Siapakah Mahram itu?
Suatu hal yang wajar apabila setiap manusia
mempunyai keinginan agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, termasuk
didalamnya kebutuhan biologis (seks). Namun bukan berarti dengan dalih untuk
memenuhi kebutuhan hidup kemudian segala hal ditempuh tanpa memperhatikan
aturan-aturan serta hukum yang terdapat dalam agama atau lainnya.Pemenuhan
kebutuhan biologis dengan melalui zina bagaimanapun adalah perbuatan yang
dilarang dan sangat dikutuk oleh agama,baik dia dilakukan dengan suka sama suka
atau dengan pemaksaan (pemerkosaan). Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas:
وَلاَ
تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلًا
Artinya: ”Dan janganlah kamu mendekati zina
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk” (QS. Al-Isra’: 32)
Agama islam sebenarnya telah mengatur serta
menyediakan jalan untuk menyalurkan hasrat kebutuhan biologis yang aman serta
diridhai oleh Allah, yaitu dengan melalui pernikahan.
Pernikahan adalahsebuah akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara kedua belah pihak menurut syariat.
Lebih dari itu pernikahan merupakan sunnah
Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi
oleh sunah Rasul tersebut.
Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk dilakukan pernikahan, di antaranya ada mempelai laki-laki dan perempuanyang bukan mahram, ada akad yang dilakukan sendiri oleh wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada mahar (maskawin).
Lantas siapakah perempuan mahram itu? Mahram
adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman
dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya)
dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu).
Hurmah mu’abbadah terjadi dengan beberapa
sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah) dan susuan.
Perempuan yang haram dinikahi karena di sebabkan hubungan kekerabatan ada 7
(tujuh), ibu, anak permpuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara
laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi
dari ayah, dan yang terahir bibi dari ibu. Dalam Al-Quran disebutkan:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui
kamu, saudara perempuan seper susuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya, (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua permpuan bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)
Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki. Dan
bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah, anak
laki-laki, saudara laki-laki dan seterusnya.
Selanjutnya, perempuanyang haram dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri).
Kemudian yang haram dinikahi sebab persusuan
ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak
perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan,
bibi susuan (saudarah susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak perempuan
susuan (yang menyusu pada istri).
Apabila pernikahan dengan perempuan yang
menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan apabila
tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan
yang lebih berat. []
Sumber:
KH. M. A. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika
Umat, Penerbit Khalista Surabaya dan LTN PBNU, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar