Menjaga
Indonesia
Oleh:
Azyumardi Azra
Tensi
politik Indonesia sesudah unjuk rasa pada 4 November 2016 tampak belum
berakhir. Demonstrasi damai sampai waktu Isya (sekitar pukul 19.00) akhirnya
diwarnai kericuhan antara die-hard demonstran dan aparat keamanan. Semestinya
sejumlah pihak berusaha menurunkan suasana (cooling down). Tensi politik,
sosial, dan agama bukan hanya sekadar bertahan, melainkan cenderung meningkat.
Peningkatan
tensi disebabkan sejumlah faktor yang kait-berkait. Akumulasi beberapa faktor
seperti disebutkan berikut, jika terus meningkat, dapat menimbulkan gejolak
sosial politik yang bisa menimbulkan kekerasan dan anarki yang dapat berujung
pada disintegrasi negara-bangsa Indonesia.
Faktor
pertama, tindakan aparat kepolisian yang menangkap beberapa orang, seperti
kalangan Himpunan Mahasiswa Islam yang dianggap provokator kericuhan. Dilihat
dari mereka yang ditangkap polisi, tampaknya tak lebih dari aktor ”figuran”,
ujung tombak yang berhadapan langsung dengan aparat.
Sementara
itu, otak (mastermind) yang dikatakan Presiden Joko Widodo sudah dia ketahui
belum tersentuh. Akibatnya, spekulasi dan rumor beredar kian banyak di kalangan
elite politik, pimpinan ormas keagamaan, dan warga. Keadaan ini turut
meningkatkan suasana saling curiga dan permusuhan di antara sejumlah elemen bangsa.
Faktor
kedua, meningkatnya jumlah gugatan terhadap figur politik yang dianggap
mencemarkan agama atau nama baik atau sebagai provokator. Mereka yang
dilaporkan ke Polri bukan hanya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sumber awal
kekisruhan, melainkan juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
pernyataannya dalam konferensi pers sebelum aksi besar dianggap sumber
provokasi kericuhan. Bahkan, Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan juga
dilaporkan ke Propam Polri.
Dalam
satu segi, aksi gugatan atau pelaporan mengandung makna positif. Pihak pelapor
lebih memilih jalan damai melalui jalur hukum daripada tindakan lain, misalnya
kekerasan. Namun, pada segi lain tetap saja turut meningkatkan suasana politik
yang kurang kondusif.
Faktor
ketiga, meningkatnya polemik atau perbedaan pendapat di kalangan intra dan
antaragama. Perbedaan intra-Islam meningkat tentang tafsir, pandangan dan sikap
terhadap penistaan Al Quran Surat Al-Maidah Ayat 51. Aksi takfiri sesama Muslim
juga meningkat. Pertikaian terbuka antarelite Muslim di media cetak dan
elektronik meningkatkan tensi intra-Islam. Ketegangan mengimbas ke akar rumput
umat Islam.
Tensi
antaragama juga terlihat meningkat, khususnya antara kalangan umat Muslim dan
Kristiani. Semula tensi itu tersembunyi di arus bawah, tetapi kini kian mencuat
terbuka lewat media sosial atau kemunculan kelompok milisi semacam laskar atau
brigade yang menuntut agar pimpinan aksi 4 November ditangkap.
Faktor
keempat adalah safari Presiden Jokowi yang mengesankan keadaan ”gawat”. Safari
dan pertemuan Presiden Jokowi dengan pimpinan NU, Muhammadiyah, ormas-ormas
Islam lain, dan kelompok ulama yang diorganisasi parpol tertentu memberikan
kesempatan bagi Jokowi menjelaskan beberapa hal, khususnya penanganan kasus
Ahok dan situasi politik, sosial dan umat beragama setelah demo 4 November.
Sebaliknya, elite ulama dan pemimpin ormas Islam juga menyampaikan aspirasi.
Namun,
safari Presiden Jokowi ke pasukan elite, seperti Kopassus, Marinir, dan Brimob,
pekan lalu, menimbulkan kesan di kalangan publik tentang ”situasi gawat” yang
membuat aparat harus siap dengan loyalitas penuh kepada negara.
Berbagai
faktor itu, tidak hanya meningkatkan tensi politik, sosial, dan agama, tetapi
juga kecemasan tentang masa depan Indonesia yang bersatu. Tanpa harus
membesar-besarkan masalah, jelas tantangan dewasa ini untuk menjaga kesatuan
Indonesia terlihat kian tidak mudah.
Jelas
bukan hanya kali ini Indonesia mengalami ujian yang dapat mengarah pada
rusaknya kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. JS Furnivall dalam
Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944) memprediksi, begitu
Belanda tidak lagi berkuasa di East Indies (Indonesia), kawasan sangat plural
ini bakal hancur berkeping-keping. Doomsday scenario ini, menurut dia, tak lain
karena absennya faktor pemersatu yang mampu mengintegrasikan kawasan ini
menjadi negara-bangsa tunggal.
Skenario
kelabu tentang Indonesia juga merebak ketika transisi demokrasi terjadi sejak
1998. Gelombang demokrasi membuat Uni Soviet dan Eropa Timur berkeping-keping.
Disintegrasi yang juga disebut balkanisasi dengan segera diterapkan pakar asing
tertentu kepada Indonesia bahwa negara ini juga segera mengalami balkanisasi
dalam proses transisi demokrasi yang memunculkan sejumlah ekses disintegratif.
Namun, Indonesia bertahan. Karena itulah Indonesia hingga sekarang ini disebut
ahli asing sebagai ”mukjizat” atau ”keajaiban” (miracle).
Dalam
perspektif orang dalam (from within), Indonesia sebagai keajaiban, terkait
banyak dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan yang memberikan ruang untuk
inklusivitas, akomodasi, kompromi, dan tole- ransi. Realitas inilah yang
membuat Indonesia tetap bersatu di tengah gejolak politik, ekonomi,
sosial-budaya, dan keagamaan.
Meskipun
demikian, beberapa faktor disintegratif—terutama terkait kontestasi politik,
kesenjangan ekonomi, dan isu SARA— juga bertahan. Isu-isu ini laten; dapat
menyelinap ke bawah arus, tetapi juga bisa menyeruak ke permukaan, seperti
terlihat dalam beberapa pekan terakhir.
Karena
itu, adalah tugas suci (mission sacre) seluruh warga, khususnya elite
kepemimpinan—politik, sosial budaya, dan keagamaan—untuk senantiasa menjaga dan
merawat Indonesia. Salah satu cara terpenting adalah memperkuat kembali tradisi
dan perilaku saling menghormati, tepa salira atau tenggang rasa, akomodasi,
kompromi, dan toleransi. Semua itu mutlak dalam hal eksistensial menyangkut
keutuhan dan kesatuan negara-bangsa Indonesia. []
KOMPAS,
15 November 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar