Liarnya
Lidah Ahok dan Pintu Masuk
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun
saya berseberangan dengan pendapat MUI tentang masalah penghinaan terhadap
Alquran oleh Ahok, dalam satu hal kita mungkin bisa sefaham: lidah Ahok itu
liar. Sekiranya dalam kunjungan kerjanya ke Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu
pada 27 September 2016 itu, Gubernur DKI itu lebih memusatkan pembicaraannya
pada masalah pembudidayaan ikan, geger besar yang menguras energi bangsa secara
sia-sia ini belum tentu akan terjadi.
Saya
melalui seseorang telah menyampaikan pesan kepada Ahok agar pandai menjaga
lidah, jangan biarkan lidah itu berkeliaran secara jalang. Tetapi dasar
karakter seorang Ahok yang mudah meledak, masalah budi daya ikan menyerempet ke
surat al-Maidah ayat 51, sebuah ranah yang dia tidak faham. Akibatnya muncullah
prahara besar yang menggoncangkan sendi-sendi kebangsaan kita, sesuatu yang
bisa berakibat fatal, jika tidak ditangani secara bijak, tetapi tegas, demi
tegaknya hukum. Sekarang Bareskrim Polri sedang dalam proses penegakan hukum
itu yang wajib dihormati oleh semua pihak, apa pun hasilnya nanti.
Jika
perbuatan Ahok ternyata memang memenuhi unsur pidana, maka prosesnya akan
meningkat ke penyidikan, dan seterusnya. Semua pihak tidak punya pilihan dan
sikap lain, kecuali menghormati proses hukum itu, tidak terkecuali Ahok
yang dinilai sebagian orang telah memicu kehebohan ini. Sebaliknya, jika
ternyata unsur pidana itu tidak ditemukan dalam gelar perkara yang jujur,
profesional, dan bertanggung jawab, maka semua pihak tidak boleh pasang
kuda-kuda lagi dengan memberikan tafsiran liar: polisi bekerja di bawah tekanan
penguasa. Lalu, diteriakkan lagi perlunya gerakan massa untuk menekan penguasa
yang dibayangkan itu. Jika ini yang kemudian berlaku, saya khawatir bahwa
bangsa dan negara kita ini bisa jadi sedang menggali kuburan masa depannya.
Alangkah
bodoh dan pandirnya kita gara-gara seorang Ahok dan penentangnya, kita tega
mengorbankan kepentingan yang lebih besar: bangsa, negara, dan rakyat Indonesia
yang lagi susah. Hanya mereka yang bersumbu pendek sajalah yang mau bergerak ke
arah perbuatan makar dan anarkis ini. Dan secara tidak sadar, akibat perbelahan
ini, Ahok telah muncul sebagai sosok yang digunjingkan secara luas dan masif.
Saya tidak berkepentingan apakah Ahok bersalah atau tidak bersalah yang bisa
mempengaruhi pencalonannya sebagai calon gubernur DKI, sebagaimana banyak suara
miring dan brutal melalui medsos yang ditembakkan kepada saya.
Semestinya,
dalam iklim demokrasi yang belum sehat ini, masing-masing pihak sama-sama siap
untuk berlapang dada dalam menyikapi perbedaan tafsiran dan pendapat. Sikap
yang serba mutlak dalam membela pendirian adalah pertanda dari mental yang
sedang kalah atau pertanda dari nafsu autoritarian yang bersembunyi di balik
pakaian kita masing-masing. Alangkah buruknya perangai sebagian kita manakala perbedaan
pendapat disikapi dengan cara-cara di luar keadaban dan kesopanan.
Kemudian
tentang pintu masuk. Ada sementara pengamat yang berspekulasi bahwa masalah
Ahok dan surat al-Maidah digunakan oleh pihak tertentu hanyalah sebagai pintu
masuk untuk meraih tujuan politik yang lebih besar yang belum jelas ujudnya.
Denny Siregar bahkan membandingkan iklim politik Indonesia dengan tragedi Suria
yang kini sedang berantakan akibat perpecahan politik melalui isu agama yang
teramat parah. Peringatan Denny ini tentu tidak perlu terlalu dicemaskan,
karena situasi Indonesia tidak seburuk di Suria.
Di negeri
ini kita punya modal sosial yang kuat berupa akar tunggang sebuah
masyarakat sipil Muslim yang cukup besar yang diwakili Muhammadiyah dan
NU yang tidak mudah diprovokasi oleh godaan-godaan palsu ISIS, sekalipun memang
ada sejumlah sangat kecil warga negara Indonesia yang terbius. Mereka ini
memang harus diwaspadai dengan ketat tidak saja oleh aparat keamanan kita,
tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Kelengahan sistem pengawasan
ini bisa menggiring Indonesia menjadi bangsa dan negara yang tidak aman untuk
dihuni.
Bukti
tentang ini bukan mengada-ada. Sudah berapa bom yang diledakkan oleh penganut
teologi maut ini dengan korban yang bergelimpangan. Oleh sebab itu, aparat
keamanan tidak boleh lengah sedetik pun, sebab bahaya makar itu sudah di depan
mata. Sekalipun Indonesia bukan Suria atau Iraq, negara ini jangan sampai kalah
berhadapan dengan pecundang-pecundang politik yang haus kekuasaan. Dalam perspektif
ini, spekulasi Denny menjadi relevan.
Untuk ke
depan, mari kita budayakan prinsip bahwa perbedaan pendapat bukanlah tanda
permusuhan yang sering disikapi melalui cara-cara brutal dan biadab. Dan Ahok
harus pandai menjaga lidahnya agar tidak terkesan main api yang bisa membakar
Indonesia tercinta ini. []
REPUBLIKA,
15 November 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar