Kisah Mbah Kastari,
Kiai Kampung Penuh Kesahajaan
Kastari bin Maulana
Maghribi Wonobodro merupakan sesepuh Desa Pagerdawung, Kecamatan Ringinarum,
Kabupaten Kendal. Mbah Kastari, demikian biasa masyarakat memanggil, lahir di
Kendal 15 Juli 1935 dan wafat di tahun 2002. Menurut cerita, Mbah Kastari
merupakan keturunan ke-11 Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro. Mbah Kastari bukan
tokoh populer, bukan kiai besar, atau pengasuh pesantren yang memiliki ribuan
santri. Ia hanya dikenal di Desa Pagerdawung, selebihnya tidak banyak yang
tahu.
"Mbah yai itu
baik banget, Ngajar ngajinya juga mudah dipahami. Jika ada santri yang salah
tidak pernah dimarahi kecuali pernah anak kakak saya nggak bisa ngaji akhirnya
dimarahi karena beliau merasa malu bisa mendidik anak orang kok cucu sendiri
ngak bisa, mungkin itu pikir beliau," kenang Sajidi, putra ketiga Mbah
Kastari.
Kehidupan sehari-hari
Mbah Kastari berjalan selayaknya masyarakat pada umumnya. Bertani, ngajar
ngaji, juga menjadi Imam sholat. Mbah Kastari terkenal akan kesederhanaan, juga
kerendahan hatinya. Ketua Ta'mir Masjid At-Taqwa Desa Pagerdawung, KH Solihin
mengungkapkan, Mbah Kastari adalah pribadi yang bersahaja.
"Simbah Kiai
Kastari itu sangat sederhana. Rendah hati juga. Saya saja masih ingat
kerendahan hatinya dulu. Sayang ya orang sebaik dia harus pergi terlebih
dahulu," tutur Kiai Solikin.
Kehidupan beliau
sangat sederhana, bahkan terkadang kekurangan. Tidak pernah keluar sedikitpun
kata "kurang" yang keluar dari mulutnya, justru malah sebaliknya
beliau selalu bersyukur.
"Alhamdulillah
Gusti Allah wes maringi nikmat. Sitik gak popo daripada raono (Alhamdulillah
Gusti Allah sudah memberikan nikmat, Sedikit tidak apa-apa daripada tidak
ada," kata Sajidi, menirukan wejangan Mbah Kastari.
Dalam sebuah
pengajian, Mbah Kastari pernah menuturkan tentang sosok kiai. Baginya, kiai
adalah penyematan gelar yang berat untuk dipikul.
"Kiai itu apa?
Semua itu ada aturanya kenapa seorang diangap sebagai kiai. Kalian terlebih
saya pribadi jangan berharap dipangil kiai. Jadi kiai itu berat, Jalani aja,
sampaikan apa yang kamu tahu dan berharaplah hanya kepada Allah SWT,"
katanya.
Sebelum wafat, Mbah
Kastari jatuh sakit selama dua pekan. Sebenarnya beliau tahu apa penyebab
sakitnya, namun untuk mencegah kepanikan anak-anaknya beliau hanya diam dan
tetap berkata bahwa beliau sedang sakit biasa.
Karena kesehatannya
semakin menurun, anak pertamanya Muryati bertanya kepada beliau tentang
penyakitnya. Dan, semua tercengang. Ternyata yang diderita selama ini adalah
akibat “diguna-guna” oleh orang yang tidak suka dengan dirinya.
Setelah mendengar
ceritanya, anak-anak beliau hendak membalas perlakuan seseorang kepada ayahnya
itu, tetapi dengan tegas Kiai Kastari melarangnya dan menyampaikan pesan yang
ternyata itu adalah pesan terakhir sebelum kepergianya.
"Anak anakku,
mati ini adalah urusan Allah SWT , Lauhul Mahfuz tidak pernah salah. Mungkin
ini adalah pelajaran bagi bapakmu ini yang penuh dosa ketika hidup di dunia.
Bapakmu ini ikhlas nak biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau. Kita
berdoa aja kepada Allah, jangan balas keburukan dengan keburukan, balaslah
dengan kebaikan. Bapakmu sudah ikhlas, jika nanti bapak meninggal jangan pernah
ungkit-ungkit masalah ini. Berikan senyuman, bapak sudah ihlas, Lillahhita'ala.
Doakan bapak agar selalu berada di jalan Allah dan mati juga dijalan
Allah"
Itu adalah pesan
terakhir Kiai Kastari kepada putra-putrinya, juga kepada santrinya.
Semoga kisah ini bisa bermanfaat bagi kita semua bahwa keburukan tidak perlu
dilawan dengan keburukan. Sebaliknya, keburukan harus dihadapi dengan kebaikan.
Karena di situ letak ujian manusia. []
(IMS/Zunus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar