Membincang Ide Satu Mathla’
Sedunia
Oleh : Ali Wafa Yasin
Sebagaimana dimaklumi, bahwa perbedaan
menentukan awal Syawal telah jamak terjadi. Pada prinsipnya, perbedaan
semacamnya ini bukanlah persoalan serius. Akan tetapi ekses negatif yang
kemudian ditimbulkannya cukup merisaukan, sebab persatuan umat Islam adalah hal
yang harus diprioritaskan dari apapun. Karena itu, para pakar berupaya sebisa
mungkin untuk menyatukan hari raya umat Islam di seluruh dunia. Dan, salah satu
teori yang ditawarkan adalah penyeragaman mathla’.
Namun, dalam hal ini, justru teori para pakar
terpilah pada arah yang berlawanan. Sehingga sampai di sini, ide penyeragaman
masih baru sekadar wacana, dan tampaknya sulit diharapkan. Kelompok pertama
memandang bahwa di dunia Islam ini hanya ada satu mathla’. Maksudnya, jika ada
salah satu negara yang berpenduduk muslim sudah melihat hilal, maka wajib
hukumnya negara-negara Islam lain yang belum melihat bulan mengikuti hasil ru’yah
negara tersebut. Mereka yang menyuarakan ide ini adalah mayoritas ulama.
Kelompok kedua memandang bahwa setiap negara
yang berpenduduk muslim mempunyai mathla’ sendiri. Sehingga mereka boleh
bersandar pada hasil ru’yah masing-masing dan tidak harus mengikuti hasil
ru’yah negara muslim yang lain. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah
sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan sebagian besar ulama mazhab Syafii.
Dalil Masing-Masing Kelompok
Dalil kelompok pertama adalah Hadis Abu
Hurairah dan yang lain, “Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena
melihat bulan. Jika kamu terhalang mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan
Syaban itu menjadi 30 hari.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban
puasa bagi umat Islam bergantung pada mutla’ ru’yah, sedangkan mutla’ itu
berlaku sesuai kemutlakannya. Karena itu dalam masalah ini ru’yah cukup
dilakukan oleh kelompok atau perorangan.
Mengenai jarak dan perbedaan tempat, kelompok
ini mengiaskan negara-negara yang jauh dengan kota-kota yang dekat dari negara
tempat ru’yah. Pemikiran ini dikenal dengan istilah ru’yah internasional yang
menjadi pegangan komisi penyatuan kalender hijriyah internasional.
Dalil kelompok kedua adalah Hadis Kuraib,
bahwa Ummul-Fadhl mengutus Kuraib kepada Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata:
“Aku telah datang ke Syam dan telah melaksanakan keperluan Ummul-Fadhl,
sedangkan ru’yah untuk awal Ramadhan datang kepadaku, sementara aku berada di
Syam. Aku melihat bulan pada malam Jumat, kemudian aku datang ke Madinah pada
akhir bulan. Lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku menyangkut masalah
hilal, ‘Kapan Anda melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam
Jumat’. Ibnu Abbas bertanya, ‘Betulkah Anda yang melihatnya sendiri?’ Aku
menjawab, ‘Ya, saya melihatnya sendiri, dan orang-orang juga berpuasa, begitu
juga Muawiyah’. Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam
Sabtu, sehingga kami berpuasa setelah menyempurnakan bilangan 30 hari, atau
kami melihatnya sendiri’. Kuraib bertanya, ‘Bukankah Anda cukup dengan ru’yah
dan puasa yang dilakukan Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak, seperti inilah
Rasulullah memerintahkan kepada kami’.”
Maksud perintah itu adalah sabda Nabi yang
terdapat dalam Hadis Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda: “Bulan itu tidak
lain adalah 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan
dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat bulan. Apabila kalian
terhalang melihat bulan, maka perkirakanlah bulan itu.”
Teori kedua ini dipersepsikan menjadi pemicu
terjadinya perbedaan dalam memulai maupun mengakhiri Ramadhan di berbagai
kawasan umat Islam. Itulah sebabnya mengapa beberapa tahun yang lalu munculah
gerakan memasyarakatkan teori “ittihâdul-mathâli’” (kesatuan mathla’
internasional) yang diharapkan mampu menyatukan awal dan akhir Ramadhan secara
internasional.
* * *
Untuk mengukuhkan persepsi bahwa konsep
ittihâdul-mathâli’ itu sangat mungkin untuk diterapkan, kelompok yang pro
terhadap konsep ini tidak hanya memperkukuh ide ini dengan beragam argument.
Akan tetapi mereka juga berupaya menggulingkan argument kelompok pro
ikhtilâful-mathâli’ dengan sejumlah dalih.
Dali dari al-Qur’an adalah ayat yang artinya,
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (QS al-Baqarah
[2]: 189).
Yang di maksud dengan “al-ahillah” dalam ayat
di atas adalah bulan sabit, yang dalam setiap tahunnya berjumlah dua belas. Di
manapun hilal (bulan sabit) itu dilihat, maka sejak itulah bulan itu dimulai.
Di antara tujuan Allah I menciptakan bulan-bulan itu adalah untuk membatasi
kebutuhan, janji-janji, dan hal-halm penting yang tak terelakkan. Oleh karena
itu, jika seandainya setiap wilayah atau bahkan setiap orang memilki hilal
masing-masing, maka hal itu telah melenceng dari tujuan diciptakannya bulan,
dan tidak ada batasan waktu yang dapat dijadikan tendensi dan patokan apapun,
namun hanya akan menyebabkan terjadinya perbedaan waktu, yang menyebabkan
tatanan waktu menjadi campur aduk.
Firman Allah yang artinya “Dialah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditetapkan-Nya
tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu)”. (QS Yunus: 05). Dalam ayat yang lain, “Matahari dan
bulan (beredar) menurut perhitungan”. (QS Ar-Rahman: 05).
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan dan sebuah sistem pada porosnya, agar
manusia tahu terhadap waktu, dan dapat memperhitungkan berjalannya tahun-tahun.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa al-ahillah itu
berbilangan–dengan mengajukan pendapat ikhtilâful-mathâli‘–bertentangan dengan
ayat-ayat ini.
Sedangkan dalil dari Hadis, adalah Hadis
mutawatir dengan sanad-sanad yang sahih dari Hadis Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, Umar bin al-Khattab dll, bahwa Rasulullah bersabda, “Berpuasalah
karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan. Jika kamu terhalang
mendung dalam melihat bulan, maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.” Hadis ini
merupakan dalil terkuat yang dijadikan argumen bagi wajibnya penyeragaman
mathla’ dan haramnya berbeda dalam mathla’.
Kritik Hadis Ikhtilâful-Mathâli‘
Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim,
Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai, atau dari riwayat yang lain melalui
Kuraib, yang dijadikan dasar terhadap teori ikhtilâful-mathâli‘, memiliki
bebrapa kelemahan yang akan kami jelaskan di bawah ini.
Pertama, bahwa sebenarnya Hadis itu tidak ada
dasarnya dan sama sekali tidak menyebutkan terjadinya perbedaan matla’ pada
setiap wilayah tertentu. Namun sebenarnya Ibnu Abbas tidak mau menerima atau
menolak berita ru’yah yang dibawa Kuraib, dan tidak mau mengamalkan ru’yah
hasil Muawiyah ataupun penduduk Syam yang kurang pasti itu.
Kedua, bisa jadi penyaksian Kuraib seorang
diri tidak dapat diterima, sebab jika kita melihat pada pendapat mayoritas
ulama yang mensyaratkan harus dua orang dalam penyaksian melihat hilal, maka
penyaksian yang hanya dilakukan oleh Kuraib seorang diri jelas tidak dapat
diterima.
Ketiga, bahwa Hadis Kuraib bertentangan
dengan nash dari qaul sahabat lain yang memiliki otoritas lebih tinggi, yaitu
Umar bin al-Khaththab.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
dasar-dasar yang dimiliki oleh teori ittihâdul-mathâli‘ lebih kuat. Sebagai
upaya dalam memasyarakatkan teori kesatuan mathla’ internasional, agar seluruh
wilayah Islam di santreo dunia bisa kompak dan terlihat kuat, sehinga
bagaimanapun upaya ini perlu untuk didukung. []
Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan –
Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar