Kembali
ke Jati Diri (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Karakter
atau jati diri Islam Indonesia adalah wasathiyah yang bersifat tawasuth dan
tawazun. Dalam terminologi kajian Islam di dunia internasional Islam wasathiyah
sering diterjemahkan sebagai ‘justly-balanced Islam’—‘Islam berkeseimbangan
secara adil’—atau juga ‘middle path Islam’—‘Islam jalan tengah’.
Paradigma
Islam wasathiyah berlandaskan ayat Alquran, Surah al-Baqarah (2): 143 tentang
ummatan wasathan: “Demikian pula Kami telah menjadikan kamu [umat Islam]
ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi [atas[ perbuatan manusia dan agar
Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu”.
Seperti
dikemukakan Profesor Mohammad Hashim Kamali dalam The Middle Path of Moderation
in Islam: The Qur’anic Principle of Wasatiyyah (2015), penyebutan umat Islam sebagai
ummatan wasathan (midmost community) juga berarti sebagai umat terbaik yang
pernah diciptakan Allah (Alu ‘Imran 3: 110). Hal ini tidak lain karena umat
Islam didedikasikan untuk peningkatan kebajikan dan pencegahan kemungkaran,
pembangunan bumi untuk kesejahteraan manusia, dan penegakan keadilan di muka
bumi.
Jati diri
sebagai ummatan wasathan berdasarkan prinsip wasathiyah didefinisikan Kamali
sebagai; “postur direkomendasikan yang terwujud dalam diri orang yang memiliki
naluri dan intelek yang sehat, yang ditandai dengan ketidaksukaan pada
ekstrimisme dan kecerobohan yang nyata”.
Wacana
dan paradigma mengenai Islam wasathiyah relatif baru. Pembicaraan tentang
subyek ini mulai berkembang sejak awal abad 20, disinggung dalam berbagai karya
pemikir di Dunia Arab semacam Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad al-Madani,
Muhammad Syaltut, Yusuf al-Qaradhawi dan Wahbah al-Zuhayli.
Menurut
Wahbah al-Zuhayli, “dalam percakapan umum di antara kalangan masyarakat di masa
kita, wasathiyah berarti moderasi dan keseimbangan (i’tidal) dalam keimanan,
moralitas dan karakter; dalam cara memperlakukan orang lain; dan dalam sistem
terapan tatanan sosial-politik dan tata pemerintahan”.
Kebalikan
wasathiyah adalah ekstrimisme (tatharruf) yang menurut pandangan Islam dapat
berlaku bagi siapapun yang melewati batas dan ketentuan syari’ah. Tatharruf
juga berlaku bagi orang yang melewati batas moderasi, pandangan mayoritas umat
(ra’y al-jama’ah); dan juga bagi orang yang bertindak dalam norma dan praktik
lazim sudah berlebih-lebihan dan aneh.
Muncul
dan berkembangnya wacana tentang ummatan wasathan dan Islam wasathiyah di Timur
Tengah merupakan respon intelektual terhadap kecenderungan meningkatnya
ekstrimisme di kalangan Muslim di kawasan tersebut. Meski pada tingkat intelektual
keislaman konsep ummatan wasathan dan Islam wasathiyah diterima, namun dalam
praktiknya susah terlaksana.
Kesulitan
penerapan paradigma Islam wasathiyah dan ummatan wasathan di berbagai kawasan
Muslim di Timur Tengah atau Asia Selatan terkait dengan kuatnya sektarianisme
keagamaan, kabilah, sosial, budaya dan politik. Sektarianisme yang ada
berlapis-lapis baik intra-umat Islam sendiri maupun antara umat Islam dengan
umat-umat agama lain.
Keadaan
ini berbeda dengan umat Islam Indonesia yang umumnya menerapkan Islam
wasathiyah. Tradisi umat Islam Indonesia sebagai ummatan wasathan telah
terbentuk melalui perjalanan sejarah amat panjang.
Tradisi
ini dimulai dengan proses Islamisasi yang berlangsung damai dengan melibatkan
banyak akomodasi dan akulturasi dengan budaya lokal. Proses seperti ini di masa
awal memunculkan gejala sinkretisme dengan kepercayaan dan praktek agama lokal.
Tetapi sepanjang sejarah pula berlangsung gelombang demi gelombang pembaharuan
Islam, yang pada inti bertujuan membawa pemikiran dan praktek kaum Muslimin
Indonesia kian lebih dekat dan menjadi lebih sesuai dengan ortodoksi Islam.
Proses-proses
inilah kemudian memunculkan ortodoksi Islam Indonesia. Meski dalam
prinsip-prinsip pokok aqidah dan ibadah hampir tidak ada beda antara kaum
Muslimin Indonesia dengan saudara-saudara seiman-seislam mereka di
tempat-tempat lain, jelas pula terdapat distingsi Islam Indonesia.
Salah
satu distingsi utama kaum Muslimin Indonesia itu adalah kepenganutan pada
paradigma Islam wasathiyah. Dengan paradigma dan praksis wasathiyah, umat Islam
Indonesia dapat tercegah dari sektarianisme keagamaan, kesukuan dan
sosial-politik yang bernyala-nyala. Karena itulah kaum Muslimin Indonesia yang
memiliki kecenderungan pemahaman dan praktik keislaman yang berbeda dalam hal
ranting (furu’iyah) terhindar dari pertikaian dan konflik yang bisa tidak
berujung.
Dengan
distingsi wasathiyah itu pula arus utama Muslim Indonesia dapat bersikap
inklusif, akomodatif dan toleran pada umat beragama lain. Tanpa kepenganutan
pada Islam wasathiyah, dengan realitas demografis Muslim sebagai mayoritas
absolut penduduk di negeri ini sulit dibayangkan bisa terwujud negara-bangsa
Indonesia. []
REPUBLIKA,
17 November 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar