Aktivasi Akherat di Dunia
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Terjadi omong-omong serius antara Markesot
dengan anggota Perhimpunan Njarem Nasional.
“Puluhan tahun kalian menikmati semua yang
enak-enak dari saya. Yang nyaman-nyaman, yang sedap-sedap, yang menggembirakan
dan meringankan hidup kalian. Dan itulah kesalahan besar dalam hidup saya”
“Bukankah menggembirakan orang, meringankan
beban orang, memberi keamanan dan kenyamanan, adalah sedekah yang terbaik, Cak
Sot? Kenapa itu kesalahan?”
“Karena saya kurang mengantarkan kepada kalian
pelatihan dan pengalaman bagaimana menjadi manusia yang selalu siap memberi
kenyamanan, kegembiraan dan keringanan”
“Kan hidup kita yang miskin dan serba
kekurangan di Patangpuluhan dulu dengan sendirinya merupakan pelatihan untuk
menjadi manusia yang siap menyamankan orang lain?”
“Apa kemampuan menyebar kegembiraan selalu
dilatihkan dengan kemiskinan dan penderitaan?”
“Tidak juga. Tapi nyatanya selama di
Patangpuluhan kita belajar dari pengalaman-pengalaman itu”
“Siapa bilang di Patangpuluhan dulu kita miskin
dan menderita?”
“Lho memangnya kaya dan bahagia?”
“Kebahagiaan tidak selalu berada dalam
sebab-akibat dengan kekayaan. Juga penderitaan tidak harus selalu dikaitkan
dengan kemiskinan. Kalau begitu cara pandang kita, Patangpuluhan dulu bukan
Universitas, tapi lebih cocok Usaha Dagang”
“Kan semua masyarakat hampir seratus persen
menyepakati bahwa sukses adalah kaya harta, memuncak karier, syukur termasyhur.
Yang disebut kebahagiaan ya begitu itu”
“Kamu juga berpendapat begitu?”
“Tidak juga sih. Tapi kan jelas di
Patangpuluhan dulu kita miskin”
“Tapi tidak menderita”
“Ada yang tidak, tapi Cak Sot mungkin tidak
tahu ada juga yang merasa menderita karena semua yang di rumah hitam itu
miskin”
“Apa tanda-tandanya kita dulu miskin?”
“Makan tidak pasti”
“Terus?”
“Tidur menggeletak di sembarang tempat yang
lowong”
“Oke”
“Seluruh kondisi rumah sangat tidak sepadan
dengan rumah-rumah di sekitarnya. Tembok-temboknya lembab. Kamar hanya ada dua
untuk puluhan orang. Kamar mandi terlalu tradisional, harus menimba
sendiri-sendiri dari sumur. WC-nya memalukan. Sampai-sampai dijadikan
parameter, kalau ada artis atau tokoh-tokoh bertamu, dan berhasil buang air
besar di WC kita, berarti lumayan insan kamil dia”
“Ya”
“Bagaimana tidak miskin. Pintu depan, samping
dan belakang tidak ada kuncinya. Bisa dibuka oleh siapa saja dan kapan saja.
Itu tanda sangat gamblang bahwa tidak ada apa-apa di dalam rumah itu yang
menarik hati para pencuri untuk mengambilnya”
“Oke”
“Pintu depan ringsek, kayunya semakin pecah dan
bolong. Kita ganti pintu dengan kayu yang tidak lebih baik atau mahal. Tetangga
sebelah merasa kita sedang memamerkan kemampuan finansial dengan mengganti
pintu. Maka dia perbarui pintu-pintu dan jendela-jendela rumahnya, dengan harga
mungkin sepuluh kali lipat dari harga pintu kita”
“Ya”
“Kita tidak tahu kalau sedang bersaing dengan
tetangga. Sampai kemudian ketika pagar depan kita lengkapi tali-talinya,
tetangga sebelah itu merestorasi pagar bambu menjadi pagar tembok dengan hiasan
yang mewah. Kesadaran tentang kompetisi materialisme itu kemudian membuat kita
mengambil keputusan untuk mengecat rumah Patangpuluhan dengan hitam penuh.
Tembok hitam. Pintu hitam. Jendela hitam. Kaca hitam? Mana ada kaca. Deretan
level-level untuk pentas teater juga hitam. Seterusnya baju kita celana kaos
dan semua pakaian kita menjadi hitam. Mungkin juga hati kita”
“Oke”
“Oke ya oke ya oke ya….”
“Apakah kita menderita oleh itu semua?”
“Tidak sih”
“Tidak ada penderitaan di dunia. Hanya njarem”
“Njarem juga bisa menjadi penderitaan”
“Njarem itu lucu. Itu semacam rasa sakit yang
berbasa-basi”
“Itu kalau hanya njarem. Yang kita alami ini
juga keseleo, kecethit, bengkak”
“Menjadi kesengsaraan kalau yang keseleo
pikiranmu, yang kecethit hatimu, yang bengkak mentalmu”
“Tapi meskipun yang keseleo hanya badan, sakit
juga”
“Sakit, tapi bukan penderitaan….”
Kemudian Markesot omong panjang tanpa memberi
peluang kepada teman-temannya untuk menyela.
“Penderitaan terjadi hanya di Akhirat kelak
kalau pengelolaan kita salah atas dunia. Maka mulai pertemuan hari ini bikin
simulasi kesengsaraan. Hanya simulasi beberapa saat. Itu pun sekedar dengan
pergi jauh ke belakang. Melompat jauh ke wilayah-wilayah di balik produksi
keenakan, kenyamanan, kesedapan dan kegembiraan itu”
“Dan wilayah itu adalah wilayah pelatihan kanuragan-kajiwan
yang sangat panjang. Yang berat dan sengsara. Yang hampir-hampir tak tersangga
dan setiap saat dibanting oleh rasa putus asa. Pelatihan-pelatihan yang bisa
sangat mengerikan agar kita pantas menjadi aktivis kehidupan sejati Akhirat”
“Tetapi harus saya ulang dan ulang lagi: tidak
ada penderitaan di dunia. Karena selama yang terasa seolah-olah penderitaan itu
membawamu kepada ingatan bahwa kau telah berbuat benar, kemudian Akhirat tampak
di depan kesadaranmu – penderitaan itu berubah menjadi gizi kesehatan.
Sepanjang manusia mengaktivasi Akhirat dalam proses perjuangan hidupnya, maka
ujung tetesan hasilnya adalah Kalimah Thayyibah. Dan Kalimah Thayyibah
meringankan yang berat, mencerahkan yang gelap, membukakan yang buntu,
menggembirakan yang tadinya serasa sengsara”
“Dunia ini hanya diklat beberapa sesi. Maka pun
tidak ada sukses di dunia. Semua bangunan peradaban, kekayaan materialisme dan
kejayaan-kejayaan pembangunan Kerajaan dan Negara, adalah tipuan sesaat,
artifisialisme dan tipu daya hologram dalam waktu. Karena beberapa saat
berikutnya akan kalian tinggalkan dan meninggalkan kalian”
“Kalau kalian tidak pernah tuntas mengalami
yang orang-orang menyebutnya kesengsaraan dunia, sebagai agenda-agenda
pelatihan untuk aktivasi kehidupan sejati yang disebut Akhirat, yakni keabadian
sesudah ujung dunia — saya bertanya: kenyamanan apa yang bisa kalian wasiatkan
kepada anak cucu dan sesama jm? Biji apa yang kalian lempar ke masa depan untuk
mereka tanam di kebun-kebun peradaban yang akan datang?”
“Ayo sekarang bangun semua”, Markesot
mengakhiri, “kita lindas dan siksa jiwa kita dengan pemandangan-pemandangan njarem
berikutnya. Lompat masuk ke arena hujan deras. Pelajarilah pergerakan dan
jurus-jurus untuk memasuki sela-sela di antara derasnya air hujan. Kalian
terus-menerus dihujani, maka sekarang berlatih agar kalian punya kemampuan
untuk mengguyurkan hujan derasnya Tuhan” []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar