Selasa, 07 Juni 2016

Kang Sobary: Kerinduan Kita Kepada Pancasila



Kerinduan Kita Kepada Pancasila
Oleh: Mohamad Sobary

Otomatis sesudah Orde Baru lenyap, Hari Kesaktian Pancasila tak lagi diperingati. Hampir tidak ada orang yang tahu apa sebabnya. Dan tidak ada pula yang bertanya mengapa peringatan itu tak diadakan lagi.

Pancasila tidak dilupakan. Tapi Hari Kesaktian Pancasila mungkin saja begitu. Mungkin tak sedikit orang yang memang tak peduli sejak awal pada gagasan Pancasila sakti. Hormat kita pada Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, yang disebut sumber dari segala sumber hukum, tak usah dipertanyakan kembali.

Pandangan dan sikap kita, maupun tanggung jawab dan segenap risikonya pada Pancasila sudah matang. Dan, kita tahu barang yang sudah matang tak mungkin dimentahkan lagi. Tidak ada suatu golongan yang boleh merasa lebih Pancasila daripada golongan lain.

Suatu golongan yang sangat Pancasilais, yang rela berkorban untuk membelanya, pasti golongan macam itu tidak sendirian. Golongan lain tak kurangkurangnya yang memiliki sikap seperti itu. Mungkin inilah kesepakatan kita yang sudah matang itu. Tapi bila ada sikap dan pandangan yang berbeda mengenai Pancasila sakti, ini agak lain.

Perbedaan di sini bukan perbedaan yang menyangkut dasar negara, bukan pula perbedaan mengenai ‘way of life’ bangsa kita. Pada mulanya mungkin karena sebutan ideologis tentang Pancasila sakti, sesudah apa yang disebut kudeta PKI 30 September 1965 gagal.

Dengan kata lain, kudeta itu gagal menurut sebagian orang karena Pancasila itu memang sakti. Banyak kekuatan politik yang tak sejalan dengan pemikiran tersebut. Tapi janganlah orang yang tak sejalan dengan pandangan itu lalu dianggap anti Pancasila. Ini persoalan yang lain sama sekali.

Agak kelihatan fanatik terhadap Pancasila boleh, tidak dilarang dan tidak berdosa. Tapi fanatisme itu tak boleh berlebihan. Banyak orang yang sangat fanatik pada agama, dan sebentar-sebentar menuduh orang lain menghina agamanya, meskipun dia sendiri tak pernah menunjukkan kehangatan sikap pada agamanya.

Orang bisa saja menjadi sangat fanatik pada agamanya meskipun dia sendiri sebenarnya tak pernah beribadah menurut kaidah-kaidah agama tersebut. Dalam hubungannya dengan Pancasila pun begitu. Tak kurang banyaknya orang yang fanatik terhadap Pancasila, tetapi dalam sepak terjangnya sehari-hari yang bersangkutan melecehkan dan menginjakinjak Pancasila.

Suatu rezim pemerintahan bisa saja merebut Pancasila seolah- olah ideologi negara itu miliknya sendiri. Suatu rezim pemerintahan bisa juga melakukan hegemoni terhadap Pancasila hanya untuk sekadar mengesankan bahwa rezim itu yang paling Pancasilais.

Tapi hegemoni seperti itu tidak pernah bicara secara tulus mengenai hakikat Pancasila dan cara-cara yang transparan dan jujur untuk mengamalkannya di dalam kehidupan warga negara. Ini agak berbahaya. Ada kesenjangan ideologis yang agak parah.

Kita dihadapkan pada suatu kenyataan getir dalam kehidupan politik yang begitu gencar bicara Pancasila, bahkan Pancasila itu disebut sakti tanpa tandingan. Jadi dengan kata lain, Pancasila sudah luar biasa. Tapi mengapa yang sudah luar biasa itu masih juga ditatarkan dan dijejalkan ke dalam pemikiran rakyat dengan dana yang tak terhitung banyaknya?

Sebenarnya, sikap yang lebih realistis, dan rasional, Pancasila ya Pancasila: dasar negara, pandangan hidup, dan sumber hukum yang ‘shahih’ dan tak tergoyahkan. Ini sudah cukup secukup-cukupnya. Kita tak perlu melebih-lebihkannya karena tindakan itu tidak akan memiliki arti apapun selain bahwa berlebihan itu merusak.

Tidakkah itu berlebihan bila tiap sebentar kita bicara Pancasila? Tiap ganti acara pidato resmi, kita menampilkan Pancasila, Pancasila, dan Pancasila. Kapasitas alamiah kita tak mampu menerimanya. Pencernaan kita tak mampu mencernanya. Kebutuhan politik kita tak mengehendakinya sebanyak itu. Secara alamiah maupun secara politik, daya tampung kita tak mampu memuatnya.

Lalu kita muntah tanpa sengaja. Dan segalanya lalu jadi tumpah di mana-mana. Juga di jalan raya. Dan anehkah bila sesudah Orde Baru itu tak tampak lagi, kita diam dan mungkin sejenak merasa bersyukur karena sekarang tak ada yang menjejalkan Pancasila pada kita? Kita diam, tak menyebutnya, tak berarti kita lupa.

Pidato demi pidato tak lagi menyertakan Pancasila, tak berarti kita tak menyukai lagi Pancasila. Kita tak lagi kelewat ‘nyinyir’ menyebutnya dalam tiap pidato dan rapat-rapat, mungkin secara alamiah hanya karena kita ingin istirahat sejenak untuk menjauhkan diri dari ingatan traumatik di masa lalu.

Pancasila diluhurkan dalam kata-kata, tapi Pancasila dicekik dalam tindakan politik seharihari. Siapa tak setuju? Dor. Siapa memiliki pendapat lain, disebut membangkang, dan tiap pembangkang: Dor, dor, dor. Atau dibikin hilang dalam gelap malam yang senyap.

Sila kemanusiaan diluhurkan dalam teks di atas kertas, tapi kemanusiaan dan manusia nyata, tiap saat dibikin lenyap. Inilah Pancasila di zaman itu. Lalu apa kelewat besar dosa kita bila kita berusaha hanya sekadar untuk bebas dari trauma seperti itu? Lalu tiba-tiba saja muncul berbagai kalangan yang merasa sunyi sepi, hingga hidupnya bagaikan tak lagi berarti karena tak lagi mendengar Pancasila.

Rupanya kita rindu pada Pancasila. Kita rindu. Kita rindu. Lalu ada yang dengan romantik mengusulkan begini dan begitu, agar Pancasila menjadi ini dan itu, dan janganlah kita dijauhkan dari padanya. Kita ini sudah rindu. Sangat rindu. Kita terima saja fenomena itu sebagai barang baik bagi kita.

Tapi apakah kemudian yang terjadi? Di suatu acara siaran media elektronik, televisi maupun radio, kita dengar suara anak-anak: Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, ..., Tiga, .....dan seterusnya. Kerinduan kita terobati oleh suara itu? Jadi kita hanya rindu secara verbalistis, yang penting mendengar Pancasila sudah tenteram? Apa bedanya dengan Pancasila di zaman Orde Baru?

Pancasila di zaman itu juga Pancasila verbalistis, ‘nyinyir’ dalam kata-kata tapi sunyi dalam hakikatnya yang nyata. Kerinduan kita pada Pancasila tak usah dijawab dengan kata-kata. Kalau kita sekarang rindu pada Pancasila, maknanya kita rindu pada tegaknya kedaulatan manusia untuk mencintai Tuhannya, dengan kebebasan yang tak usah dikontrol pihak lain yang tak memiliki hak mengontrolnya.

Biarkan masyarakat yang demokratis dan dewasa, menjawabnya. Kita rindu pada Pancasila berarti rindu pada tegaknya kemanusiaan, dan tiap warga negara untuk hidup layak, dengan pekerjaan, dengan harga diri dan tak diteror oleh kekuatan manapun karena pemerintah hadir dan memberikan perlindungan yang adil.

Kita rindu pada Pancasila, artinya rindu terhadap impian, kapan rakyat hidup adil makmur, seperti dijanjikan konstitusi. Kita rindu pada Pancasila, bukan rindu pada kata-kata. Kita tahu, kata-kata sering menodai dirinya sendiri. Dan Pancasila bukan kata-kata. []

KORAN SINDO, 02 Juni 2016
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.  Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar