Jadi Umat Beragama yang Baik
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Rasanya seperti bermimpi. Di negara yang memiliki semboyan yang
indah Bhinneka Tunggal Ika, masih juga kita melihat tragedi kemanusiaan. Hati
kita semua menangis mendengar kabar bahwa Intan Olivia Banjarnahor, kanak-kanak
berusia belum genap tiga tahun itu, mengembuskan napas terakhir akibat, maaf,
barangkali telah dijadikan "tumbal" oleh mereka yang mendeklarasikan
diri berjihad dan merindukan surga.
Intan menjadi korban dari bom molotov di Gereja Oikumene,
Samarinda, yang dilemparkan secara sengaja oleh Jo, yang belakangan diketahui
masuk dalam jejaring kelompok Pepi Fernando. Setelah kejadian itu, Kompas
(15/11) juga melaporkan bahwa terjadi pelemparan bom molotov di Wihara Budi
Dharma Singkawang, Kalimantan Barat. Kesedihan yang teramat mendalam. Berulang
kali kita harus memeriksa diri kita sendiri, sedemikian kejinya kita? Sebegitu
kejinyakah umat beragama?
KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menulis buku konteplatif
bertajuk Saleh Sosial Saleh Ritual. Dalam buku tersebut, Gus Mus, dengan sangat
kontemplatif atau bahkan intuitif menyindir dengan sangat halus dan menusuk
perilaku beragama kita yang sering kali masih sangat kekanak-kanakan-untuk
menghindari kata ingusan.
Kita masih primitif dan ndeso dalam beragama. Cenderung tekstualis
dan konservatif. Melihat orang yang berbeda adalah melihat musuh: yang harus
diperangi, yang harus dilawan, yang harus dibinasakan, yang harus diberangus,
yang harus dimusnahkan, bahkan jika perlu tanpa sisa sama sekali.
Buku tersebut dianggit pada tahun 1990-an dan kenyataannya hari
ini masih relevan dengan keadaan pola keberagamaan kita. Tulisan atau renungan
Gus Mus-kah yang melampaui zaman hingga menembus dimensi ruang dan waktu
ataukah kita memang tak kunjung beranjak dan mendewasa?
Tampaknya pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagamaan
kita. Kita sampai hari ini masih belum bisa menjadi umat yang dewasa. Umat yang
bisa menghargai perbedaan umat yang menjadikan perbedaan sebagai bahan baku
persatuan: unity in diversity. Umat yang, pada tingkat adiluhung, menjadikan
perbedaan sebagai rahmat.
Untuk sebaris pertanyaan bukankah Islam adalah agama yang rahmatan
lil alamin? Realitasnya tidak bisa kita jawab dengan tegas. Secara teoretis
jawaban itu mudah. Kredo agama Islam memang rahmatan lil alamin. Namun, jika
kita pindahkan kredo tersebut ke dalam praksis kehidupan sehari-hari, dengan
sangat berat hati kita harus mengatakan bahwa perilaku kita belum mencerminkan
profil yang kehadirannya mengasihi sesama.
Surau yang roboh
AA Navis dalam Robohnya Surau Kami menyindir dengan cerdas bahwa
kondisi keberagamaan masyarakat kita memang sangat primitif. Seprimitif Haji
Soleh, tokoh utama dalam cerita tersebut yang memiliki pemahaman bahwa yang
penting dalam hidup manusia adalah kesalehan ritual. Jenis kesalehan yang
takarannya bersandar kepada seberapa taat hamba dalam menjalankan shalat lima
waktu, puasa, zakat, seberapa panjang zikir-zikir sesudah shalat, dan seberapa
intens shalat-shalat sunat ia kerjakan.
Dalam pandangan Haji Soleh, kesalehan itu ditentukan oleh urusan
legal-formal ritualistik. Orang dikatakan beragama dengan baik jika shalat,
zikir, puasa, atau bahkan ibadah hajinya berkali-kali. Cara pandang yang dalam
hemat saya bersifat sangat kuantitatif. Agama dihadirkan sebagai sebuah entitas
yang kalkulatif dan itung-itungan. Pemahaman seperti ini tentu saja pemahaman
yang hitam putih. Pendekatannya selalu transaksional. Kita menyetorkan apa
kepada Tuhan, maka Tuhan akan membalas dengan setimpal. Demikian gambaran
umumnya pendekatan seperti ini.
Pada alas yang paling mengkhawatirkan, kelak cara pandang beragama
seperti ini akan melahirkan sebuah pemahaman yang keliru: ritus ibadah
dijadikan sebagai ukuran atau output dalam menilai tingkat serta kualitas
kesalehan seseorang.
Orang dikatakan saleh jika ia selalu berdiam dan sepanjang hari
berada di masjid meskipun pada saat bersamaan di lingkungannya sedang ada kerja
bakti sosial membersihkan selokan. Orang dikategorikan Muslim yang taat ketika
shalatnya tidak pernah berlubang. Bahkan, pada tingkat yang paling konyol,
bawah sadar masyarakat kita pelan-pelan masuk ke dalam lubang pemahaman bahwa
tanda purnanya kemusliman seseorang terletak pada seberapa hitam jidatnya. Ini
persoalan yang rumit dalam hemat saya.
Pada titik ini, saya ingin mengatakan bahwa akar radikalisme,
eksklusivisme, menolak liyan, dan terorisme berpangkal dari pandangan beragama
yang sebagaimana saya sebutkan di atas yang tidak kunjung beranjaknya dari
kesalehan ritual. Dari sini sesungguhnya kemudian hari lahir
pemahaman-pemahaman keliru lainnya: jihad, kafir, toghut, dan lain sebagainya.
Dan itu semua bermula dari cita-cita paripurna: menjadi Muslim yang baik.
Redefinisi kebaikan
Mengutip pandangan Taman Hassan (2008) dalam Al Quran setidaknya
memuat lima istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai
kebaikan. istilah tersebut antara lain: al-khoir, al-ma'ruf, al-birr, al-ihsan,
dan as-sholeh. Kelima kata atau istilah tersebut semuanya diterjemahkan sebagai
kebaikan dalam bahasa Indonesia. Padahal, pada tingkat aplikatif, masing-masing
di antara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.
Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, Cak Nun (2011), al-khoir
adalah kebaikan yang murni dari Allah. Al-ma'ruf: kebaikan dalam wilayah
sosial. Al-birr: kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik.
Al-ihsan: kebaikan yang sesungguhnya bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita
bersedia untuk melakukannya. As-sholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua
aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.
Pada konteks kehidupan sosial beragama pada masyarakat
majemuk seperti Indonesia saat ini yang kita butuhkan adalah transformasi dari
kebaikan al-khoir, al-ma'ruf, al-birr menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh.
Kebaikan yang bersifat individual menjadi kebaikan yang sosial.
Nabi Muhammad SAW pernah memberi contoh yang baik ketika
terjadi peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Pasukan Muslim yang
berhasil mengalahkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi tidak
disakiti. Nabi justru membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang dilakukan
Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan,
padahal tidak ada tuntutan dan kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Di lain waktu, Rasulullah juga memberi contoh bahwa umat
Islam harus menghargai kemajemukan dan pluralitas sebagaimana yang dipraktikkan
ketika mencetuskan piagam Madinah. Piagam Madinah, sebagaimana dikatakan Robert
N Bellah adalah konsensus tertua, kontrak sosial paling purba yang sangat
modern. Piagam kesepakatan yang tidak mungkin dihasilkan jika antara umat satu
dan umat lain tidak sama-sama bersemangat untuk membangun kebaikan. Muslim yang
baik adalah Muslim menjadikan segala ritus ibadahnya sebagai bahan bakar yang
diwujudkan dalam bentuk kebaikan sosialnya.
Alakullihal, dan untuk Intan, tidurlah, tidurlah di sana. Kami
akan selalu bersamamu. []
KOMPAS, 19 November 2016
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar