Sumpah
Pemuda VS Nasionalisme Lokal
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sumpah
Pemuda Oktober 1928 sungguh fenomenal. Diprakarsai oleh anak-anak bangsa
terpelajar dalam usia 20-an dari berbagai suku di Nusantara, sumpah ini telah
menjadi tonggak maha penting dalam perjalanan sejarah bangsa yang pernah
terhina oleh sistem penjajahan Eropa, khususnya Belanda, yang brutal dan
menghisap. Kemudian selama tiga setengah tahun (1942-1945) dilanjutkan oleh
penjajahan Jepang yang tidak kurang kejam dan busuknya. Martabat bangsa ini
benar-benar diinjak tanpa batas oleh kekuatan pendatang asing yang serakah.
Sumpah
Pemuda menyadarkan kita semua bahwa tanpa persatuan yang kuat di antara
suku-suku bangsa yang berserakan di sebuah benua kepulauan, cita-cita agung
kemerdekaan hanyalah akan menjadi sebuah mimpi kosong. Dari sisi pandangan ini,
para pemuda belia pencetus Sumpah Oktober itu secara mental-intelektual telah matang
jauh melampaui usianya. Pandangan tajam mereka yang menerobos kabut gelap
tirani penjajahan semestinya akan tetap menjadi sumber ilham yang sangat kaya
bagi kepentingan masa depan kita semua.
Sisa-sisa
nasionalisme lokal yang tidak jarang berbau etnis kadang-kadang masih kambuh
dalam berbagai pilkada dengan mengharuskan putera daerah untuk menjadi pejabat
formal. Jika tidak dikawal oleh wawasan keindonesiaan, bisa meruntuhkan
semangat Sumpah Pemuda, khususnya tampak dari kalangan politisi sipil.
Semestinya pihak sipil mau becermin kepada mitranya dari pihak TNI atau
kepolisian. Merekalah sebenarnya yang telah melaksanakan gagasan besar sumpah
di atas. Untuk jadi panglima kodam dan jajaran di bawahnya atau untuk kapolda
dan jajaran di bawahnya, bisa dijabat oleh suku mana saja. Nasionalisme lokal
telah lama ditinggalkan. Isu putra daerah atau pertimbangan agama tidak lagi
menjadi sesuatu yang penting.
Agak
ganjil memang, beberapa waktu yang lalu, ulama Banten menolak calon kapolda
yang tidak seagama dengan mereka. Kecenderungan semacam ini dalam perspektif
Sumpah Pemuda adalah sebuah kemunduran. Atau bahkan sebuah pandangan yang
a-historis. Tetapi saya tidak menolak putera daerah untuk jadi pejabat formal
di daerahnya, dengan syarat memanuhi kualifikasi obyektif untuk posisi itu
serta didukung oleh mayoritas rakyat setempat. Dalam sistem demokrasi yang
sehat, bertanding dalam pilkada dari calon-calon yang berasal dari berbagai
suku untuk daerah tertentu harus menjadi arus utama masa depan.
Apa yang
telah dilakukan oleh TNI dan polri harus lebih digalakkan. Nasionalisme lokal
adalah virus ganas yang dapat menggerogoti keutuhan bangsa dalam perjalanan
panjangnya ke depan. Oleh sebab itu, seperti berkali saya tulis di ruang ini
dan juga disampaikan di forum-forum lain, politisi harus mau naik kelas menjadi
negarawan dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara dari kepentingan
sempit apa pun. Rasa keindonesiaan mereka harus senantiasa dipertajam dan
disegarkan. Sosok negarawanan inilah yang belum banyak muncul dari rahim sistem
demokrasi Indonesia kontemporer.
Pemekaran
daerah yang banyak dikendalikan oleh raja-raja lokal dengan wawasan
keindonesiaan yang lemah bukanlah cara yang arif untuk diteruskan. Fakta ini
diperburuk lagi oleh besarnya jumlah pejabat daerah yang menjadi pasien KPK
karena terlibat dalam praktik korupsi. Pejabat yang korup ini adalah ibarat
akar kanker yang melumpuhkan harapan rakyat yang memilihnya. Kejadian buruk ini
tersebar di berbagai daerah.
Tuan dan
puan jangan salah faham. Tulisan ini tidak bertujuan untuk membunuh rasa
kedaerahan, karena hal itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia.
Tetapi rasa kedaerahan itu harus dikawal oleh rasa keindonesiaan yang sadar dan
kuat. Bangsa dan negara ini hanya bisa bertahan lama asalkan nasionalisme lokal
tidak diberi peluang untuk mencabik perumahan keindonesiaan, sebagaimana Sumpah
Pemuda telah mencetuskannya 88 tahun yang silam.
Dalam
perspektif ini, anak-anak muda yang terlibat dalam sumpah itu adalah para
negarawan par excellence (contoh utama dalam sosoknya). Wawasan
kebangsaan mereka yang tajam justru dipicu oleh tekanan kolonialisme yang
sangat diskriminatif. Hasil politik etis kolonial di ranah pendidikan di awal
abad ke-20 telah jadi senjata makan tuan. Sumpah Pemuda adalah hasil terbalik
dari gagasan politik etis penguasa kolonial itu. []
REPUBLIKA,
01 November 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar