Selasa, 03 April 2012

(Ngaji of the Day) Menekan Tingkat Perkawinan Anak


Menekan Tingkat Perkawinan Anak

Oleh: Muhamad Isna Wahyudi



Setelah lama tertunda, akhirnya keinginan Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji yang berusia 47 tahun, untuk menikahi Lutfiana Ulfa, yang berusia 16 tahun, dapat segera terwujud setelah Majelis Hakim Pengadilan Agama Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah mengabulkan permohonan izin poligami Syekh Puji untuk menikahi Lutfiana Ulfa, Kamis (26/1). Sebelumnya, Syekh Puji telah menikahi siri Ulfa yang belum berusia 16 tahun yang mengakibatkan ia divonis bersalah telah melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 81 ayat 2 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak oleh Pengadilan Negeri Ungaran dengan hukuman empat tahun penjara. Namun, hingga kini putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap karena masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung, setelah upaya hukum banding yang ditempuh Syekh Puji ditolak oleh Pengadilan Tinggi Semarang.


Meski Ulfa telah berumur 16 tahun, yang berarti telah memenuhi syarat minimal usia perkawinan bagi perempuan, usia Ulfa masih tergolong anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak. Ketentuan hukum perkawinan di Indonesia memang cenderung membuka peluang bagi tingginya angka perkawinan anak perempuan, dan ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia belum berlaku secara optimal.


Menurut temuan Bappenas pada tahun 2008, 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan yang tercatat di Indonesia melibatkan anak-anak. Bahkan, sebuah survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia pada Januari-April 2011 menunjukkan bahwa 33,5 persen dari anak-anak usia antara 13 sampai 18 tahun dipaksa untuk melakukan perkawinan, dengan anak-anak perempuan harus menanggung kekerasan yang sering mengiringi kasus-kasus pemaksaan dalam perkawinan (The Jakarta Post (27/9/11).


Menurut survey yang dilakukan di delapan kabupaten yang tersebar di lima propinsi di Indonesia tersebut – Indramayu di Jawa Barat; Grobogan dan Rembang di Jawa Tengah; Tabanan di Bali; Dompu di Nusa Tenggara Barat; dan Timor Tengah Selatan, Sikka dan Lembata di Nusa Tenggara Timur – 44 persen dari perempuan yang dipaksa untuk melakukan perkawinan di bawah umur mengalami kekerasan domestik yang serius.


Hukum perkawinan nir-perlindungan anak


Tingginya tingkat perkawinan anak tidak dapat dilepaskan dari hukum perkawinan yang longgar bagi perkawinan anak. Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sementara menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seseorang yang belum berusia 18 tahun masih termasuk anak. Selain itu, masih terdapat pintu keluar bagi penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, seperti disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang memungkinkan perkawinan di bawah umur minimal perkawinan dengan mengajukan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan.


Memberdayakan hukum


Bagaimana agar hukum dapat berfungsi secara efektif untuk melindungi anak-anak dari perkawinan anak? Menurut penulis, setidaknya terdapat tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama, terkait substansi hukum, yaitu amandemen terhadap ketentuan umur minimal perkawinan bagi perempuan. Setidaknya umur minimal perkawinan bagi perempuan adalah 19 tahun. Pada umur 19 tahun, calon mempelai perempuan tidak termasuk sebagai anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak. Akan tetapi, dalam merumuskan ketentuan tersebut, dampak perkawinan bagi anak-anak perempuan terkait pendidikan, psikologi, kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, dan kesehatan reproduksi juga perlu dipertimbangkan. Selain itu, bahkan perlu dikenakan sanksi bagi para pelanggar batas minimal usia perkawinan, baik bagi para orang tua, maupun para pejabat yang berwenang dalam penyelenggaraan perkawinan.


Kedua, terkait struktur hukum, yaitu hakim. Ketika memeriksa permohonan dispensasi kawin, hakim harus memeriksa perkara tersebut secara menyeluruh. Hakim harus mampu menemukan motif di balik permohonan tersebut. Berdasarkan pengalaman penulis, terdapat tiga faktor dominan yang mendorong orang tua untuk meminta dispensasi kawin bagi anak-anak mereka, yaitu: kehamilan yang tidak dikehendaki, kebiasaan/tradisi, dan ekonomi. Di antara faktor-faktor ini, faktor pertama merupakan faktor yang tidak dapat dihindari untuk mengabulkan permohonan dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang masih dalam kandungan. Tetapi, mengenai dua faktor yang lain, hakim harus mempertimbangkan dampak perkawinan yang demikian terhadap anak perempuan, dan memberikan prioritas bagi perlindungan anak.


Ketiga, terkait budaya hukum, yaitu kebiasaan atau tradisi dalam masyarakat. Budaya masyarakat dalam hal perkawinan anak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Bagi masyarakat muslim, terkait dengan perkawinan anak, memang terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam ibn ‘Urwah, yang sering kali dijadikan dasar/dalil atas kebolehan perkawinan anak, yang menceritakan bahwa Aisyah menikah dengan Rasulullah saw pada usia 7 tahun, dan mulai berhubungan badan dengan Rasulullah saw pada usia 9 tahun.


Namun demikian, riwayat Hisyam ibn ‘Urwah tidak dapat dijadikan hujjah karena ternyata bertentangan dengan banyak riwayat lainnya. Bahkan, tidak ada alasan untuk menerima riwayat Hisyam ibn ‘Urwah sebagai sahih ketika ulama lain, termasuk Malik bin Anas, memandang riwayat Hisyam ibn ‘Urwah ketika di Iraq, sebagai tidak dapat dipercaya. Riwayat-riwayat dari Tabari, Bukhari, dan Muslim menunjukkan adanya saling kontradiksi antara satu dengan yang lain mengenai umur Aisyah. Lebih dari itu, banyak dari ulama ini yang bertentangan dengan diri mereka dalam riwayat mereka sendiri. Dengan demikian, riwayat tentang umur Aisyah pada saat perkawinan tidak dapat dipercaya karena kontradiksi-kontradiksi yang jelas terlihat dalam karya-karya ulama Islam klasik. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meyakini bahwa informasi tentang umur Aisyah diterima sebagai benar ketika terdapat cukup alasan untuk menolaknya sebagai mitos.


Selain karena faktor budaya, masalah kemiskinan menjadi faktor lain yang mendorong orang tua untuk segera menikahkan anak perempuan mereka. Dengan menikahkan anak, orang tua dapat terbebas dari beban ekonomi untuk menanggung biaya hidup anak. Kondisi ekonomi suatu keluarga akan mempengaruhi tingkat pendidikan anak sehingga dapat menunda terjadinya perkawinan anak. Oleh karena itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat merupakan upaya penting untuk menekan tingkat perkawinan anak. Selain itu gerakan orang tua asuh juga perlu digalakkan untuk membantu pendidikan anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Bahkan pemerintah perlu membuat kebijakan wajib belajar tidak hanya sampai tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama tetapi sampai sekolah lanjutan tingkat atas untuk menekan tingkat perkawinan anak.


Kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kondisi generasi penerusnya, yaitu anak-anak. Anak merupakan investasi paling berharga bagi sebuah bangsa yang harus dilindungi hak-haknya sehingga dapat menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas, dan bukan dijadikan sebagai bagian dari objek eksploitasi baik oleh orang tua sendiri, maupun oleh orang lain melalui perkawinan anak. Tingginya tingkat perkawinan anak akan menjadi bom waktu, karena berbagai dampak yang timbul akibat perkawinan anak khususnya bagi anak-anak perempuan, yang pada akhirnya akan melahirkan generasi yang lemah. Sudah saatnya bagi masyarakat dan pemerintah lebih memperhatikan perkawinan anak.


* Hakim di lingkungan Peradilan Agama, bertugas di Pengadilan Agama Kotabumi Lampung Utara sejak Juli 2010-sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar