NU Menjaga Bangsa
dengan Segala Upaya
Nahdlatul Ulama (NU)
lahir dari inspirasi untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dengan meneguhkan
ajaran Islam yang terbuka (inklusif) dan moderat. NU juga menebarkan
nilai-nilai Islam dengan tidak mencerabut akar tradisi dan budaya masyarakat
sehingga jiwa nasionalisme tetap teguh terjaga.
Secara historis,
sebelum mendirikan NU, ulama pesantren berupaya menumbuhkan jiwa nasionalisme
para pemuda melalui berbagai wadah. Seperti yang dilakukan oleh KH Abdul Wahab
Chasbullah (1888-1971), salah satu Pahlawan Nasional.
Mbah Wahab mendirikan
Tashwirul Afkar (pergolakan pemikiran) pada tahun 1914 untuk memberikan
kebebasan berpikir kepada pra pemuda dan bangsa Indonesia yang pada akhirnya
menumbuhkan kesadaran akan perlunya membebaskan diri dari penjajah yang tidak
peri kemnausiaan.
Kemudian, Pendiri
Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur ini juga mendirikan Nahdlatul Wathan
(kebangkitan tanah air) pada tahun 1916 sebagai wadah internalisasi cinta tanah
air kepada generasi muda sehingga tumbuh kesadaran untuk membangun bangsanya.
Perjuangan panjang
ulama pesantren pada klimaksnya memberikan ruang bagi bangsa Indonesia untuk
membebaskan diri dari penjajah sekaligus mempertahankannya. Misal ketika bangsa
Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945.
Tetapi dua bulan
kemudian NICA (Belanda) dengan membonceng tentara Sekutu ingin kembali
menjejakkan kekuasaannya, ulama seperti KH Muhammada Hasyim Asy’ari (1875-1947)
mencetuskan Fatwa Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945, bahwa wajib hukumnya
bagi setiap warga untuk mempertahankan kemerdekaan RI dari tentara sekutu.
Warisan kemerdekaan
dari para ulama, santri, dan bangsa Indonesia tersebut tidak tanggung-tanggung
senantiasa dijaga oleh warga NU hingga sekarang dalam bentuk apapun. Sejak
pertama kali Hari Santri Nasional disahkan oleh pemerintah lewat Keppres Nomor
22 Tahun 2015, Nahdliyin memanfaatkannya dengan berbagai kegiatan yang
bertujuan menumbuhkan spirit nasionalisme.
Seperti saat
peringatan Hari Santri Nasional tahun 2016, NU menggulirkan gerakan 1 miliar
shalawat Nariyah. Kegiatan santri dan Shalawat Nariyah 1 miliar inilah yang
menjadi fokus utama informasi yang termuat dalam Majalah Risalah NU edisi
November 2016. Lewat Shalawat Nariyah, NU ingin menegaskan bahwa upaya menjaga
bangsa dan negara tidak cukup modal material, tetapi juga spiritual.
Pemimpin Redaksi
Majalah Risalah NU, Musthafa Helmy menegaskan bahwa Hari Santri yang merupakan
representasi kebangkitan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan
bukanlah hanya miliki NU, tetapi juga milik seluruh bangsa Indonesia. Karena
ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad, seluruh bangsa
Indonesia secara kompak ikut berjuang melawan agresi ulang Belanda tersebut.
Selain mengupas
tuntas mengenai Hari Santri Nasional 2016, Majalah Risalah juga masih konsiten
dengan bacaan dan informasi menarik lain. Majalah setebal 66 halaman ini juga
mengupas profil Pesantren Raudlatun Nasyi’in Ash-Shidiqiyah Rembang Jawa Tengah
yang menampilkan gaya arsitektur budaya Tionghoa. Menarik juga mencermati
rubrik muthala’ah Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali yang diasuh oleh
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali. Selangkapnya,
selamat membaca!
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar