Senin, 16 April 2012

(Ponpes of the Day) Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, Tegalsari, Banyuwangi – Jawa Timur

Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, Tegalsari, Banyuwangi – Jawa Timur
blokagung.jpg
Pondok Pesantren Darussalam Blok Agung, Tegalsari, Banyuwangi awalnya hanya sebatas bangunan mushola kecil. Mushola yang cukup menampung 20 jamaah itu terletak di hutan belantara. Mushola itu di kanan kirinya ditumbuhi tanaman ilalang. Bahkan, pepohonan dan rerumputan di sekitarnya nyaris menutupi atap mushola yang juga terbuat dari ilalang itu. Bangunan kecil yang sangat sederhana terbuat dari gedek bambu itu mempunyai ukuran 7 x 5 meter persegi dan mulai dibangun pada tanggal 15 Januari 1951. ’’Kalau dilihat dari titik ordinatnya mushola itu tepatnya di daerah Banyuwangi selatan sekitar 13 kilometer dari kota Tegalsari dan kurang lebih 45 kilometer dari Kota Banyuwangi,’’ kata KH Hisyam Syafa’aat kepada Warta-NU (27/4).

Tak dinyana, mushola yang mulanya didirikan oleh KH Syafa’at Abdul Ghafur, ayahanda Kiai Hisyam itu kini menjadi tempat menimba ilmu ribuan santri dari seluruh Indonesia. Tanahnya yang subur dan udaranya yang sejuk menambah betah para santri yang mondok di sana. Kawasan yang dulunya hutan itu, kini berdiri megah sebuah bangunan bernama Pesantren Darussalam. Kawasan ini pun kini telah berubah bak kota metropolitan. Rumah-rumah penduduk dengan berbagai arsitektur berjajar di sekitar pesantren. Tidak ketinggalan pertokoan dengan aneka ragam jualannya menambah indah kawasan pesantren terbesar di Banyuwangi itu. Itu pula yang menambah daya tarik para santri mondok di Blok Agung.

”Di Banyuwangi di antara salah satu pondok terbesar jumlah santrinya adalah pondok kami. Bahkan tahun ini santri putra dan Putri berjumlah 2.200 orang,” urai Kiai Hisyam.

Ada cerita sakral dibalik berdirinya Pesantren Darrussalam. Cerita itu dimulai nyantrinya Kiai Syafa’at (alm) ke Mbah Ibrahim (alm) di dusun Jalen, desa Setail, kecamatan Genteng. Di Jalen, Kiai Syafa’at selama 23 tahun mengabdi pada Mbah Ibrahim. Perjuangannya di Jalen tidak main-main. Kiai khos itu begitu tekun dalam menuntut ilmu. Walaupun banyak rintangan Kiai Syafaat tidak menyerah. Bahkan, walau sempat dibenci oleh Kiai Dimyati (putra Mbah Ibrahim) Kiai Syafaat tetap sabar.

”Tapi memang Kiai Dimyati itu orangnya jadzab (punya kelebihan, Red) makanya bapak tidak pernah sakit hati,” tutur Kiai Hisyam menelisik kisah perjuangan ayahandanya. Suatu ketika, saat sedang mengajar, Kiai Syafa’at tiba-tiba dihardik oleh Kiai Dimyati. Bersama kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling, Kiai Syafa’at diusir keluar pondok. Memang ketiganya adalah santri yang dibenci oleh Kiai Dimyati. Karena terus-menerus dihardik, akhirnya Kiai Syafa’at meninggalkan pesantren di Jalen. Kemudian Kiai Syafaat yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan bergegas ke kediaman kakak perempuannya, Uminatun di Blokagung.

Dari situ selangkah demi selangkah Kiai Syafaat kemudian mendirikan mushola. Awalnya santri yang diajar tidak lebih dari sepuluh orang. Kemudian berkembang menjadi puluhan, ratusan hingga ribuan. Karena dari waktu ke waktu orang yang nyantri semakin banyak, maka dirasa perlu mendirikan pondok dengan ukuran yang lebih besar. Itu diharapkan agar masyarakat di sekitarnya kala itu tidak buta terhadap nilai-nilai agama. ”Menghadapi keadaan yang demikian beliau sabar dan penuh kasih sayang tetap mencurahkan kemampuannya untuk membangun pesantren yang bergaris ahlussunah waljamaah,” tegasnya.

Tidak berhenti di situ. Bahkan, saat akan mendirikan pesantren tersebut Kiai Syafa’at sempat memiliki doa khusus. Doa itu hingga kini masih terpatri di hati Kiai Hisyam. Kurang lebihnya doa tersebut demikian; “Ya Allah Ya tuhan kami, berikanlah petunjuk kaum ini, karena sesungguhnya mereka itu belum tahu,” ucap Kiai Hisyam menirukan doa orang tuanya.

Akhirnya, doa itu terkabulkan. Sesuai dengan harapan Kiai Syafa’at, kini Pesantren Darussalam sebagai tempat untuk mendidik para sahabat dan masyarakat sekitarnya yang belum mengenal agama sama sekali ternyata terwujud. ”Harapan beliau pesantren ini harus menjadi tempat pendidikan masyarakat sampai akhir zaman,” ujar Kiai Hisyam. Ditambahkan, ayah tercintanya mengerjakan bangunan pondok ini sendiri dan dibantu oleh santrinya. Selama pembanguna berjalan, selalu memberikan bimbingan dalam praktek pertukangan dan dorongan bahwa setiap pembangunan apa saja supaya dikerjakan sendiri semampunya. Apabila sudah tidak mampu barulah mengundang dan meminta bantuan kepada arang lain yang ahli tujuannya agar kita dapat belajar dari padanya untuk bekal nanti terjun di masyarakat.

“Sosok almarhum yang mashur dan alim sehingga perlu merawat dan melestarikan pendidikan yang mengandung nilai-nilai Islam Ahlussunnah Walajamaah,” ujar Kiai yang juga menjadi rais syuriah PCNU Banyuwangi itu.

Hal yang sama disampaikan oleh Abdul Kholiq Syafa’at, adik Kiai Hisyam. Gus Kholiq, panggilan akrabnya, menyampaikan saat itu ayahandanya tidak sendirian dalam mendirikan dan mendidik santri. Abahnya dibantu almarhum Kiai M Muhyiddin dan almarhum Mua’alim Syarqowi yang sama-sama memiliki keteguhan dan kesabaran dalam berdakwah.

Gus Kholiq menambahkan, seiring dengan kemajuan dan tuntutan zaman pesantren ini menfasilitasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain mempelajari ilmu-ilmu agama ada juga ilmu-ilmu umum sesuai jenjangnya. Saat ini Pesantren Darussalam memiliki jenjang pendidikan diniyah seperti shifir sampai ulya dan sekolah formalnya mulai dari Taman kanak-kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi (PT).

“Santri dan pelajar merasakan kepuasan nyantri di pondok ini,” tegar Rektor STAIDA Blok Agung itu.
Sejarah Pendiri Pondok Pesantren Darussalam
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafa’at, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Jajag, Banyuwangi.
Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.

Perjuangan beliau dimulai dari musholla milik kakaknya. Mula-mula beliau mengajarkan Al Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya musholla tersebut tidak dapat lagi menampung para santri yang ingin belajar kepadanya.

Melihat kondisi yang demikian, Kyai Syafa’at merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kyai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Abdul Hadi.

Setelah menikah, beliau pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada mushollanya dengan ukuran 7 x 7 meter. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga musholla ini juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian muncullah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan sholat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk keperluan pendirian masjid. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam mendirikan pondok pesantren ini beliau dibantu oleh temanya Kyai Muhyidin dan Kyai Mualim.

Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafa’at Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).

Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.

Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf.

Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.

Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali.

Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.

Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.

Pengembaraan Kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya, ”KH Syafa’at (Alm.) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”

Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.

Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.

Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.

Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.

Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.

KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana’ah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.

Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.

Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i (menjaga kehormatan).

Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya, ”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.

Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Musytasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.

KH Syafa’at pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.
Sejarah Berdirinya Pondok
Pondok Pesantren Darussalam adalah pesantren yang berdiri di bumi Blambangan Banyuwangi dusun Blokagung desa Karangdoro kecamatan Tegalsari, daerah ujung timur selatan Provinsi Jawa Timur.
Didirikan oleh Almarhum KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur, seorang pemuda asal desa Ploso Klaten, Kediri. Beliau dibantu oleh Almarhum Kyai Muhyiddin dan KH. Mualim Syarqowi. Awal berdirinya Pondok Pesantren Darussalam ini pada tanggal 15 Januari 1951, KH. Mukhtar Syafa’at bersama masyarakat dusun Blokagung membangun sebuah Mushala kecil ukuran 7 X 7 meter dari bambu dan beratap ilalang. Mushala itu diberi nama Darussalam, dengan harapan semoga akhirnya menjadi tempat pendidikan masyarakat sampai akhir zaman.
Seiring waktu pesantren Darussalam semakin banyak santrinya, yang berasal dari seluruh Nusantara, dari Sabang sampai Merauke sehingga KH. Mukhtar Syafa’at bersama santri dan masyarakat membangun asrama di sekitar mushala sebagai tempat tinggal santri. Pada tahun 1978 secara resmi pesantren berbadan hukum dan berbentuk Yayasan yaitu dengan Yayasan Pondok Pesantren Darussalam dengan akte notaris Soesanto Adi Poernomo, SH. Nomor 31 tahun 1978.
Motto
عن جابر رضى الله عنه قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم
خير الناس انفعهم للناس
Sebaik-baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfa’at Bagi Orang Lain
Visi
Unggul dalam kompetensi Agama, akademik, dengan mengedepankan Akhlaqul Karimah, serta berlandaskan aqidah Ahlus-Sunah Wal Jama’ah ’Ala Madzhabi Imam Syafi’i
Kepengurusan
Susunan Personalia (Legislatif)
Yayasan Pondok Pesantren Darussalam
Ketua : KH. Ahmad Hisyam Syafa’at
Sekretaris : KH. Muhammad Hasyim Syafa’at
Bendahara : KH. Ahmad Qusyairi Syafa’at
Anggota : H. Afif Jauhari Syafa’at
Dr. H. Abdul Kholiq Syafa’at MA
H. Ahmad Munib Syafa’at Lc
H. Abdul Malik Syafa’at
Agus Ahmad Mubasyir Syafa’at
KH. Mudlofar Sulthon
KH. Ahmad Masykur
Ust. Aliy Asyiqin
H.Jabir Muda,M.Pd.I
Ny.Hj. Mahmudah Hisyam
Ny.Hj. Handariyatul Masruroh
Ny.Hj. Mahmudah Ahmad
Ny.Hj. Nurun Nadliroh
Tugas-Tugas

1. Menyediakan fasilitas kebutuhan formal lembaga;
2. Menginventarisir dan mengelola kekayaan pesantren;
3. Memfasilitasi kebutuhan SDM Lembaga formal;
4. Mengadakan dana dan memperluas jaringan.
Kontak
PONDOK PESANTREN DARUSSALAM
Alamat : Blokagung Tegalsari PO.BOX 201 Jajag
Banyuwangi 68485 Jawa Timur
Nomor Telephon
N a m a
Handphone
Jabatan
KH. A. Hisyam Syafaat,MH
085 850 648 999
Pengasuh/Ketua Yayasan
KH. Drs. M. Hasyim Syafaat
081 234 974 26
Ketua Umum/Ketua KBIH
KH. Aly Asyqin
081 336 168 463
Staf. Kabid Kepesantrenan
KH. Dr. Abdul Kholiq Syafaat,MA
081 336 168 444
Kabid. Pendidikan dan Pengajaran
Drs. Anas Saeroji,M.Pd.I
081 559 576 896
Staf Kabid. Pend. dan Pengajaran
Ahmad Mubasyir Syafaat,S.Pd.I
081 337 353 811
Kabid. Keamanan dan Ketertiban
KH. A. Munib Syafaat,LC
081 234 547 698
Kabid. Keuangan
Moch. Yasin, S.Pd.I
081 559 724 238
Staf Kabid. Keuangan
KH. Afif Jauhari Syafaat
081 336 296 777
Kabid. Pembangunan
KH. Ahmad Masykuri
081 336 168 448
Kabid. Peng. Pesantren dan Masyarakat
KH. A. Mudlofar Sulthon
085 855 290 624
Kabid. Pembantu Umum
KH. Abdul Malik Syafaat
081 249 281 331
Staf Kabid. Pembantu Umum
K a n t o r
Telp/ HP
Pesantren Putra
(0333) 845972
Pesantren Putri Utara
(0333) 844402
Pesantren Putri Selatan
(0333) 843227
Pesantren Kanak-Kanak
(0333) 844433
SD Darussalam
(0333) 7709261
MTs, SMP, MA, SMA, SMK
(0333) 845973
STAIDA
(0333) 847459
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar