Menimbang
Cagub-Cawagub DKI
Oleh:
Komaruddin Hidayat
WARGA
Jakarta pantas merasa beruntung memiliki calon gubernur (cagub)-calon wakil
gubernur (cawagub) yang masih muda, energik, dan cerdas. Semuanya berkualitas
dan memiliki komitmen untuk membuat Jakarta, ibu kota negara, bebas dari
banjir, macet, kumuh, dan memberikan layanan birokrasi yang baik.
Dalam pandangan masyarakat, antara sesama calon terjalin komunikasi yang baik. Hal itu sangat dimungkinkan karena semuanya figur basis pendidikannya bagus serta berpengalaman sebagai aktivis sosial.
Mereka bukan anak kandung ideologis yang senang berkonflik. Mereka menaiki jenjang karier sosial dan politik bukan hasil karbitan, tetapi karena ditopang oleh kekuatan pribadinya dan semangat untuk berprestasi mengabdi pada bangsa.
Saya kira, siapapun pemenangnya mereka adalah putra terbaik bangsa yang mesti didukung untuk memajukan Jakarta. Masyarakat tentu lebih senang melihat cagub-cawagub yang rukun saling canda, dibanding melihat para elite politik terkesan tidak rukun dan tidak kompak.
Yang cukup mengganggu dan membuat justru lelah masyarakat adalah munculnya serangkaian demonstrasi tertuju pada Ahok gara-gara penyebutan Surat Al-Maidah. Di luar proses hukum yang tengah ditangani oleh polisi, saya cukup khawatir jika demo dan kemarahan umat itu tidak terkendali sehingga berpotensi menciptakan keresahan dan kerusuhan sosial.
Jika ancaman itu benar terjadi tentu sangat merugikan bangsa yang tengah merangkak membangun di tengah kelesuan ekonomi global saat ini. Sekali konflik vertikal dan horizontal meledak, akan sulit diredam. Ongkos sosial politiknya amat mahal.
Kondisi Timur Tengah merupakan contoh nyata. Peradaban yang dibangun ratusan tahun hancur hanya dalam hitungan bulan dan tahun oleh perang saudara. Tak terbayang, berapa lama dibutuhkan waktu untuk membangun kembali. Itu pun kalau bisa.
Dalam situasi demikian, peran aktif tokoh-tokoh pers, televisi, ulama, cendekiawan sangat diharapkan ikut serta menciptakan kedamaian dan edukasi sosial. Bahwa berbeda pendapat dan demonstrasi itu hal yang lumrah saja di alam demokrasi, asal terkendali dan tidak destruktif.
Di sini tugas polisi memang cukup berat. Polisi tengah diuji untuk menegakkan hukum dan menjaga tertib sosial. Sebaiknya pers ikut menyejukkan suasana, jangan malah jualan sensasi dan memanaskan situasi. Masyarakat pun perlu bersikap kritis terhadap berbagai berita yang datang setiap saat.
Banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara berita valid dan hoax. Sedemikian bebasnya orang melemparkan hoax yang hanya akan menambah sampah di dunia maya. Ironisnya, masyarakat ada yang doyan sekali dengan hoax demi sensasional.
Dalam
sebuah kompetisi pilkada, sekalipun masing-masing kontestan menyatakan siap
menang dan siap kalah, tapi pasti semuanya menargetkan untuk menang. Terlebih
mereka yang sudah mengeluarkan biaya besar, pasti harapan untuk menang juga
besar. Kompetisi menjadi lebih seru dan bisa memanas ketika unsur emosi dan
ideologi primordialisme, yakni etnis dan agama ikut terlibat.
Orang mendukung calon tidak saja berdasarkan pertimbangan rasional, tetapi juga ideologis emosional. Di sini tugas polisi, KPU, Bawaslu dan peran serta ulama serta cendekiawan tengah diuji. Bisakah mengawal pilkada dengan damai dan berkualitas?
Saya percaya bahwa semua cagub-cawagub mendambakan terselenggaranya pilkada yang damai dan berkualitas. Sebelum pilkada berlangsung, para calon itu secara moral sudah menjadi pemenang. Terlebih lagi jika mereka tampil secara cerdas, santun dan elegan, maka semuanya akan dikenang sebagai politisi-negarawan yang telah melakukan edukasi politik pada rakyat, terlepas siapa yang nantinya akan jadi pemenang.
Satu catatan kecil namun amat penting adalah, parpol dan pemerintah selama ini kurang memberikan apresiasi pada panitia penyelenggara yang juga selaku wasit. Coba perhatikan acara pertandingan sepak bola atau tennis berkelas internasional, wasit akan mendapat apresiasi terlebih dahulu sebelum penghargaan terhadap pemenangnya. Wasit itu disegani oleh pemain dan penonton.
Di sini wasit sering jadi sasaran amuk suporter yang jagonya kalah. Dan dilupakan oleh pemenangnya. Begitu pun dalam pilkada dan pemilu. KPU dan Bawaslu berjasa besar untuk mengantarkan pemenangnya. Ironisnya, setelah menang malah terjadi beberapa anggota KPU masuk penjara. Sungguh ironis, menyakitkan. []
Koran
SINDO, 28 Oktober 2016
Komaruddin
Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar