Dinamika Muhammadiyah Kontemporer (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Dengan kian meningkatnya wacana dan gerakan literal, keras dan
radikal di Indonesia belakangan ini, bisa tercipta semacam kontestasi internal
di dalam tubuh pergerakan yang sedikit banyak mempengaruhi paradigma dan kiprah
Muhammadiyah secara keseluruhan. Tidak jarang Muhammadiyah terlihat ‘kagok’
(awkward) dalam menyikapi pemahaman dan gerakan Islam radikal.
Karena itu, Muhammadiyah—bersama NU—sering menjadi sasaran kritik
lembaga dan aktivis kebhinnekaan, toleransi dan perdamaian yang mereka anggap
tidak memberi respon memadai terhadap ekspresi radikalisme dan intoleransi.
Seolah mendengar kritik itu, Muhammadiyah—dan juga NU—belakangan ini bersikap
dan bersuara lebih tegas dan jelas (loudly and clearly) terhadap radikalisme
dan terorisme semacam ISIS.
Berhadapan dengan dinamika domestik dan internasional yang tidak
kondusif, berkembang wacana di dalam Muhammadiyah tentang corak dan karakter
dasar ormas ini. Pertama-tama Muhammadiyah jelas merupakan pengikut
Ahlus-Sunnah wal Jama’ah dengan pemahaman dan praksis ummatan wasathan atau
Islam wasathiyah. Walau tidak terlalu lazim dibicarakan di kalangan para
pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sendiri, jelas Muhammadiyah menganut
pemahaman dan praksis Islam wasathiyah.
Islam wasathiyah yang menjadi arus utama di Indonesia sering pula
disebut sebagai ‘Islam Nusantara’. Tetapi jelas, Muhammadiyah terlihat enggan
mengunakan istilah ini karena dalam kenyataannya ‘Islam Nusantara’ lebih
terasosiasi dengan NU, apalagi jika ditulis dengan Islam NUsantara (N dan U
ditulis dengan huruf besar dan bold).
Fenomena ini menggambarkan masih berlanjutnya ‘kontestasi’ antara
Muhammadiyah dengan NU. Kontestasi itu dalam soal ‘Islam Nusantara’ terkait
distingsi yang melekat pada entitas Islam Nusantara yang tak sepenuhnya sesuai
dengan paradigma dan praksis Islam Muhammadiyah. Distingsi Islam Nusantara
memang lebih memiliki banyak afinitas dengan NU daripada Muhammadiyah.
Tetapi penting dicatat, ‘kontestasi’ antara Muhammadiyah dan
NU—khususnya dalam pemahaman dan praksis keIslaman—sebenarnya kian terbatas
terutama karena terjadinya ‘konvergensi keagamaan’. Perkembangan ini sejak
1980an menghasilkan terjadinya ‘pertukaran’ dan ‘pertemuan’ di antara pemahaman
dan praksis keislaman berbeda yang sebelumnya sangat mewarnai hubungan antara
Muhammadiyah dan NU. Kini ‘kontestasi’ lebih banyak terkait soal hisab dan
rukyah atau posisi politik dalam pemerintahan—menteri kabinet, direktur jenderal
atau direktur di kementerian tertentu.
Di luar itu dalam isyu politik, Muhammadiyah dan NU berkonvergensi
sebagai Islamic-based civil society. Muhammadiyah sebagai CS dalam dasawarsa
terakhir, cenderung bernada lebih kritis terhadap pemerintahan SBY-Boediono dan
dalam kadar lebih rendah juga kepada pemerintahan Jokowi-JK.
Menghindari istilah ‘Islam wasathiyah’ dan ‘Islam Nusantara’,
Muhammadiyah sebaliknya mempopulerkan istilah dan paradigma ‘Islam
Berkemajuan’—yang dalam bahasa Inggris dapat disebut sebagai ‘progressive
Islam’. Seperti dijelaskan Burhani (Muhammadiyah Berkemajuan, 2016), istilah
ini jarang terdengar, bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru
diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku
Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kiai Syuja’
(2009). Istilah ini mulai digunakan dalam Muktamar Muhammadiyah di
Yogyakarta (2010) untuk menegaskan karakter Muhammadiyah.
Apakah ‘Islam berkemajuan’ itu? Burhani mengungkapkan, Kiai Ahmad Dahlan
sering menegaskan pentingnya ‘berkemajuan’; ‘jika ingin menjadi kiai, maka
jadilah kiai yang maju’. Selanjutnya, makna berkemajuan adalah dekat dengan
‘selalu berfikir ke depan, visioner, selalu one step ahead (selangkah lebih
depan) dari kondisi sekarang. Dalam literatur resmi Muhammadiyah, Indonesia
Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014) dinyatakan,
makna manusia berkemajuan adalah “manusia yang senantiasa mengikuti ajaran
agama dan sejalan dengan kehendak zaman”.
Buku ini juga menyebutkan definisi ‘berkemajuan’ dalam kaitannya
dengan negara bangsa Indonesia. Disebutkan “Indonesia Berkemajuan dapat
dimaknai sebagai negara utama (al-madinah al-fadhilah), negara berkemakmuran
dan berkeadaban (umran), dan negara sejahtera. Negara berkemajuan adalah negara
yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung
sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia”
Semua penjelasan ini, sayang, tidak memberikan definisi,
paradigma, distingsi dan karakter Islam Berkemajuan. Sudah saatnya perlu
dirumuskan secara lebih jelas, sehingga dapat menjadi pegangan para pimpinan
dan anggota Muhammadiyah.
Islam Berkemajuan Muhammadiyah dan Islam Nusantara NU saling
melengkapi. Keduanya adalah salah satu warisan (legacy) Islam Indonesia yang
sangat penting dalam bagi integritas Indonesia. Untuk itu keduanya perlu
penguatan secara berkelanjutan. []
REPUBLIKA, 10 November 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar