Agar Wujud Bulog
Tidak Ka ‘Adamihi
Lupakan gerbang tol.
Ada yang lebih aktual yang harus kita dukung: pengadaan beras oleh Bulog. Saat
ini petani lagi panen raya. Tindakan saya yang keras dalam mengatasi kemacetan
di pintu-pintu tol memang mendapat dukungan luas (10 persen lainnya mengecam
saya sebagai sekadar melakukan pencitraan), tapi Bulog juga harus terus
didorong untuk berubah.
Hari-hari ini Bulog
lagi all-out terjun ke sawah. Di musim panen raya sekarang ini Bulog tidak mau
lagi disebut sekadar menjadi “tukang tadah”. Saat ini Bulog mulai berani
membeli gabah langsung dari petani. Tidak hanya membeli gabah melalui para
tengkulak. Kali ini Bulog mencoba belajar jadi “tengkulak” itu sendiri.
Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, langsung terjun ke sawah-sawah.
Hasilnya pasti belum
maksimal. Juga belum bisa merata ke semua daerah. Maklum baru sekarang ini
Bulog terjun langsung ke desa-desa secara all-out. Bulog kali ini mencoba
mengubah cara kerja. Tapi memang tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah lama
menjadi kebiasaan. Apalagi kalau sudah mengakar dan menggurita. “Membelokkan”
kapal besar seperti Bulog tidak akan bisa spontan seperti membelokkan
speedboat. Tapi perubahan di Bulog sudah dimulai.
Waktu mengadakan
rapat kerja dua bulan yang lalu, semangat untuk berubah itu terlihat nyata. Dan
tidak boleh mundur lagi. Dalam rapat kerja itu, misalnya, ditemukan cara agar
Bulog bisa lebih lincah tanpa melanggar aturan. Pertama, aturan itu sendiri
diubah. Kedua, mendayagunakan anak perusahaan untuk meningkatkan fleksibilitas
pembayaran langsung kepada petani. Ketiga, melakukan kerjasama dengan Bank
Rakyat Indonesia (BRI) untuk pendanaan.
Selama ini Bulog
tidak mungkin bisa bersaing dengan para tengkulak: kalah lincah, kalah prosedur
dan kalah dana. Akibatnya nama Bulog kian redup di mata petani. Rendahnya
kepercayaan petani padi kepada Bulog sudah mirip rendahnya kepercayaan petani
tebu kepada pabrik gula.
Seperti juga
pabrik-pabrik gula milik BUMN, kini Bulog juga lagi giat merebut kembali
kepercayaan yang hilang itu. Tentu belum akan berhasil tahun ini, tapi
setidaknya sudah dimulai. Kalau usaha ini tidak dilakukan maka dalam waktu yang
tidak terlalu lama Bulog kian jauh dari petani. Bisa-bisa Bulog lama-lama
menjadi “adanya seperti tiadanya (wujuduhu ka ‘adamihi)”.
Tapi kehadiran
tengkulak di tengah-tengah petani sebaiknya juga jangan dikecam. Bahkan harus
disyukuri. Di saat Bulog seperti itu, terus terang, tengkulaklah yang menjadi
juru selamat para petani. Tengkulaklah yang siap membeli gabah kapan saja dalam
kualitas seperti apa saja. Tengkulak bisa membeli gabah fresh from the field.
Tanpa perlu memeriksa apakah kadar airnya tinggi atau rendah. Tanpa memeriksa
berapa persen gabah yang kopong. Petani sangat senang dengan cara ini: langsung
bisa mendapat uang saat itu juga.
Tentu petani tidak
mungkin menunggu Bulog. Bisa-bisa seperti menunggu datangnya pesawat Adam Air
yang pergi entah ke mana. Apa lagi dalam panen raya serentak seperti sekarang
ini. Jutaan petani ingin dapat uang sekarang juga.
Tahun ini,
kelihatannya, panen raya akan maksimal. Di samping harga gabah sangat baik,
panennya sangat berhasil. Tidak banyak hama dan tidak banyak bencana banjir.
Insya-Allah. Kita doakan keadaan seperti ini tetap berlangsung setidaknya
sampai musim panen selesai bulan depan. Tentu kalau bisa juga seterusnya.
Setelah beberapa tahun panen banyak terganggu, tahun ini petani benar-benar
akan bisa menikmati hasil sawahnya.
Pak Marto Paimin,
petani dusun Karang Rejo, desa Bener, Sragen, yang tahun ini menggarap sawah
0,7 ha, memperkirakan akan mendapat hasil (sekali panen) sekitar Rp5 juta.
Gabah yang sedang dia tumpuk di ruang tamu rumahnya itu, kira-kira akan
bernilai Rp13 juta. Sedang biaya menggarap sawahnya, termasuk benih dan pupuk,
menghabiskan maksimal Rp8 juta.
Malam itu saya tidur
dan ngobrol dengan asyiknya di rumah Pak Paimin. Sarapan oseng-oseng daun
pepaya dengan tempe goreng secara lesehan di lantai sebelah tumpukan gabah,
benar-benar mengingatkan masa kecil saya. Lantai rumah itu yang masih berupa
tanah dan dinding-dindingnya yang terbuat dari kayu, membuat udara malam itu
cukup sejuk.
Tapi mengapa gabah
Pak Paimin masih ditumpuk? Tidak segera dijual? “Tunggu harga naik bulan depan,
Pak,” kata Pak Paimin. “Bulan depan harga akan lebih baik. Bisa mendapat
tambahan kira-kira Rp400.000,” tambah Supomo, anak bungsunya yang kini hampir
selesai membangun rumah gedung persis di depan rumah bapaknya itu.
Memang dia memiliki
pinjaman pupuk dan benih dari BUMN PT Petrokimia Gresik. Tapi masih ada waktu
satu bulan lagi sebelum jatuh tempo. “Meski pun namanya yarnen (bayar di saat
panen), kami memberi kelonggaran satu bulan,” ujar Arifin Tasrif, Dirut PT
Pupuk Sriwijaya Holding.
Presiden SBY memang
memerintahkan tiga BUMN, (Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk
Kaltim/Sriwijaya/Petrokimia) untuk habis-habisan membantu petani meningkatkan
produksi beras. Sawah-sawah yang hanya bisa memproduksi padi 5,1 ton/ha harus
meningkat menjadi di atas 7 ton/ha. Rendahnya produktivitas itu kadang karena
petani tidak punya uang untuk membeli benih unggul. Atau tidak punya uang untuk
membeli pupuk tepat pada waktunya. Pemupukan yang tidak tepat waktu membuat
pupuk tidak efektif. Itulah sebabnya tiga BUMN tersebut ikut terjun ke petani
langsung.
Bisa saja, kelak,
sistem yarnen itu diganti dengan yarbah. Dibayar dengan gabah. Lalu tiga BUMN
tersebut menyerahkan gabahnya kepada BUMN Perum Bulog. Dengan demikian Bulog
tidak perlu bersaing dengan tengkulak di lapangan. Bulog juga tidak perlu
terlalu banyak membeli gabah/beras dari pedagang. Sistem yarbah itu lagi
dimatangkan setelah belajar banyak dari panen raya tahun ini.
Kalau dari sistem
yarbah itu belum cukup, BUMN masih punya dua program besar lain di bidang
pangan: pencetakan sawah baru 100.000 ha di Kaltim dan gerakan ProBesar. Hasil
dari dua-duanya bisa juga langsung dikirim ke Bulog.
Program ProBeras
adalah program kerjasama BUMN dengan petani yang tidak mampu menggarap sawahnya
secara maksimal. Misalnya petani tersebut punya sawah tapi tidak punya tenaga.
Anak-anaknya tidak ada lagi yang di desa. Tidak seperti Pak Paimin yang ketiga
anaknya tetap jadi petani semua.
Sawah-sawah yang
seperti itu biasanya dikerjakan secara apa adanya. Akibatnya produktivitas per
hektarnya rendah. Untuk itu BUMN bersedia menerima sawah tersebut. BUMN-lah
yang mengerjakannya dengan sistem korporasi. BUMN punya benih unggul, punya
pupuk komplit, punya mesin-mesin pertanian, punya tenaga ahli dan punya dana.
BUMN akan menjadikan sawah-sawah seperti itu sawah dengan produktivitas yang maksimal.
Dengan menangani
program Yarnen, ProBesar, dan Sawah Baru, BUMN kelak akan menggabungkan diri ke
dalam satu BUMN pangan yang kuat. Mudah-mudahan bisa membantu mengatasi
persoalan pangan terutama beras. Rapat-rapat di Menko Perekonomian yang dipimpin
Hatta Rajasa terus memonitor program ini.
Memang tetap ada
pertanyaan besar: Kalau saja harga gabah tetap baik dan para tengkulak tetap
agresif seperti sekarang, masih perlukah Bulog? Dari berbagai kunjungan saya ke
daerah pertanian (Bantul, Gunung Kidul, Sragen, dan Jombang) saya melihat peran
tengkulak sangat besar. Juga sangat luas. Penetrasinya juga sangat dalam.
Hampir-hampir terasa ada atau tidak adanya Bulog tidak ada bedanya.
Di desa yang saya
kunjungi di Sragen itu misalnya, tengkulak tidak hanya agresif membeli gabah,
tapi sudah sampai menebas padi ketika masih di sawah. Petani tidak perlu
susah-susah memanen, merontokkan, dan mengeringkan. Tengkulak-penebas langsung
membeinya ketika masih dalam bentuk padi menguning yang berdiri di sawah.
Harga beras yang
dinilai tinggi oleh konsumen ternyata dinilai baik oleh petani. Demikian juga
harga beras internasional yang tinggi menimbulkan peluang bagi pedagang untuk
menjadikan gabah sebagai barang dagangan. Tentu tidak hanya itu alasan petani
untuk cenderung menebaskan saja padinya yang masih menguning di sawah. Sulitnya
mencari tenaga untuk memanen dan merontokkan gabah ikut jadi alasan. Sulitnya
mencari lahan hamparan untuk menjemur padi menambah-nambah alasan tesrebut.
Peralatan pertanian
itu begitu mendesaknya sekarang ini. Di Bantul saya menerima permintaan
perlunya diberikan alat pemanen, perontok, dan pengering gabah. Di Jombang saya
menerima permintaan agar ada program pembuatan hamparan penjemuran gabah. Mesin
perontok dan pengering yang mulai diintrodusir tahun-tahun terakhir ini dinilai
tidak cocok karena berbahan bakar minyak. Terlalu mahal biaya operasionalnya.
Ada memang mesin perontok mekanik yang diputar oleh orang seperti naik sepeda
statis, tapi petani maunya yang tinggal pijit tombol.
Dalam berbagai
kesempatan dialog di lingkungan perguruan tinggi soal ini saya kemukakan. Perlu
diciptakan mesin-mesin pertanian sederhana yang cocok untuk petani kita.
Sewaktu dialog dengan alumni Fakultas Teknik Unibraw Malang di Jakarta bulan
lalu saya tawarkan peluang besar ini. Demikian juga waktu dialog dengan
mahasiswa ITB Bandung.
Di Bantul saya sudah
mencoba panen dengan menggunakan mesin yang bentuknya mirip traktor. Hanya
dalam dua jam bisa memanen padi satu hektar. Enak sekali dan cepat sekali. Padi
pun otomatis masuk di kendaraan itu dan keluar di bagian belakangnya sudah
dalam keadaan terpisah antara batang dan gabahnya. Dengan cara ini hampir tidak
ada gabah yang tercecer. Beda sekali dengan masa remaja saya di desa ketika
harus jadi buruh pemanen dengan menggunakan ani-ani.
Meski mesin ini masih
terlalu mahal, rasanya mau tidak mau kita harus menuju ke arah sini. Tenaga
untuk memanen dan merontok benar-benar sulit sekarang ini. Apalagi lima tahun
ke depan.
Dengan demikian ke
depan yang diperlukan tinggal “kendaraan panen” ini dan lahan penjemuran. Di
Jombang diusulkan agar tanah desa diubah menjadi lahan penjemuran bersama. Di
saat musim panen, hamparan itu untuk menjemur gabah. Di luar itu bisa untuk
tempat bermain anak-anak. Kecuali bisa ditemukan mesin penjemur yang tidak
berbahan bakar minyak. Misalnya mesin yang memanfaatkan panas matahari.
Di perkebunan karet
BUMN PTPN IX Jateng sudah dicoba pengeringan karet dengan tenaga matahari.
Investasinya memadai karena digunakan sepanjang tahun. Saya sudah minta
bagaimana mungkin proses itu disempurnakan untuk gabah. Memang perhitungan
investasinya lebih sulit. Pengering gabah hanya akan dipakai maksimal tiga kali
setahun. Yakni di saat musim panen saja.
Intinya: masih banyak
yang harus kita perbuat untuk puluhan juta petani kita. Terutama pada masa
transisi seperti ini. Transisi dari cara lama ke cara baru. Transisi yang tidak
bisa dihindari karena kian sulitnya tenaga kerja di sektor pertanian. Transisi
dari cara-cara lama ke cara baru yang mereka anggap lebih mudah. Transisi dari
berlama-lama uro-uro di sawah ke cepat-cepat pulang nonton sinetron.
Kalau pun belakangan
ini saya banyak pergi ke sawah tidak lain untuk memberikan dukungan pada empat
BUMN tersebut. Mumpung lagi panen raya. Apakah benar produktivitas sudah
meningkat. Apakah benar problem pasca panennya bisa diatasi. Apakah benar Bulog
masih diperlukan kalau menakisme pasar sudah sempurna.
Bagi yang menganggap
saya melakukan pencitraan sesekali boleh juga ikut ke sawah. Kita bisa, he he,
mencitrakan diri bersama-sama. Akhir musim panen ini, akan diadakan evaluasi di
BUMN. Dengan ikut terjun ke sawah saya bisa ikut diskusi tidak hanya berpegang
pada data di atas kertas.
Tahun ini beban Bulog
sangat berat. Harus mengadakan beras dari petani 4 juta ton. Padahal tahun lalu
hanya mampu 1,7 juta ton. Impor memang tidak harus dipersoalkan, tapi impor
beras 1,8 juta tahun lalu, apakah harus terus-menerus begitu? []
*Dahlan Iskan, Menneg
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar