Jumat, 20 April 2012

Bambang: Kesejahteraan Hakim, Titik Lemah Penegakan Hukum

Kesejahteraan Hakim, Titik Lemah Penegakan Hukum



Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI

(Opini Media Indonesia 12/4/12)



JIKA ribuan hakim meradang karena gaji mereka tidak mencukupi, keluh kesah itu menjadi bukti yang menjelaskan kelemahan strategi dalam agenda penegakan hukum. Rencana mogok massal korps hakim daerah merupakan peringatan kepada negara bahwa jika kesejahteraan komunitas pengadil tidak segera diperbaiki, pengadilan justru bisa menjadi titik lemah penegakan hukum.



Karena itu, jangan melarang, dan jangan juga mengaggap remeh jika para hakim di daerah menyuarakan uneg-uneg mereka. Kalau Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono boleh Curhat karena tujuh tahun tak pernah menikmati kenaikan gaji, mengapa juga para hakim di daerah tidak boleh mengeluhkan gaji mereka yang kecil? Hormati saja karena itu memang hak mereka. Saat bekerja di ruang pengadilan, semua menyapa mereka dengan ‘Yang Mulia’. Tetapi, ketika kembali pada realitas kehidupan, mereka pasti mengalami kesulitan merefleksikan makna ‘Yang Mulia’ itu. Sebab, seperti orang kebanyakan lainnya, mereka juga harus bergulat dengan tantangan hidup. Dalam situasi tertentu, bisa saja mereka memilih meninggalkan tugas demi kepentingan anak istri.



Maka, kalau masih konsisten dengan agenda penegakan hukum, keluh kesah para hakim itu justru harus diapresiasi, karena mereka mengungkap sekaligus menunjukan adanya sebuah kelemahan mendasar dalam agenda penegakan hukum di negara ini. Secara tidak langsung, para hakim di daerah ingin mengatakan bahwa kalau pemerintah terus lalai atau tidak peduli pada kesejahteraan para hakim di daerah, eksistensi, peran dan tanggung jawab mereka justru bisa menjadi titik lemah sekaligus perusak agenda penegakan hukum di negara ini. Sekarang ini, agenda penegakan hukum memang sudah mengalami sedikit kerusakan di sana sini. Sekadar contoh kasus, sebut saja kasus vonis bebas pengadilan Tipikor terhadap puluhan terdakwa koruptor yang mengundang kemarahan publik. Atau, kasus oknum hakim yang tertangkap tangan karena diduga menerima uang suap.



Memang, setinggi apa pun jabatan atau profesi yang disandang seseorang, jika kesejahteraan hidupnya dibawah standar rata-rata, selalu saja akan muncul dorongan untuk memperbaiki kesejahteraan dengan cara lain. Misalnya mencari dan menekuni kerja sampingan. Bisa juga melakukan kerja haram dengan cara melanggar kode etik jabatan atau profesi alias mengomersilkan jabatan. Dalam sejumlah kasus Tipikor yang melibatkan oknum penegak hukum, modus yang dipilih umumnya adalah komersialisasi jabatan. Dari tawar menawar pasal- pasal dakwaan sampai jual beli rencana tuntutan (Rentut). 



Berdasarkan kecenderungan itu, sudah barang tentu komunitas hakim daerah bisa menjadi sangat rentan. Sebab, mereka menjadi sasaran empuk mafia peradilan. Sebagaimana lazimnya mafia bekerja, mereka akhirnya akan sampai pada ranah tugas hakim setelah sebelumnya memasuki dulu hidup keseharian para oknum hakim yang serba pas-pasan. Kalau hal yang demikian sampai terjadi, hukum sulit ditegakan karena akan menjadi komoditi yang  diperdagangkan dibalik pintu oknum hakim.



Maka, sebelum kerusakan agenda penegakan hukum bertambah parah, inisiatif korps hakim daerah patut ditanggapi dengan sikap dan pemikiran positif. Jika jernih menyikapinya,   akan terbaca bahwa dalam keluh kesah para hakim itu, terkandung maksud dan tujuan besar yang jauh lebih strategis, yakni sebuah dorongan baru bagi terwujudnya sinergi penegakan hukum, antara Polri-Kejaksaan di satu sisi dengan dengan para hakim dan institusi peradilan di sisi lain.    



Samakan Perlakuan



Baru-baru ini, Kejaksaan Agung, Polri dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memperbarui kesepakatan kerja sama demi optimalisasi pemberantasan korupsi. Pembaruan kerjasama itu tidak melibatkan institusi yang membawahi pengadilan tindak pidana korupsi. Apakah kerjasama yang diperbarui itu bisa efektif memberantas korupsi? Mudah-mudahan. Tetapi, belum lama ini, rakyat disuguhi fakta tentang keputusan beberapa pengadilan Tipikor daerah yang menjatuhkan vonis bebas puluhan terdakwa koruptor. Kalau pemerintah dan institusi penegak hukum mau belajar dari kasus vonis bebas terdakwa koruptor itu, korps hakim dan institusi peradilan mestinya tidak dijadikan bagian terpisah. Polri, Kejaksaan, KPK bersama korps hakim dan institusi peradilan merupakan komponen-komponen utama dalam upaya menegakan hukum. Agar agenda penegakan hukum mencapai tujuan besarnya, tidak ada pilihan lain kecuali  mewujudkan  sinergi semua komponen utama itu.

   

Karena itu, inisiatif serupa perlu diperluas oleh Polri dan kejaksaan untuk mewujudkan penegakan hukum dalam skala lebih luas, yang tidak hanya fokus pada kejahatan Tipikor. Artinya, Polri dan Kejaksaan perlu juga mengambil inisiatif bagi optimalisasi penegakan hukum. Agar optimalisasi itu efektif mencapai tujuannya, komponen korps hakim dan institusi pengadilan harus dilibatkan dalam tahap optimalisasi itu. Dan, salah satu prasyarat untuk kebersamaan melakukan optimalisasi itu adalah persamaan perlakuan dari negara cq pemerintah terhadap semua komponen utama penegakan hukum di negara ini. Maka, kalau pemerintah selama ini sudah memberi perhatian cukup terhadap Polri dan Kejaksaan berikut jajaran masing-masing, kini waktunya bagi pemerintahn merespons dengan tepat dan bijaksana keluh kesah para hakim, khususnya hakim-hakim yang bertugas di daerah.



Efektivitas penegakan hukum memang bergantung pada faktor kemauan politik pemerintah. Mogok massal para hakim daerah bisa dicegah jika pemerintah menyikapi keluhan para hakim dengan hati jernih. Sebab, dalam praktiknya, optimalisasi penegakan hukum tidak bisa   dipisahkan dari fungsi dan peran pengadilan, serta komitmen para hakim. Artinya, tanpa bermaksud mengintervensi kewenangan pengadilan dan korps hakim, langkah-langkah penyeragaman persepsi antara Polri-Kejagung dengan institusi pengadilan masih sangat  diperlukan. Untuk kepentingan penyeragaman persepsi tentang optimalisasidal  penegakan hukum itu, tidak ada salahnya jika  Kejagung dan Polri bersama-sama melakukan pendekatan kepada Mahkamah Agung (MA). Agar mendapatkan dukungan politik, agenda optimalisasi penegakan hukum itu harus pula dilaporkan kepada presiden dan DPR.



Sebagai isu, rencana mogok ribuan hakim di daerah memang kalah seksi dibanding aksi massa turun ke jalan menentang rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).  Namun, karena pihak yang berencana melakukan mogok massal itu para korps pengadil, isu ini tetap saja tak luput dari perhatian publik. Bahkan kelompok masyarakat tertentu baru tahu bahwa para hakim itu bukan pegawai negeri sipil (PNS).



Kalau alasan dibalik rencana mogok itu tidak dikemukakan, sebagian besar publik tidak pernah tahu, bahkan sulit untuk percaya, bahwa para hakim di daerah menerima gaji kecil. Bahkan sebaliknya, sudah terbentuk persepsi bahwa kesejahteraan para hakim berada di atas standar rata-rata warga kebanyakan karena semua kebutuhan mereka disediakan negara. Karena anggapan bahwa para hakim merupakan bagian tak terpisah dari aparatur negara, banyak orang tidak percaya bahwa gaji hakim di daerah kecil. Sebab, bukankah hampir setiap tahun pemerintah selalu mengumumkan kenaikan gaji aparatur negara saat membacakan APBN (Anggaran Pendapatan dan  Belanja Negara) di DPR?



Maka, menjadi menarik ketika seorang hakim di daerah mengajukan pertanyaan ini;     apakah status hakim pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat negara? Jika status hakim pejabat negara, mengapa gaji hakim lebih kecil dari PNS? Dari pertanyaan ini, boleh diterjemahkan bahwa para hakim pun tidak tahu dengan jelas posisi dan status mereka dalam struktur birokrasi negara.



Persoalan berikutnya, mengapa hanya hakim di daerah yang berkeluhkesah sementara hakim di wilayah perkotaan tidak ikut-ikutan mengeluhkan gaji kecil? Wajar jika muncul asumsi ada perbedaan perlakuan dari pemerintah terhadap hakim wilayah perkotaan dan hakim di daerah. Mengapa harus ada perbedaan perlakuan jika tugas dan tanggungjawabnya sama? Betapa malangnya nasib seorang hakim yang semula bertugas di Jakarta – dengan gaji yang lumayan besar-- lalu dipindahkan ke daerah karena alasan-alasan tertentu, dengan konsekuensi harus menerima gaji kecil.  



Kalau seperti itu fakta persoalannya, bisa ditafsirkan bahwa pemerintah meremehkan peran dan tanggung jawab para hakim di daerah dalam agenda penegakan hukum.  Argumentasi ini mengacu pada upaya pemerintah yang sudah dan terus memperkuat peran dan fungsi Polri, Kejaksaan dan juga KPK. Seluruh jajaran Polri bahkan sudah menikmati remunerasi. Pemerintah pun mengalokasikan anggaran yang tidak kecil untuk membiayai gaji pegawai dan operasional KPK. Peran hakim pun sangat strategis. Mengapa gaji para hakim tidak segera dinaikan? []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar