Senin, 09 April 2012

(Ngaji of the Day) Fiqih yang Kondisional


Fiqih yang Kondisional



Agama islam berfungsi sebagai rahmat untuk alam semesta. Ajaran-ajarannya tidak sulit dan mudah (‘adamul kharail yusr), baik hal pemahamannya maupun pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Allah Swt. tidak membebani manusia dengan perintah-perintah dan larangan yang berada di luar batas kemanusiaan.Disamping itu agama Islam memiliki dua watak dan sifat yang kontradiktif, di satu pihak ia tetap dan permanen (ats-Tsabat waal-khulud), tetapi pada sisi lain sekaligus berkarakter dapat berkembang dan berubah (at-tathawwur) sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi tempat ajaran serta hukum itu siterapkan.



Adanya aspek-aspek hukum yang berubah dan berkembang menjadikannya senantiasa elastis dan fleksibel. Kedua karekter inilah yang menyebabkan Islam bisa bertahan sepanjang masa serta berkemampuan memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan umat manusia yang cendrung semakin kompleks.



Kemudahan dan elastisitas hukum Islam dapat kita lihat umpanya dengan adanya kaidah fiqih yang sangat populer ”al-masyaaqqatu tajilibut taisir”, artinya, kesulitan menarik timbulnya kemudahan. Kaidah tersabut digali dan di formulasikan para Fuqoha dari beberapa ayat dan hadis. Di antanya firman Allah Swt. Dalam surat Al-Baqarah ayat 185 berikut ini:



يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر



Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tiada menghendaki kesulitan” (QS. Al-Baqarah: 185)



Dalam satu hadis, beliau bersabda:



يسروا ولاتعسروا



Artinya: “Permudahlah, dan jangan kalian mempersulit” (HR. Bukhari)



Beliau menyuruh memilih antara dua perkara, yakni memilih lebih mudah. Kemudian yang timbul karena kesulitan dan kesukaran dalam penerapan hukum mengejawentah bentuk keringanan-karinganan (takhfif) dan dispensasasi-dispensi (rukhsah).



Faktor atau sebab-sebab yang bisa menimbulkan dipensasi, dan biasa disebut asbab at-atkhfif, ada tujuh yakni: as-safar (bepergian), almaradh (sakit), al-ikrah (dipaksa), an-nisyan (lupa), al-jahl (ketidaktahuan atau ketidak sengajaan), al-usr wa umumul balwa (sulit dihindari), an-naqsh (kurang sempurna).



Sebagai contoh, dalam keadaan normal dan sehat serta tidak bepergian seorang diwajibkan menunaikan shalat jumat. Tetapi jika sedang sakit atau dalam perjalanan dia diperbolehkan meninggalkan shalat jumat tersebut dan mengganti dengan shalat Zhuhur.



Contoh lain,jika ada seseorang dengan sengaja minum-minuman yang memabukkan apaun jenisnya, wajib dikenakan hukuman had, dicambuk 40 (empat puluh) kali. Ia juga berdosa karena telah melakukan perbuatan yang termasuk kategori dosa besar (al-kabair). Lain lagi kalau seseorang tidak tahu yang diminum itu memabukkan, dia mengira air putih atau sirup umpanya, maka dia tidak berdosa dan terbebas dari ancaman hukuman (had).



Contoh terakhir diterangkan Imam Suyuti dalam kitabnya yang mengupas tentang kaidah-kaidah fiqih yang diberi nama Al-Asybah wan Nazhair. Yaitu memakan makanan yang diharamkan tanpa disengaja yang timbul karena ketidak-tahuan (al-jahl).



Karena ketidaktahuan dan ketidaksengajaan, maka yang memakannya tidak terkena hukuman dosa. Kesalahan semacam itu tidak mengurangi kualitas iman dan ketaqwaan seseorang. Hanya kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaranlah yang mengakibatkan dosa dan barbagai konsekuensi negatifnya.



Manusia bagaimanapun pintar dan hebatnya, tidak mungkin terbebas sama sekali dari kesalahan yang terjadi karena lupa, ketidaktauhan dan ketidak sengajaan, meski dia telah berusaha secermat dan seteliti mungkin. Lupa dan salah tampaknya inheren dengan diri manusia. Bukankah Rasulullah Saw. Pernah bersabda:


Artinya: “Manusia itu tempatnya salah dan lupa”



Namun hal itu bukan berarti melegitimasi kesalahan dan bukan pula manusia itu selalu salah. Beliau hanya berpesan, manusia punya potensi melakukan kesalahan dan tidak bisa terbebas darinya. Manusia tempatnya lupa tidak berarti dia tidak punya daya ingat.



Hal itu jelas berlawanan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Sering kita jumpai orang yang mampu menghafal berbagai buku yang berisi teori-teori ilmu pengetahuan. Menurut ahli psikologi, manusia mampu menghafal milyaran kata. Diantara ulama terdahulu, kita mengenal umpanya Imam Syafi’i yang menghafal dan coretan pelajaran yang di peroleh dari para gurunya, gara-gara kamarnya sudah tidak muat lagi. Juga Imam Ibn Taimiyah yang konon hafal semua hadis sehingga kalau ada hadis yang tidak diketahuinya, perlu dipertimbangkan keasliannya.



Hadis terebut hanya bermaksud memberitahukan bahwa manusia berpotensi untuk lupa karena proses ketuaan, terlalu banyaknya informasi, atau kesibukan-kesibukan yang mengakibatkannya tidak dapat berkonsentrasi penuh. Oleh karena itu Rasulullah Saw. Bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya Allah mengampuni (dosa atau kesalahan) umatku yang timbul karena tiga hal: ketidak sengajaan (al-khatha’), lupa dan keterpaksaan.”



Hadis tersebut menegaskan bahwasanya ampunan diberikan atas kesalahan-kesalahan yang tidak sengaja, lupa dan terpaksa. Sebab hal itu diluar batas kemampuan manusia.


Berpijak dari potensi salah dan lupa manusia, dalam Al-Quran Allah Swt. Memerintahkan untuk bermusyawarah, saling berwasiat, saling mengingatkan dengan jalan amarma’ruf nahi munkar. Semua itu meski tidak memustahilkan terjadinya kesalahan, paling tidak meminimalisir sekecil mungkin, disamping tentunya kehati-hatian, kecermatan dan ketelitian, serta menjadikan peristiwa yang lampau sebagai wahana berikhtiar. Orang Islam tidak boleh jatuh kelubang yang sama utuk kali yang kedua. []



Sumber:

KH. M. A. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, Penerbit Khalista Surabaya dan LTN PBNU, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar