar Kiai Zainul Arifin dalam berjuang untuk mengomando
pasukan pemuda santri.
Kiai Zainul Arifin
memilih jalan pengabdian, ia berkiprah di jalur politik sebagai wakil Partai
Masyumi di DPRS, lalu wakil Partai Nahdlatul Ulama pada 1952. Pda 1953, Kiai
Zainul Arifin menjadi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) pada Kabinet Ali
Sastroamidjojo I (1953-1955). Prestasi besar Kiai Zainul Arifin, pada 1955
ketika Pemilu, berhasil mengantarkan Partai NU menjadi sebagai tiga besar
pemenang, dengan mendapat 45 kursi, dari sebelumnya 8 kursi. Kiai Zainul Arifin
bersama Kiai Wahab Chasbullah dan beberapa kiai lain, bekerja keras untuk
mengerahkan stategi politik demi Nahdlatul Ulama dan pesantren.
Sebagai pemimpin
laskar militer santri, dengan keahlian diplomasi, dukungan politik dan luasnya
jaringan, Kiai Zainul Arifin juga dekat dengan presiden Soekarno. Pada 1955 ia
pernah bersama Soekarno pergi haji ke tanah suci. Sebagai tamu kenegaraan, Kiai
Zainul Arifin diberi hadiah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi.
Pasca pemilu 1955,
Kiai Zainul Arifin juga mendapat amanah menjabat anggota Majelis Konstituante.
Lembaga ini akhirnya dibubarkan oleh Soekarno pada 5 Juli 1959 karena gagal
merumuskan UUD baru. Setelah dekrit dikeluarkan Soekarno, konsitusi Indonesia
dinyatakan kembali pada UUD 1945. Pada masa inilah, dikenal sebagai Demokrasi
Terpimpin, dengan kekuasaan pada diri Soekarno, yang bersikeras menerapkan
paham NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) pada satu barisan politik. Di
tengah situasi ini, suhu politik meningkat karena pengaruh kelompok yang tidak
setuju dengan kebijakan Soekarno, terutama pihak partai Islam yang menolak PKI.
Pada 14 Mei 1962,
suhu politik meningkat tinggi, ketika Shalat Idul Adha di barisan terdepan
bersama Soekarno, Kiai Zainul Arifin tertembak oleh aksi pembunuh yang ingin
menyerang presiden Soekarno. Kiai Zainul wafat pada 2 Maret 1963, di RSPAD
Gatot Soebroto setelah menderita sakit selama sekitar 10 bulan. Negeri berduka
atas wafatnya komandan laskar santri yang berjuang untuk negeri, sosok santri
yang tulus mengabdi di bumi pertiwi.
Referensi:
1.
Ario Helmy. KH. Zainul Arifin
Pohan, Panglima Santri: Ikhlas Membangun Negeri. Jakarta: Pustaka Compass.
2015.
2.
Hairus Salim. Kelompok Paramiliter
NU. Yogyakarta: LKIS. 2004.
3.
M. Hasyim Latief. Laskar Hizbullah:
Berjuang Menegakkan Negara RI. Jakarta: LTN PBNU, 1995.
4.
Saifuddin Zuhri. Guruku Orang-Orang
Pesantren. Yogyakarta: LKIS. 2001
5.
Tashadi. Sejarah Perjuangan
Hizbullah Sabilillah: Divisi Sunan Bonang. Yayasan Bhakti Utama. 1997.
[]
Penulis adalah Wakil
Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr PBNU, peneliti Islam Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar