KH Moh Tolhah
Mansoer, Ahli Hukum Tata Negara Pertama
Prof KH Mohammad
Tolhah Mansoer (akrab dipanggil dengan nama Tolhah) lebih dikenal sebagai
seorang Kyai dan penggerak daripada seorang aktor intelektual dalam bidang
hukum tatanegara. Padahal beberapa karya dan pemikirannya telah mampu
memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu hukum tatanegara di Indonesia.
Pada tahun 1969
dibawah bimbingan Prof. Abdul Gaffar Pringgodigdo, Tolhah mampu merampungkan
disertasinya yang berjudul “Pembahasan Beberapa Aspek tentang
Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia”.
Disertasinya diselesaikan melalui kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bagi Tolhah,
kekuasaan eksekutif dan legislatif perlu dibedakan, kedua jenis kekuasaan
tersebut tidak bisa dicampuradukan ranah kerjanya. Hal ini diperlukan supaya
model check and balance diantara keduanya terjaga. Kedua ranah kekuasaan
tersebut harus mempunyai pekerjaan yang berbeda.
Untuk menjaga agar
dua wilayah kekuasaan itu maka, dibutuhkan Balance of Power supaya tidak
ada ketimpangan diantara keduanya. Ketika kedua lembaga kekuasaan tersebut
mempunyai kekuatan yang berimbang maka tidak akan ada yang seenaknya memonopoli
kebijakan.
Tholhah menyadari
betul arti pentingnya balance of power, sehingga pemikirannya itu ia
catat dalam karyanya. Melihat itu semua maka, tidak heran jika isi disertasi
Tolhah tentang gambaran ideal mengenai ranah kerja eksekutif dan legislatif.
Bisa jadi, apabila penemuan-penemuan Tolhah yang tercantum dalam disertasinya
itu diterapkan kedalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, memungkinkan bisa
menjadi pedoman bagi Indonesia menuju good govenernance.
Karya Tolhah menjadi
istimewa lagi, karena pada waktu yang bersamaan muncul gelombang liberalisasi
politik, ekonomi, dan kebudayaan di seluruh dunia (Jimly Asshiddiqie, 2006 :65).
Sehingga Tolhah “ditantang” untuk memberikan karya otentik yang bercirikhas
budaya Indonesia, bukan malah menjadi agen dari paham liberal yang mudah
diterima oleh banyak kalangan cendekiawan di bumi nusantara ini.
Sebagai orang yang
lahir dari kalangan santri, Tolhah juga tidak menginginkan adanya faham liberal
yang menguasasi sendi-sendi sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, Tolhah
sendiri juga tidak menginginkan adanya sistem totalitarian menguasai Indonesia.
Dalam hal mencermati fenomena ini, Tolhah menggunakan cara-cara Nahdlatul Ulama
(NU) yakni menggunakan cara pandang tawasuth, berpikiran tengah-tengah
atau moderat dalam menyikapi sesuatu.
Ahli Hukum Tata
Negara Pasca Proklamasi
Cara pandang moderat
ini digunakan oleh Tolhah ketika mengkaji sistem pemerintahan di Indonesia.
Pada tahun 60-an sistem pemerintahan Indonesia terdapat ketidakjelasan
pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Pada masa ini, eksekutif
lebih berkuasa daripada legislatif, sehingga eksekutif bisa dengan mudahnya
mengontrol tugas dan wewenang legislatif.
Wilayah eksekutif
menjadi lebih istimewa daripada legislatif itu tidak bisa dipungkiri pada waktu
orde lama dan orde baru berkuasa, karena pada waktu itu pemerintah menganut
faham negara integral, kekuasaan terpusat. Keistimewaan ini terjadi dibanyak
hal, termasuk dalam ranah “pendapatan”. Mahbub Junaidi seorang intelektual muda
saat itu pernah menyindir melalui tulisannya yang berjudul “Demokrasi: Martabat
dan Ongkosnya”. Tulisan ini menceritakan tentang lemahnya organ legislatif di
Indonesia.
Tolhah merupakan ahli
hukum tatanegara yang berani menyuarakan adanya ketidakberesan sistem
tatanegara Indonesia. Dalam hal menyuarakannya, Tolhah lebih memilih melalui
jalur akademik, salah satunya melalui karya disertasinya yang berjudul “Pembahasan
Beberapa Aspek tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara
Indonesia”.
Seperti yang sudah
dijelaskan di atas, disertasi Tolhah itu lahir di tengah-tengah gelombang
liberalisasi politik dan otoritarianisme eksekutif yang “menyelimuiti” wajah
sistem pemerintahan di Indonesia memberikan daya tarik tersendiri bagai para
kalangan akademisi hukum tatanegara masa kini, karena dirasa mampu menjaga
orisinalitas pemikiran, tidak condong mengikuti arus yang digelontorkan oleh
bangsa barat ke Indonesia, juga tidak menjadi legitimasi akademik bagi
pemerintahan otoriter pada waktu itu.
Keunikan karya yang
dibuat oleh Tolhah tersebut mampu menjadi daya tarik bagi ahli hukum tatanegara
saat ini untuk merujuknya. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud merupakan tokoh atau
ahli hukum tata negara kekinian yang sering merujuk karya Tolhah.
Pemikiran Tholhah
dalam sistem ketatanegaraan ini, seolah-olah menjadi jembatan antara ilmu
tatanegara sebelum prokalamasi dengan perkembangan ilmu tatanegara pasca
proklamasi. Hal itu bisa terjadi karena karyanya lahir di tengah-tengah
peralihan pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru.
Soepomo dan Muhammad
Yamin Ahli apa?
Tholhah bersama
Ismail Suny (Fakultas Hukum Universitas Indonesia) merupakan generasi awal
munculnya ahli hukum (murni) tatanegara di Indonesia semenjak proklamasi
dikumandangkan. Sebelum Ismail Suny dan Tolhah, Indonesia belum pernah
mempunyai sosok ahli hukum yang memang murni bergerak dalam hukum
tatanegara.
Bisa jadi gelar
tersebut (ahli hukum tatanegara murni) dianggap berlebihan, karena sebelum era
Tolhah dan Ismail Suny sudah ada orang-orang yang mempunyai peran (lebih
daripada Tolhah dan Ismail Suny) dalam membangun sistem negara Indonesia, yakni
Soepomo dan Muhammad Yamin.
Tidak bermaksud
merendahkan Soepomo dan Muhammad Yamin, kedua punggawa ini merupakan ahli hukum
tatanegara yang dilahirkan bukan dari rezim ilmu hukum tatanegara. Soepomo
merupakan ahli hukum yang lahir dari rezim ilmu hukum adat. Soepomo ditasbihkan
sebagai ahli hukum tatanegara, karena ada unsur “keterpaksaan”. Pada saat
sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Soekarno tidak
mempunyai ahli hukum lain yang mampu membuat draff Undang-Undang Dasar (UUD)
kecuali Soepomo. Demi percepatan, maka dengan isidental Soekarno menyuruh
Soepomo untuk membuat UUD. Dari peristiwa ini jadilah nama Soepomo dikenang
sebagai penata sistem ketatanegaraan Indonesia, sehingga banyak kalangan yang
melabelinya sebagai ahli hukum tatanegara juga.
Sedangkan Muhammad
Yamin mempunyai cerita lain. Tidak bisa dipungkiri peran Yamin dalam menata
sistem pemerintahan republik Indonesia sangat terasa, terutama dalam hal
merumuskan sistem unitaris di Pemerintahan Indonesia. Adanya pemerintahan pusat
sampai dengan pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan dari usulannya.
Meskipun demikian, sistem-sistem tersebut bukanlah murni dari dirinya sendiri.
Di dalam karyanya
Yamin yang berjudul “Sapta Parwa”, dirinya lebih banyak menceritakan sistem
pemerintahan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Bagi Yamin, sistem pemerintahan
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya itu akan cocok diterapkan sebagai sistem
pemerintahan. Jadi, pemikiran Yamin berisikan anjuran untuk meniru, meskipun
ada beberapa inovasi yang telah dibuat oleh Yamin.
Dari sinilah kemudian
banyak orang yang menyebut Yamin sebagai ahli sejarah, bukan hanya itu saja,
Yamin juga dijuluki sebagai ahli bahasa, karena peranannya dalam menata bahasa
Indonesia. Kedua gelar ini mampu menyisihkan pemikiran ketatanegaraan yang
dimiliki oleh Yamin.
Supaya tidak terkesan
membandingkan pemikiran Tolhah dengan Soepomo dan Yamin maka, penulis
memberikan gelar kepada Tolhah sebagai ahli hukum tatanegara pasca proklamasi.
Sedangkan Soepomo dan Yamin merupakan tokoh hukum yang lahir sebelum
Proklamasi. []
Muhtar Said, Alumni
Ponpes Al-Barokah, Penggaron Kidul, Semarang; Dosen Ilmu Hukum di Universitas
Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar