Demokrasi
Kita
Oleh:
Budiarto Shambazy
Gubernur
DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama akhirnya ditetapkan sebagai tersangka
dalam perkara dugaan penistaan agama akibat pidatonya di Kepulauan Seribu. Suka
atau tidak, hasil gelar perkara 15 November lalu semestinya dihormati dan
dikawal sampai kasus ini selesai 100 persen di meja hijau.
Dengan
demikian, tidak ada dalih lagi untuk mengerahkan massa seperti yang terjadi
pada aksi damai 4 November silam. Sementara beredar kabar akan terjadi lagi
demonstrasi besar alias Aksi Bela Islam ke-3, pada 25 November atau 2 Desember
mendatang.
Sekiranya
benar sudah dirancang akan berlangsung lagi, demonstrasi seperti itu tak perlu
kolosal. Cukup seperti unjuk rasa yang nyaris terjadi setiap hari di sekitar
Monas yang melibatkan pendemo dalam jumlah terbatas.
Kepolisian
telah bekerja secara profesional, begitu juga tentunya pengadilan kelak ketika
Basuki diajukan ke meja hijau. Kita negara demokrasi yang menjunjung tinggi
hukum, bukan mobokrasi yang mengandalkan pengerahan massa pemaksa kehendak.
Terbukti pula
Basuki tidak pernah, juga tidak akan, dilindungi Presiden Joko Widodo ataupun
oleh aparat keamanan. Bahwa Presiden Jokowi sebagai kader Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendukung Basuki sebagai cagub yang didukung PDI-P
juga, itu tentu benar.
Kita akan
menyelenggarakan 101 pilkada serentak pada 15 Februari 2017, termasuk DKI.
Kampanye sudah dimulai dan pengerahan massa, baik sengaja maupun tidak, telah
terjadi hari-hari ini di hampir semua lokasi di Ibu Kota.
Betul,
pilkada di daerah mana pun, ya, sama saja. Namun, pilgub Jakarta menjadi
istimewa karena statusnya sebagai ibu kota negara yang vital, strategis, dan
menjadi barometer republik ini. Ada tiga cagub/cawagub yang berkompetisi,
termasuk duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat.
Duet lainnya
Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Mereka
mempertarungkan gagasan dan program melalui kampanye yang mengandalkan
kerumunan massal tanpa harus diganggu oleh perkara penistaan agama atau isu-isu
SARA lainnya.
Juga
jangan sampai kampanye Pilgub DKI menjadi gerakan "asal bukan" oleh
kerumunan massal. Telah berkali-kali terjadi penolakan kerumunan massal
terhadap kedatangan duet Basuki-Djarot untuk berkampanye di sejumlah tempat,
sebuah kemunduran demokrasi kita yang dilakukan para pemaksa kehendak.
Kita
selayaknya wajib menjaga "rekor nasional" tidak pernah terjadi
kerusuhan saat kampanye pemilu, kecuali kerusuhan kecil di Lapangan Banteng
dalam kampanye Pemilu 1982. Seperti terbukti pada kerusuhan Lapangan Banteng,
selalu ada penunggang.
Makanya
Presiden Jokowi juga menyebut penunggang atau aktor di belakangan kerusuhan
kecil yang terjadi setelah aksi damai 4 November selesai. Polisi telah
mengamankan beberapa tersangka yang diduga membuat rusuh.
Ketika
saya berada di antara pendemo aksi damai 4 November, tidak begitu terasa ada
suasana mencekam. Meskipun teriakan, tulisan spanduk/poster, dan orasi terasa
lantang, toh para pendemo Aksi Bela Islam ke-2 itu berperilaku tertib. Oleh
sebab itu, sayang aksi damai mereka dinodai kerusuhan kecil tersebut. Andai
saja kerusuhan tidak pecah, semua orang akan mengacungkan jempol untuk aksi
damai itu.
Akibat
kerusuhan kecil itu, akhirnya kita semua ikut tegang, repot, dan curiga. Kita
menjadi bangsa terbelah, terutama ketika mengikuti pro dan kontra tentang apa
yang sesungguhnya terjadi pada kerusuhan kecil itu di media sosial.
Tentu
saja Presiden Jokowi yang paling repot. Ia segera menggalang konsolidasi
internal dengan mengunjungi berbagai kesatuan TNI-Polri dan ormas-ormas Islam
setelah demo 4 November.
Presiden
menggalang konsolidasi selaku panglima tertinggi dan sebagai Kepala Negara yang
siap silaturahim dengan berbagai ormas ataupun tokoh nasional, ketimbang doing
nothing. Kepemimpinan seorang presiden diuji bukan pada saat kondisi politik
stabil, tetapi juga saat krisis.
Memang
tak mudah menggalang konsolidasi di negara dengan sekitar 17.000 pulau dengan
populasi beraneka etnis dan agama, dari Sabang sampai Merauke. Mustahil seorang
presiden yang menjabat selama lima tahun mampu memuaskan keinginan semua
golongan yang merasa paling benar dan memaksakan kehendak sendiri.
Presiden
Soekarno mati-matian menggalang keindonesiaan dengan cara mengunjungi
sebanyak-banyaknya rakyat di beberapa provinsi selama 10 tahun sejak
Proklamasi. Presiden Soeharto pun menggalang konsensus nasional baru pasca-1965
selama era krisis tiga tahun sampai menjadi Kepala Negara yang sah tahun 1968.
Betapa
pun, kita butuh kepemimpinan nasional yang tegas dan berani di kala menghadapi
krisis sekecil apa pun. Secara konstitusional, konsolidasi yang dilakukan
Presiden Jokowi dapat dipertanggungjawabkan.
Sekali
lagi, apa yang terjadi pada malam setelah isya 4 November lalu adalah krisis
yang segera ditangani Presiden Jokowi. Sempat terdengar spekulasi kerusuhan
kecil itu direkayasa untuk memicu kerusuhan lebih besar yang dapat memicu
instabilitas politik, dengan harapan semua kesalahan ditimpakan kepada Presiden
Jokowi.
Ternyata
sasaran itu tidak tercapai. Ini kegagalan yang kembali berulang karena kerap
terjadi sejak era Reformasi, ketika setiap presiden dihadang berbagai upaya
untuk didongkel baik konstitusional maupun tidak-termasuk pemakzulan terhadap
Presiden Abdurrahman Wahid.
Semestinya
demokrasi kita setelah era Reformasi melangkah ke depan alias tak lagi jalan di
tempat. Apa boleh buat, demokrasi kita masih berbasis "demo" yang
memancing mobokrasi, yang diintai mata-mata gelap yang bernafsu memicu
kerusuhan massal sembari berjudi mengambil untung. []
KOMPAS,
19 November 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan
Senior KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar