BBM Naik Persoalan
Pun Tereskalasi
Bambang Soesatyo
Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia
ALIH-alih
menyelesaikan masalah, keputusan sidang paripurna DPR akhir pekan lalu justru
mengeskalasi persoalan. Rakyat kembali terperangkap dalam ketidakpastian,
sementara kerusakan harga di pasar kebutuhan pokok semakin sulit diperbaiki.
Bukan hanya isu
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang membuat rakyat tidak
nyaman. Persoalan lain yang langsung dan sedang dihadapi rakyat hari-hari ini
adalah kenaikan harga kebutuhan pokok. Harga aneka komoditi kebutuhan pokok
sudah naik sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi dinyatakan final. Kenyataan
ini menyengsarakan begitu banyak orang. Dan, tidak ada yang peduli, termasuk
pemerintah sendiri.
Apakah harga
kebutuhan pokok akan turun mengikuti keputusan Sidang Paripurna DPR tentang
prospek harga BBM dalam beberapa waktu ke depan? Jelas tidak! Sebab, keputusan
Sidang Paripurna DPR itu justru akan menjadi modal bagi para spekulan di pasar
kebutuhan pokok. Karena ketidakpastian harga BBM akan berlangsung selama syarat
dalam pasal 7 ayat 6a belum terpenuhi, selama rentang waktu itu pula para
spekulan akan leluasa menggoreng harga komoditi kebutuhan pokok.
Kecenderungan yang
sama pun akan terjadi di pasar BBM bersubsidi. Spekulan akan terus berupaya
melakukan penimbunan. Di banyak pelosok daerah, sudah bermunculan pasar-pasar
gelap yang menawarkan BBM bersubsidi dengan harga tinggi. Dengan keputusan
Sidang Paripurna DPR seperti itu, bisa dipastikan bahwa pasar gelap BBM akan
terus berlangsung. Bukan tidak mungkin akan terjadi kelangkaan BBM bersubsidi
di pelosok-pelosok daerah.
Keputusan Sidang
Paripurna DPR yang serba mengambang itu pun gagal meredam emosi publik.
Bahkan, sebaliknya, banyak elemen masyarkat semakin marah karena DPR justru
memberi peluang kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebagai
wakil rakyat, DPR justru dinilai tidak menyerap aspirasi masyarakat. Sikap DPR
yang demikian akan direspons dengan gelombang protes yang berkelanjutan. Sebab,
bagi mahasiswa, pekerja dan kaum tani, persoalan belum selesai kendati DPR
berhasil membatalkan kenaikan harga BBM pada 1 April 2012.
Mayoritas fraksi DPR
sudah menyetujui opsi penambahan ayat 6a dalam pasal 7 UU No.22 Tahun 2011
tentang APBN 2012, dalam sidang paripurna DPR yang berlangsung sejak Jumat
hingga Sabtu (31/3) dini hari. Dengan mekanisme voting, 356 anggota DPR
mendukung opsi dua tentang pemberian kesempatan bersyarat kepada pemerintah
untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Ayat 6a dalam pasal itu menetapkan, jika
harga minyak mentah rata-rata Indonesia dalam kurun waktu enam bulan terakhir
mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberikan
kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan
pendukungnya.
Keputusan ini sarat
kelemahan dan jauh dari bijaksana karena DPR sama sekali tidak mengkalkulasikan
ekses dari keputusannya terhadap pasar. Implikasi dari model keputusan seperti
itu sangat luas dan serius, sebagaimana diilustrasikan di atas, yakni mengeskalasi
persoalan dan menimbulkan kekacauan di pasar. Mengapa? Sebab, para spekulan
bisa menghitung. Mereka yakin, jika persentase turun naiknya harga ICP yang
dijadikan acuan, harga BBM bersubsidi bisa dipastikan bakal dinaikan pada
waktunya nanti. Bukankah harga minyak mentah dunia terus berfluktuasi dengan
kecenderungan naik? Baru-baru ini, harga minyak mentah dunia sudah menyentuh
level 128 dolar AS per barel.
Berbagai kalangan pun
langsung membenturkan keputusan Sidang paripurna DPR itu dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 28 undang-undang (UU) tentang Migas.
Keputusan MK No. 002/PUU-I/2003sudah menetapkan bahwa harga BBM bersubsidi
tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Lebih dari itu, Pasal 7 ayat 6
UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang menetapkan ‘Harga Jual BBM
bersubsidi tidak mengalami kenaikan’ itu sudah menjadi UU yang hakikatnya tidak
bisa divoting lagi. Maka, keputusan Sidang Paripurna DPR itu otomatis dinilai
inkonstitusional. Sejumlah ahli hukum tata negara pun bersiap menguji keputusan
DPR itu.
Jangan Malas
Aspek yang sama
sekali tidak diperhitungkan dari keputusan itu adalah eksesnya. Inilah yang
menjadi keprihatinan banyak orang. Alih-alih membantu menurunkan derajat
permasalahan, keputusan itu justru destruktif. Akan muncul ragam persoalan
dalam rentang waktu enam bulan ke depan. Pimpinan DPR mungkin saja berasumsi
bahwa semua ekses yang muncul dari keputusan Sidang Paripurna DPR itu menjadi
tanggungjawab pemerintah. Asumsi itu bisa diterima. Tetapi, DPR mestinya tidak
menjadi pihak yang mengeskalasi masalah. Demi kepentingan rakyat yang
diwakilinya, DPR harus melahirkan keputusan-keputusan yang solutif dan
berkepastian.
Untuk menurunkan
derajat permasalahan, baik pemerintah maupun DPR harus bekerja keras. DPR harus
lebih gigih dalam upaya mendapatkan data akurat tentang biaya produksi
BBM. Data-data tentang harga bahan baku, impor dan biaya distribusi harus
dipaparkan kepada publik. Publik perlu diberi pemahaman tentang hal ini agar
setiap perubahan kebijakan tentang BBM bersubsidi tidak gejolak.
Semua orang setuju
bahwa membengkaknya anggaran subsidi BBM tidak boleh terjadi. Pun sepakat bahwa
subsidi apa pun harus sampai kepada pihak-pihak yang berhak, yakni warga negara
yang dikategorikan kurang mampu. Masalahnya, pembengkakan anggaran subsidi BBM
selama ini bisa terjadi karena sebagian besar salah sasaran. Sudah tahu subsidi
salah sasaran, pemerintah terus saja mengulangi kesalahan itu dari tahun ke
tahun.
Kini saatnya
pemerintah harus bekerja keras memperbaiki kesalahan itu. Harus ada keberanian
untuk melakukan pembatasann terhadap konsumsi BBM bersubsidi. Muncul anggapan
pemerintah malas dan tidak berani melakukan pembatasan. Dan, setiap kali
keseimbangan APBN terganggu oleh gelembung anggaran subsidi BBM, pemerintah
mengambil langkah instan dengan menawarkan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Padahal, jika
pemerintah memiliki keberanian menetapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi,
pembengkakan anggaran BBM bersubsidi bisa dihindari. Misalnya, tetapkan saja
hanya pengendara motor, angkutan umum, angkutan barang dan jasa plus nelayan
yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi. Angkutan roda empat milik pribadi dan
plat merah dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi.
Pola ini kurang lebih
sama dengan keberanian pemerintah menetapkan siapa saja warga negara yang
berhak menerima bantuan langsung tunai (BLT) dan Raskin (beras untuk warga
miskin). Sebelum merealisasikan penyaluran BLT dan Raskin, pemerintah tentu
bekerja keras dalam mengidentifikasi warga yang berhak menerima, serta
berkoordinasi dengan semua pihak terkait agar penyalurannya tidak salah
sasaran. Sejauh ini, program BLT maupun Raskin relatif berjalan dengan baik.
Kalau benar-benar
ingin mencegah terjadinya pembengkakan anggaran subsidi BBM, mengapa pola yang
kurang lebih sama tidak diterapkan untuk menyalurkan BBM bersubsidi? Kalau pola
ini yang diterapkan, bisa dipastikan bahwa seperti apa pun kebijakan atas BBM
bersubsidi tidak pernah akan merusak harga di pasar komoditi kebutuhan pokok.
Sebab, cakupan atau areal kebijakannya terbatasi.
Pertanyaannya adalah
apakah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi otomatis menjadi jaminan bahwa
pembengkakan anggaran subsidi BBM tidak akan terjadi lagi?
Bagaimana pun, harus
diakui bahwa munculnya ekses pada kebijakan subsidi BBM lebih disebabkan
pemerintah sendiri yang belum bekerja maksimal dalam mengefektifkan penyaluran
BBM bersubsidi. Pemerintah harus menyalahkan dirinya sendiri karena
kesalahan menyalurkan BBM bersubsidi dilakukan terus menerus. Satu hal yang
pasti, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan jalan keluar yang bisa menghentikan
gelembung anggaran subsidi BBM. []
Sent from my
BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar