Syrianisasi di Indonesia?
Oleh:
Said Aqil Siroj
PADA Kamis (20/10/2016)
pagi, seorang terduga teroris yang berasal dari kalangan Anshor Daulah
Indonesia (ADI/simpatisan ISIS) menyerang Kapolsek Tangerang dan dua anggotanya
di Pos Polisi Yupentek, Cikokol, yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan,
Tangerang.
Penyerangan
itu dapat menjadi potret masa depan situasi di Indonesia seandainya ISIS
berhasil menjadikan Indonesia sebagai Syria jilid II. Sebelum semuanya
terlambat, semua upaya syrianisasi Indonesia yang sedang dilakukan oleh para
simpatisan ISIS harus dihentikan.
Kenali
Strategi dan Taktik
Mengenali
strategi dan taktik para simpatisan ISIS untuk mengubah Indonesia menjadi medan
konflik seperti Syria merupakan langkah awal dalam menanggulangi bahaya ISIS
dan para simpatisannya. Strategi besar para simpatisan ISIS dalam proyek
syrianisasi Indonesia meliputi propaganda kebencian (hate speech),
seruan melakukan kekerasan (hate crime), dakwah takfiri (pengafiran),
penciptaan teror sosial, dan penggulingan pemerintah.
Propaganda
yang dimotori ISIS itu bersifat masif, baik melalui penerjemahan buku-buku,
majalah-majalah ISIS seperti Dabiq (edisi 1-16), bahkan media-media sosial,
termasuk grup-grup Telegram dan WhatsApp untuk menjangkau target yang lebih
luas sekaligus menghindari pantauan dan pelacakan aparat kepolisian. Buku
berjudul Ayaturrahman Fi Jihadis Suriah (Karomah Jihad di Suriah) adalah salah
satu di antara sekian banyak propaganda yang sangat menguntungkan bagi para
pembela ISIS di Indonesia.
Selain
itu, dakwah takfiri tersebut bertujuan merekrut anggota-anggota baru dan
menyiapkan umat Islam Indonesia agar menerima paham takfiri ISIS. Melalui
kajian-kajian di beberapa masjid dan diskusi-diskusi online dalam grup-grup
Telegram seperti Grup Pembela Tauhid (GPT), Grup Khilafah Islamiyyah (KI), dan
Grup Mudik Bareng, para simpatisan ISIS mengajak masyarakat untuk turut
mendukung ISIS sekaligus mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan
mereka.
Karena itulah,
saya tidak heran mengapa selama ini para simpatisan ISIS mengafirkan
tokoh-tokoh Islam moderat dari kalangan semisal NU, Muhammadiyah, atau MUI.
Jangankan ormas-ormas tersebut, tokoh-tokoh dari ormas-ormas yang selama ini
dilabeli sebagai kelompok radikal semacam FPI, Jamaah Ansharusy Syariah (JAS),
dan Jemaah Islamiyah pun mereka kafirkan. Bagi para simpatisan ISIS, terutama
yang berasal dari jamaah Amaniyyun (para pengikut paham takfiri Aman
Abdurrahman), siapa pun yang tidak sepaham dengan kelompok mereka masuk
golongan kafir.
Sambil
terus menyebarkan ajaran takfiri, para simpatisan ISIS berusaha sekuat tenaga
untuk menciptakan teror sosial di Indonesia. Mereka percaya dapat beroperasi
dengan baik di Indonesia hanya kalau dalam keadaan kacau dan konflik sosial
merajalela. Skenario lain ISIS adalah memainkan sentimen keagamaan untuk
mengadu domba antar pemeluk agama dan antar pengikut aliran keagamaan di
Indonesia. Di Syria, skenario ISIS itu berhasil.
Di negara
itu, ISIS membenturkan umat Islam dengan umat agama lain, kaum Sunni dengan
kaum Syiah, dan kelompok takfiri dengan kelompok salafi jihadi. Di Indonesia,
simpatisan ISIS memprovokasi dan menunggangi kelompok-kelompok masyarakat yang
anti-Bhinneka Tunggal Ika untuk membuat kekacauan sosial.
Jika
Indonesia berhasil dibuat chaos dengan balutan sentimen agama, mereka berharap
lebih mudah mengganti pemerintahan Indonesia yang sah dengan tiga strategi
perang yang diadopsi dari ISIS di Timur Tengah. Yaitu, perang konvensional,
perang gerilya, dan serangan teror. Nah, saat berhasil menguasai Indonesia,
ISIS akan memusnahkan anak bangsa yang selama ini tidak sejalan dengannya.
Segera
Bertindak
Untuk
mencegah ISIS mengubah Indonesia yang damai menjadi Syria kedua yang
berdarah-darah, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah tegas berikut.
Pertama, pemerintah perlu mengidentifikasi dai-dai simpatisan ISIS di Indonesia
yang aktif menyebarkan paham takfiri.
Kedua,
pemerintah perlu memonitor dai-dai tersebut dan segera melakukan tindakan hukum
ketika ceramah-ceramah mereka berisi anjuran untuk melukai atau menghilangkan
nyawa orang lain dan mengagung-agungkan aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh
ISIS. Ketiga, melalui kerja sama dengan DKM-DKM, pemerintah perlu segera
menutup kajian-kajian takfiri/terkait ISIS yang selama ini diselenggarakan di
masjid-masjid.
Keempat,
pemerintah perlu mengambil langkah hukum yang tegas terhadap kelompok-kelompok
anti-Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini ditunggangi agenda ISIS ketika mereka
telah terbukti melakukan pelanggaran hukum. Kelima, para tokoh ormas Islam
perlu berpikir secara cerdas dalam menjalankan aktivitas dakwah masing-masing.
Jangan sampai kegiatan-kegiatan dakwah mereka (tablig akbar dan kaderisasi)
tanpa disadari justru ikut serta menciptakan kondisi sosial yang diharapkan
oleh ISIS. Sebaiknya isu-isu keagamaan yang sensitif seperti isu-isu Ahmadiyah,
Syiah, aliran kepercayaan, nonmuslim, dan sejenisnya didakwahkan dalam konteks
Bhinneka Tunggal Ika. Apabila isu-isu itu dipolitisasi dengan menggunakan
kacamata Timur Tengah, kekacauan sosial karena sentimen keagamaan sangat
berpotensi untuk muncul di wilayah-wilayah Indonesia.
Keenam,
pemerintah harus segera melokalisasi setiap kerusuhan sosial yang terjadi, apa
pun latar belakangnya, dan memproses secara hukum setiap pihak yang terlibat
tindak pidana yang terkait dengan kerusuhan tersebut tanpa pandang bulu. []
JAWA POS,
14 November 2016
Said Aqil
Siroj | Ketua
Umum PB Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar