Ketika Perbedaan
Khilafiyah Tumbuhkan Sikap Cinta Tanah Air
Perdebatan khilafiyah
di antara para ulama Indonesia telah terjadi sejak zaman penjajahan. Satu sisi
memang ironis berdebat masalah khilafiyah di tengah bangsa Indonesia yang masih
dalam kondisi terjajah. Namun, di sisi lain ada positifnya juga karena dinamika
ini dapat menjadikan para ulama dan tokoh agama mudah berkumpul, minimal
menemukan problem-problem rakyat Indonesia disamping berdebat masalah
khilafiyah.
KH Abdul Wahab
Chasbullah merupakan salah satu ulama yang teguh berpegang pada madzhab. Dalam
hubungannya dengan gerakan pembaharuan, Kiai Wahab seringkali tidak bisa
menghindar dari serangan-serangan kelompok modernis, baik yang ada di Syarikat
Islam (SI) maupun dari KH Mas Mansur yang lebih cenderung ke kelompok modernis
anti-madzhab. Kecenderungan inilah yang membuat Kiai Wahab dan Mas Mansur
berpisah pada tahun 1922 setelah sebelumnya bersama-sama mendirikan perguruan
Nahdlatul Wathan.
Selain harus berjuang
menghadapi kolonialisme, Kiai Wahab sangat getol dengan keyakinan bermadzhab
sehingga dirinya juga mempersiapkan generasi-generasi muda yang tangguh ketika
mereka harus dihadapkan dengan kelompok modernis anti-madzhab. Dalam prosesnya,
Kiai mendirikan Kursus Masail Diniyah yang khusus mencetak generasi muda
berakhlak mulia, cinta tanah air, dan teguh dalam mempertahankan keyakinan
bermadzhab.
Di titik ini Kiai
Wahab telah membangun pertahanan cukup ampuh dalam menghadapi serangan-serang
kaum modernis anti-madzhab. Sebanyak 65 ulama muda yang dikursus memang
disiapkan betul untuk menghadapi kelompok pembaharu. Sehingga dalam
perkembangannya, ketika muncul perbedaan seputar masalah khilafiyah di beberapa
daerah, tidak perlu lagi meminta kedatangan Kiai Wahab tetapi cukup dihadapi
oleh ulama-ulama muda tersebut.
Faksi madzhab dan
anti-madzhab agaknya terus membuat Kiai Wahab gelisah sehingga mengutarakan
maksud untuk mendirikan organisasi Perkumpulan Ulama kepada tokoh sentral
se-Jawa dan Madura, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, guru sekaligus saudara sepupu
Kiai Wahab. Namun Kiai Hasyim melihat bahwa berbagai masalah yang sering
menjadi bahan perdebatan antara kelompok tradisionalis (madzhab) dan modernis
(anti-madzhab) selama ini belum sampai menyentuh akidah atau prinsip
agama.
Di sinilah Kiai
Hasyim Asy’ari melihat bahwa perkumpulan para tokoh ulama dalam forum
perdebatan masalah khilafiyah dapat membuat kaum penjajah gentar sehingga dapat
mempercepat proses bangkitnya nasionalisme bangsa yang sedang terjajah. Untuk
maksud ini, Kiai Hasyim memandang perdebatan soal khilafiyah tidak perlu
dihentikan (Choirul Anam, 2010: 35).
Namun demikian,
berkobarnya api perdebatan antara ulama bermadzhab dan tokoh modernis
anti-madzhab patut disayangkan. Terlebih ketika perdebatan yang melibatkan Kiai
Wahab berhadapan dengan Soorkati dari Al-Irsyad dan Achmad Dachlan dari
Muhammadiyah pada tahun 1921 yang berlangsung cukup sengit dan penuh dengan
fanatisme.
Meskipun peristiwa
tersebut pada hakikatnya melemahkan, tetapi dengan hadirnya beberapa ulama
terkemuka seperti: KH Wahab Chasbullah, Achmad Dachlan, Ahmad Soorkati, Mas
Mansur, Agus Salim, Sangadi, Wondoamiseno, dan tokoh lainnya di setiap forum
perdebatan justru memunculkan percikan-percikan api kebenaran Islam dari Muslim
yang pada akhirnya menjadi palu godam ampuh untuk dipukulkan kepada penjajah.
Artinya, perdebatan
soal khilafiyah pada masa itu memang masih mengandung manfaat, terutama dapat
menumbuhkan sikap dan semangat cinta tanah air bangsa Indonesia yang sedang
dibelenggu penjajah. Forum ini tentu membuat kaum penjajah linglung dan merasa
terganggu konsentrasinya karena para ulama pesantrenlah yang getol
menyemayamkan sikap cinta tanah air sehingga membuat mereka harus memusatkan
perhatian pada forum-forum perdebatan itu.
Dari peristiwa
sejarah yang sangat berharga itu, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran
bahwa di setiap perbedaan yang menyeruak dari setiap kelompok ada tujuan utama
yang harus dicapai. Sebab itu, setiap forum pertemuan, diskusi bahkan perdebatan
sekalipun harus mempunyai tujuan dan manfaat bagi orang banyak. Di titik inilah
KH Hasyim Asy’ari selalu dapat melihat secara jernih setiap persoalan yang ada
sehingga tidak begitu saja melarang forum-forum perdebatan khilafiyah Kiai
Wahab dengan kaum anti-madzhab saat itu. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar