Rembuk
Nasional 2016
Oleh:
Budiarto Shambazy
Meskipun
persiapan minim, Rembuk Nasional 2016 terbilang sukses sebagai ajang public
hearing untuk menampung berbagai masukan untuk disampaikan kepada pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Semua masukan secara simbolis diserahkan kepada Menko
Polhukam Wiranto. Lebih dari 1.000 peserta menghadiri Rembuk Nasional 2016.
Partisipasi mereka dibagi tujuh ”ruang rembuk” yang mengategorikan
isu/persoalan penting yang dihadapi pemerintahan Jokowi-Kalla selama dua tahun
memerintah dan 2,5 tahun ke depan.
Tujuh
ruang rembuk itu berturut-turut ekonomi, bisnis, dan keuangan; politik, hukum,
pertahanan dan keamanan; kemaritiman dan sumber daya; pembangunan manusia dan
pendidikan vokasi; pariwisata dan pendidikan vokasi; periwisata dan industri
kreatif; infrastruktur, konektivitas dan lingkungan hidup; serta sosial,
budaya, kesehatan dan pencapaian daerah. Lebih dari 1.000 peserta terdiri dari
birokrat, aktivis, akademisi, pengusaha, relawan, bahkan warga biasa. Rata-rata
sekitar 200 peserta hadir di tiap ruang rembuk dan mungkin hanya sekitar 50-an
yang kebagian bicara selama 5-15 menit saja berhubung waktu rembuk cuma 3,5
jam.
Tentu
saja masih ada kekurangan di sana-sini dalam eksperimentasi dengan format
rembuk yang berskala besar ini. Namun, ajang ini sudah selayaknya dilanjutkan
setiap tahun dengan persiapan yang lebih matang lagi tanpa politicking yang
hanya menghabiskan energi.
Suka atau
tidak, ”politik adalah panglima”. Diskusi di Ruang Rembuk Politik, Hukum,
Pertahanan dan Keamanan berkisar pada penilaian prestasi rezim Jokowi-Kalla
yang memerintah ”baru” (bisa juga ”sudah”) dua tahun. Nyaris semua panelis,
peserta aktif, maupun peserta lain bersikap optimistis terhadap kinerja
pemerintah. Sikap optimistis itu didasari antara lain oleh keberanian
pemerintah mengintrodusir pengampunan pajak yang terbilang cukup berhasil untuk
membiayai pembangunan infrastruktur.
Dalam
kalimat pakar politik Mochtar Pabottingi, ”Pemerintahan Jokowi-Kalla
berprestasi karena membangun dari pinggiran”. Dua peristiwa mutakhir yang memperlihatkan
prestasi itu adalah harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua sama dengan di Jawa
dan kunjungan Jokowi ke wilayah perbatasan paling utara kita, Pulau Miangas.
Namun, di
lain pihak, muncul pertanyaan, pemerintah seperti ”penyembah infrastruktur”.
Seolah yang penting adalah jalan tol, bandara, pelabuhan, dan seterusnya?
Advokat Todung Mulya Lubis menyindir, ”Mana pembangunan infrastruktur hukum?”
Betul bahwa selama ini reformasi hukum dianaktirikan. Dari diskusi di Ruang
Rembuk Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan ini muncul gugatan terhadap
keseriusan pemerintah menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, terutama
korban-korban peristiwa 1965 dan pembunuhan Munir.
Untuk
masalah pertahanan terjadi diskusi menarik mengenai apa yang sudah dan akan
kita lakukan terhadap ”poros maritim dunia”. Sudah tiga orang menduduki posisi
Menko Maritim, tetapi sampai saat ini belum lagi jelas ramifikasi atas ”poros
maritim dunia” tersebut. Pandangan kritis dikemukakan pengamat politik Indria
Samego, yang mempertanyakan kepemimpinan Jokowi-Kalla dalam menghadapi begitu
banyak hadangan. ”Apa mereka bisa, banyak yang skeptis. Sulit menduga apa yang
akan terjadi,” katanya.
Semakin
besar optimisme, akan semakin besar pula ekspektasi publik. Optimisme itu, yang
terasa dalam Rembuk Nasional 2016 ini, tecermin dari tingkat kepuasan publik
terhadap Jokowi-Kalla yang rata-rata berada di atas 60 persen. Jokowi-Kalla
tentu saja dapat berpegang pada tingkat kepuasan publik ini. Banyak pula
masukan dari Rembuk Nasional 2016 yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk
melangkah sampai masa pemerintahan berakhir 2019.
Mengumpulkan
lebih dari 1.000 orang dalam Rembuk Nasional bukan pekerjaan seperti
membalikkan telapak tangan. Ada puluhan masukan yang dihasilkan yang setidaknya
dapat dijadikan rujukan oleh semua kementerian serta lembaga. Sekali lagi,
Rembuk Nasional layak dilanjutkan. Sebaiknya dibentuk dulu semacam forum untuk
mengelola Rembuk Nasional tahunan yang bersifat independen, bekerja
profesional, dan menghadirkan seluas-luasnya keterwakilan berbagai kalangan
masyarakat yang sebanyak-banyaknya merepresentasikan kepentingan semua daerah.
Rembuk
ajang ngobrol informal oleh, dari, dan untuk kita semua. Ini bagian dari
tradisi lama dan bersejarah, yakni musyawarah, yang dulu sering dilakukan
pendiri bangsa. Musyawarah atau konsensus berskala nasional selalu menjadi
pilihan masuk akal bagi dua presiden, yakni Soekarno dan Soeharto. Meskipun tak
jarang ”konsensus lonjong” alias tidak bulat, tetapi musyawarah lebih mujarab
daripada saling marah.
Upaya
mencapai konsensus atau musyawarah nasional juga dibutuhkan saat negeri kurang
stabil. Itulah yang dilakukan Soekarno saat ingin merumuskan ”konsepsi” atau
ketika Soeharto ingin memilih berapa jumlah partai yang layak untuk demokrasi
ala Orde Baru.
Mungkin
karena merasa sudah mencapai ”demokrasi” yang utuh ala Barat, tidak begitu
tampak ada upaya untuk kembali ke asas musyawarah. Kita cukup merasa puas
dengan konsolidasi demokrasi selama sistem politik berjalan sesuai teori dan
stabilitas politik terjamin. Ternyata sistem dan stabilitas politik belum cukup
bagi negeri yang kaya dan bineka ini. Rupanya kita merindukan kembali
musyawarah, konsensus, rembuk, atau apalah namanya.
Kita mau
sebanyak-banyaknya kalangan, profesi, ataupun rakyat berbicara apa adanya dalam
rembuk nasional. Mungkin untuk selanjutnya, rembuk nasional juga menghadirkan
lebih banyak menteri atau pejabat tinggi. Format Rembuk Nasional 2016 layak
dipertahankan dengan perbaikan di sana-sini. Juga tak perlu menunggu stempel
persetujuan pemerintah agar independensinya terjaga. Rembuk nasional semestinya
menjadi obrolan yang memperbaiki nasib bangsa dan negara ini. []
KOMPAS,
29 Oktober 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan
Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar