Trump dan
Timur Tengah
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Kemenangan
Donald Trump sebagai presiden ke-45 AS tidak hanya mengubah peta politik di
dalam negeri AS, tetapi juga akan membawa perubahan besar di Timur Tengah.
Kini, tak
mudah bagi publik Timteng menerka kira-kira seperti apa kebijakan politik di
Timteng. Di satu sisi, Trump dalam kampanyenya berjanji fokus pada kebijakan
dalam negeri untuk memulihkan ekonomi. Namun di sisi lain, masih banyak
persoalan politik di Timteng yang perlu keterlibatan AS.
Beberapa
agenda yang akan mendapat perhatian Trump ialah Palestina, Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS), serta Iran. Jika tak hati-hati dalam memecahkan
masalah-masalah itu, bukan tak mungkin akan jadi bencana politik bagi AS,
seperti dilakukan pendahulunya dari Partai Republik, George W Bush.
Beberapa
hari menjelang pilpres AS, menurut Robin Wright di The New Yorker, ada sembilan
negara di Timteng yang disurvei perihal pilihan mereka terhadap presiden AS.
Antara lain: Aljazair, Mesir, Irak, Maroko, Palestina, Tunisia, Arab Saudi,
Jordania dan Kuwait. Sekitar 66 persen memilih Hillary Clinton dan hanya 11
persen memilih Trump. Pilihan terhadap Trump paling rendah di Mesir dan
Palestina.
Rendahnya
pilihan warga Arab terhadap Trump berbanding terbalik dengan sikap rezim yang
berkuasa di Timteng. Trump justru mendapatkan respons positif dari sejumlah
rezim, khususnya Mesir dan Arab Saudi.
Presiden
Mesir Abdel Fatah El-Sisi merupakan pemimpin Timteng yang pertama kali
menelepon dan mengucapkan selamat langsung kepada Trump. Sikap El-Sisi ini
didasari pada fakta bahwa Trump dianggap lebih menguntungkan daripada Hillary.
Trump lebih condong pada stabilitas politik daripada demokrasi dan hak asasi
manusia.
Dalam
sebuah pertemuan antara Trump dan El-Sisi di AS saat masa kampanye, keduanya
terlihat punya chemistry dan visi yang sama soal pentingnya stabilitas politik
di Timteng.
Selain
Mesir, Arab Saudi juga menyambut positif kemenangan Trump. Menlu Adel al-Jubeir
dalam akun Twitter-nya langsung mengucapkan selamat atas kemenangan Trump dan
berharap dapat memperkuat hubungan bilateral kedua negara. Sikap Arab Saudi
dapat dimaklumi karena mereka sangat kecewa terhadap Obama yang melakukan
normalisasi hubungan AS-Iran dalam kesepakatan nuklir.
Palestina
Isu
paling krusial yang akan banyak mendapatkan perhatian warga Timteng pada
kepemimpinan Trump adalah Palestina. Pasalnya, Trump telah mengambil sikap
memihak kepada Israel terkait konflik menyejarah Israel-Palestina. Pada masa
kampanye pilpres, Trump berjanji akan menegaskan Jerusalem sebagai ibu kota
Israel. Ia juga berjanji mengakhiri perundingan solusi dua negara hidup
berdampingan dengan damai (two states solution). Bahkan, Trump akan mendukung
pendudukan Israel di Tepi Barat dan pembangunan pemukiman baru di Jerusalem
Timur, yang wilayah Palestina.
Maka dari
itu, kemenangan Trump merupakan kekalahan Palestina. Cita-cita mewujudkan
kemerdekaan dan kedaulatan Palestina akan semakin sulit, bahkan hampir
dipastikan mengalami kegagalan. Padahal negara-negara Eropa sedang berusaha
mendorong kemerdekaan Palestina. Tanpa dukungan AS, upaya ini akan gagal.
Indonesia juga dua tahun terakhir sangat aktif mendorong kemerdekaan Palestina.
Sikap
Trump ini bukan tanpa risiko. Langkah berada di pihak Israel akan membawa
konsekuensi tidak sederhana. Langkah ini akan membangunkan macan tidur,
khususnya faksi Hamas yang keras terhadap Israel.
Pelajaran
masa lalu membuktikan, sikap ekstrem Trump terhadap Palestina akan menjadikan
Hamas sebagai idola politik warga Palestina. Artinya, jika digelar pemilu di
Palestina, Hamas akan mendapatkan dukungan politik lebih besar, karena sikap
Hamas yang menentang keras Israel akan mendapatkan dan akan menemukan
momentumnya, bahwa AS dan Israel merupakan penghalang bagi kemerdekaan
Palestina. Tak hanya itu, isu Palestina tak hanya berdampak bagi instabilitas
politik di dalam negeri Palestina, tetapi juga pada ranah global. Kelompok
ekstrem seperti NIIS dan Al Qaeda akan mendapatkan amunisi untuk melawan AS dan
sekutu-sekutunya karena mereka sebagai biang keladi penindasan global.
NIIS
Kedua,
NIIS. Tak bisa dimungkiri, NIIS kelompok yang sangat bergembira menyambut
kemenangan Trump. Janji Trump yang hendak melarang Muslim masuk ke AS hanya
akan menjadi bensin yang dapat mengobarkan ideologi ekstremis NIIS. Bahkan NIIS
mengancam AS jika Trump bersikukuh memberlakukan orang Muslim di AS secara
diskriminatif, pembalasan NIIS akan jauh lebih keras.
Di
samping itu, Trump dalam kampanye berjanji membumihanguskan NIIS. Obama relatif
keras terhadap NIIS, tetapi Trump yang didukung kubu konservatif AS akan jauh
lebih besar mengerahkan kekuatan militer untuk melawan NIIS. Langkah tersebut
juga tak selamanya positif.
Sikap
keras yang dilakukan Trump terhadap NIIS tak akan jadi jaminan NIIS akan sirna
di muka bumi. Bahkan jika tak hati-hati, sikap Trump yang akan mengerahkan
kekuatan militer terhadap NIIS akan membesarkan NIIS. Mereka yang selama ini
mulai kecewa pada NIIS akan terkonsolidasi, karena AS musuh bersama kelompok
ekstremis. NIIS akan dengan mudah membuat narasi ”melawan AS”.
Maka dari
itu, NIIS meyakini Trump merupakan akhir dari kedigdayaan AS karena AS akan
jadi musuh bersama. AS akan mengalami deligitimasi moral karena sikapnya yang
menggunakan militer untuk menghabisi NIIS. Sikap AS terhadap Irak dan
Afganistan menjadi contoh, betapa kekuatan militer tak bisa menghancurkan
kelompok ekstremis. Alih-alih ingin menghancurkan mereka, justru membangun
mereka dari tidurnya.
Iran
Ketiga,
Iran. Kebijakan Trump terhadap Iran akan jadi babak baru yang menarik
perhatian. Pasalnya, Trump berencana meninjau kembali kesepakatan nuklir
AS-Iran. Obama memandang lebih baik menormalisasi hubungan dengan Iran yang
terus memburuk sejak 1979 dengan mengontrol dan membatasi pengembangan nuklir.
Namun, Trump justru menganggap kesepakatan itu ancaman bagi pengembangan nuklik
Iran. Karena itu, Trump berjanji membatalkan kesepakatan itu.
Sikap ini
akan mengubah wajah relasi AS-Iran ke depan. Selama ini, Iran bersama AS dan
Rusia bersama-sama menumpas NIIS. Obama meyakini tak mungkin melawan NIIS tanpa
melibatkan Iran. Maka dari itu, sikap keras Trump harus dibayar dengan sejauh
mana komitmen Iran dalam peran serta melawan NIIS.
Bahkan
yang lebih penting, sikap Trump bisa membangunkan kubu konservatif di Iran.
Sebab itu, kemenangan Trump disambut meriah kubu konservatif di Iran. Padahal
Iran akan menggelar pilpres Mei 2017. Sikap keras Trump atas Iran akan jadi
amunisi penting kaum konservatif untuk memiliki kebijakan serupa dengan Trump,
menentang keras AS dan menolak kesepakatan politik dengan AS.
Secara
umum, beberapa rencana kebijakan luar negeri Trump akan jadi angin segar bagi
kaum konservatif dan ekstremis Timteng. Trump harus mempertimbangkan beberapa
kebijakan terhadap Palestina, NIIS, dan Iran. Dampak mudaratnya jauh lebih
besar daripada manfaatnya. []
KOMPAS,
17 November 2016
Zuhairi
Misrawi | Ketua Moderate Muslim Society (MMS) dan Peneliti The Middle East
Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar