Kisah Gus Dur dan
Shinta Nuriyah Tunda Malam Pertama hingga 3 Tahun
Gus Dur dan Shinta Nuriyah di pelaminan |
Bercerita tentang
sosok Gus Dur memang tidak ada habisnya. Mulai dari saat masih aktif di
Nahdlatul Ulama, tatkala menjadi presiden, memimpin partai politik dengan
segala sisi-sisi kontoversialnya, konsistensinya dalam memperjuangkan
kemanusiaan, hingga kisah cintanya pun rasanya tidak pernah bosan untuk
dinikmati. Mungkin rasa candu itu bisa diibaratkan layaknya segelas kopi hitam
yang harus tersedia di pagi hari bagi para penikmatnya.
Membincang kisah
romantisme Gus Dur dengan Shinta Nurya Dewi ternyata tidak semudah seperti anak
muda di zaman ini yang bisa dibeli hanya dengan sekuntum bunga mawar. Bagaimana
tidak sulit? Lah wong Gus Dur sering ditolak kok sama Bu Sinta. Ah, masa
seorang cucu pendiri NU, anak dari Mantan Menteri Agama bisa ditolak cewek?
Begini ceritanya, romantisme jalinan cinta ini berawal dari sebuah pesantren di
Jombang tempat Shinta Nuriya Dewi menuntut ilmu. Gus Dur muda yang saat itu
menjadi guru sudah berani melamar Sinta yang masih berumur 13 tahun. Merasa
masih sangat belia, kontan rasa cinta Gus Dur ditolak oleh Shinta.
Gus Dur segera
meminang Shinta sebab dia akan pergi lama ke Mesir untuk melanjutkan studinya.
Gus Dur melakukan pendekatan intensif, berbagai strategi pun dia coba. Mulai
dari main catur dengan ayah Shinta, kemudian berlanjut melakukan ‘PDKT’ ke
ibunya, ke nenek, baru setelah itu ke Shinta langsung. Jadi, ibarat bus, kisah
cinta Gus Dur ini harus melewati beberapa terminal pemberhentian. Namun
berbagai usaha keras ini ternyata tidak juga menaklukan hati Shinta.
Sering mendapat
penolakan, tidak juga membuat Gus Dur putus asa. Sebelum berangkat ke Mesir,
Gus Dur melakukan strategi selanjutnya, seorang teman ia suruhlah mengantar
surat yang isinya kurang lebih apakah Shinta bersedia menjadi istrinya. Si
pengantar surat ini menunggu lama untuk mendapatkan jawaban dari Shinta yang
kala itu sudah berumur 14 tahun. Shinta muda bimbang, mau menolak secara
terang-terangan tapi dia juga sadar bahwa Gus Dur adalah gurunya.
Alasan inilah yang
membuat Shinta sedikit sungkan. Namun karena kejeniusannya, Shinta membalas
surat tersebut dengan jawaban yang diplomatis. Dia menulis bahwa jodoh, hidup,
dan mati seseorang itu ada di tangan Tuhan, kalau kita berjodoh, meski
berjauhan pun nanti suatu saat juga akan dipertemukan, namun tatkala tidak
berjodoh, meski dekat juga tidak akan bertemu. Dengan jawaban ngambang itulah
akhirnya Gus Dur pergi ke Mesir tentu dengan perasaan sedih.
Singkat cerita, di
Mesir Gus Dur terlampau sibuk berorganisasi hingga kulianya pun tak semulus
yang dikira. Selain itu, mata kuliah di sana kurang begitu greget bagi Gus Dur,
pasalnya, materi yang di ajarkan sudah ia pelajari sebelumnya di Indonesia
tatkala ia masih menjadi seorang santri. Akhirnya 2 tahun itu Gus Dur tak
selesai kuliah, lalu pindah ke Irak. Selama di Mesir itulah Gus Dur dan Sinta
saling mengirim surat. Kegiatan ini berlangsung hingga Gus Dur pindah ke
Irak.
Lambat laun,
surat-surat yang dikirim Gus Dur itu akhirnya mampu mengetuk hati Shinta. Dalam
surat balasannya, Shinta menulis Anda sudah berhasil menumbuhkan benih cinta di
hati saya. Kontan hal ini membuat Gus Dur kembali sumringah. Begitu dapat surat
itu tidak berapa lama keluarganya melamar. Akhirnya, 11 Juli 1968 pernikahan
keduanya dilangsungkan. Gus Dur yang saat itu masih di Irak meminta agar
diwakilkan oleh kakeknya Kiai Bisri Syansuri yang berusia 68 tahun.
Kontan meskipun sudah resmi menikah Gus Dur dan Shinta harus menunggu 3 tahun
untuk melaksanakan bulan madu, ya nunggu Gus Dur pulang baru bisa merasakan
indahnya malam pertama. []
Muhammad Faishol, mantan
wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini sebagai Chief Editor di Media
Santri NU (MSN)/mediasantrinu.com, Santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan
Sabilurrosyad Gasek Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar