Deradikalisasi
Pemahaman Ajaran Agama
Oleh: Nasaruddin Umar
PEMAHAMAN ajaran
agama di dalam media-media sosial pada dekade terakhir cenderung
memprihatinkan. Radikalisasi pemahaman makna ajaran agama yang kita yakin pasti
di-posting orang-orang yang belum memahami hakikat dan kedalaman makna holistis
ajaran agama. Ironisnya, isu radikalisasi pemahaman ajaran agama tidak
diimbangi dengan deradikalisasi pemahaman ajaran agama.
Keprihatinan kita
bukan hanya terjadi di dalam agama Islam, melainkan juga pada agama-agama lain.
Tidak tertutup kemungkinan ketegangan antara umat beragama akan semakin dipicu
dalil-dalil agama yang sudah dikemas sedemikian rupa.
Bagaimana mungkin
kitab suci yang bersumber dari Tuhan yang sama bisa dipahami berhadap-hadapan
satu sama lain. Kelompok-kelompok moderat atau religious scholars tiap-tiap
agama seolah tidak berdaya mengungkapkan apa adanya tentang kitab suci karena
sudah disandera kelompok minoritas. Kita sangat menyayangkan.
Mestinya agama tampil
sebagai spiritual oase yang menawarkan pencerahan, tetapi bisa berbalik menjadi
pemicu konflik. Nilai-nilai agama yang seharusnya tampil sebagai faktor
sentripetal yang menyatukan, tetapi bakal menjadi faktor sentrifugal yang
memecah belah umat dan warga bangsa.
Meluruskan makna
jihad
Jihad sering kali
diperkenalkan sebagai perjuangan yang harus melahirkan korban, kalau perlu
melayangkan nyawa. Padahal, jihad sesungguhnya bertujuan menghidupkan orang,
bukan untuk mematikan.
Jihad ialah kosa kata
yang amat mulia dan luhur. Jihad berasal dari bahasa Arab dari akar kata
jahada, berarti bersungguh-sungguh. Akar kata itu membentuk tiga kata kunci,
yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan
mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani). Ketiga kata tersebut
mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan.
Jihad yang sebenarnya
tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan
bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah. Jihad tanpa
perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar daripada manfaat,
sesungguhnya tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi hanya tindakan nekat yang
dilegitimasi dengan ayat atau hadis atau lebih tepat disebut perbuatan sia-sia,
atau bahkan keonaran (al-fasad).
Jihad bertujuan
mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan,
apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sinergi antara
jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad
Rasulullah selalu berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan
perundingan ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.
Jihad Rasulullah
lebih mengedepankan pendekatan soft of power. Ia lebih banyak menyelesaikan
persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristis. Ia selalu
mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi.
Bentrok fisik selalu
menjadi alternatif terakhir. Itu pun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa
harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar
tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak
merusak tanaman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.
Kalau musuh sudah
angkat tangan, apalagi kalau sudah bersyahadat, mereka tidak boleh lagi
diganggu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usamah,
lantaran Usamah membunuh musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat.
Nabi bersabda: "Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum
apa yang tak tampak (akidah)". Akhlaqul karimah tidak pernah ia
tinggalkan, sekali pun di medan pertempuran.
Keluhuran dan
kemuliaan jihad tak perlu diragukan. "Seseorang yang gugur di medan jihad
akan langsung masuk surga, bahkan kalau terpaksa, tidak perlu dikafani, cukup
dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimana pun yang bersangkutan
akan langsung masuk surga", kata Rasulullah SAW.
Namun, kekuatan
ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik.
Nabi secara arif pernah
menyatakan, "Goresan tinta pena ulama lebih mulia daripada percikan darah
para syuhada."
Demikian pula
kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan seusai dengan sebuah peperangan
hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang
lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu." Menaklukkan hawa nafsu bagian dari
fungsi mujahadah.
Di antara contoh
kegiatan mujahadah ialah amalan-amalan rohaniah (riyadlah), pembersihan jiwa
(tadzkiyah al-nafs), kontemplasi, atau meditasi (halwat), perenungan terhadap
alam ciptaan Tuhan (tadabur alam), dan memperbanyak frekuensi ibadah mahdlah,
seperti salat, puasa, doa, dan zikir.
Di antara upaya untuk
mencegah konflik keagamaan ialah memahamkan kepada masyarakat luas bahwa jihad
yang merupakan kewajiban agama tidak mesti harus menerjunkan diri dalam
perjuangan fisik. Jihad bisa dilakukan melalui pemikiran dan harta atau usaha
lain yang bertujuan mencapai tujuan jihad itu sendiri.
Deliberalisasi untuk
deradikalisasi
Dalam kenyataan,
tidak sedikit kelompok garis keras atau sering disebut radikal melakukan aksi
mereka sebagai reaksi dari kecemasan mereka terhadap gerakan liberalisasi di
dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kelompok
liberal juga beralasan sama, gerakan liberal yang dilakukan ialah antitesis
terhadap maraknya gerakan radikalisme di dalam masyarakat. Kedua kelompok itu
sama-sama melibatkan agama sebagai salah satu sasaran dan sekaligus dasar
gerakan dan aksi.
Termasuk kategori liberal
membiarkan para pelanggar dan penista agama berkeliaran seolah tampil kebal
hukum. Kelompok garis keras khawatir akan terjadi pendangkalan akidah umat
dengan semakin meluasnya gerakan liberal. Kekhawatiran mereka terlalu jauh
membayangkan akan terjadi deislamisasi jika tidak dilakukan proteksi dalam
bentuk gerakan.
Seiring dengan itu,
kelompok-kelompok garis keras juga diduga dipicu dengan maraknya ideologi
transnasional. Terlepas ada atau tidak adanya hubungan ideologi transnasional,
perkembangan sains dan teknologi memungkinkan kelompok garis keras lokal
mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang sama yang ada di luar negeri.
Semakin kuat gerakan
liberal semakin kuat pula respons kelompok garis keras melancarkan proteksi.
Karena itu, salah satu upaya untuk meredam semangat dan kekuatan garis keras
atau radikal ialah mengatur laju perkembangan masyarakat tanpa kesan kuat
terjadinya liberalisasi. Dengan kata lain, deliberalisasi bisa menjadi salah
satu upaya menekan dan mengeliminasi kelompok garis keras atau radikalisme di
dalam masyarakat.
Bagi bangsa
Indonesia, kedua kelompok ini lebih membebani kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia karena keduanya bukan merupakan watak dasar bangsa Indonesia.
Bahkan, watak dasar budaya Indonesia ialah menganut sistem kekerabatan dan
kekeluargaan. Segala sesuatu dapat diselesaikan dengan prinsip musyawarah dan
mufakat.
Adat-istiadat lokal
bangsa Indonesia tidak pernah menoleransi cara-cara kekerasan di dalam
menyelesaikan persoalan. Pada saat bersamaan, watak dasar bangsa Indonesia yang
dikenal menjunjung tinggi etika ketimuran dalam arti mengedepankan kesantunan
publik dan kesantunan sosial.
Liberalisasi gaya
hidup dan tidak sejalan dengan watak dan budaya bangsa. Namun, tidak berarti
Indonesia antiperkembangan dan kemodernan. Indonesia berkembang di antara kedua
aliran yang sering berhadap-hadapan ini.
Radikalisme ialah
sebuah paham yang berusaha memahami dalil-dalil dan ajaran agama lebih ketat
sehingga melahirkan pandangan dan perilaku keagamaan yang tegas dan keras
(radikal). Sementara itu, liberalisme ialah sebuah paham yang bersusah memahami
dalil-dalil dan ajaran agama lebih longgar sehingga melahirkan pandangan dan
perilaku keagamaan yang sangat moderat (liberal).
Kedua aliran itu
mempunyai kelompok pendukung di dalam masyarakat.
Bahkan, keduanya
memiliki kelompok fanatik yang mengklaim aliran merekalah yang paling benar dan
berusaha merumuskan logika untuk memperkuat pendapatnya sambil mencari
kelemahan kelompok selainnya.
Kelompok radikal,
yang biasa juga disebut garis keras atau fundamentalis, selalu berusaha dan
berjuang membentengi umat dengan berbagai jargon, seperti kembali kepada Quran
dan sunah, kelompok pembela Islam, amar makruf nahi munkar, fisabilillah,
kelompok mujahidin, pembela Islam, dan berbagai jargon keagamaan lainnya.
Yel-yelnya juga menggunakan kalimat-kalimat suci seperti Allahu Akbar, dan
yel-yel lainnya.
Sementara itu,
kelompok liberal selalu berusaha memperkenalkan ide-ide di dalam masyarakat
bahwa Islam ialah agama kemanusiaan. Islam ialah agama yang menjunjung tinggi
nilai-nilai logika dan kemanusiaan. Jika seandainya ada dali-dalil agama yang
bertentangan atau tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, yang harus
dimenangkan ialah pemahaman yang prokemanusiaan.
Sebagai bangsa dan
negara religius, Indonesia membutuhkan pola manajemen tersendiri di dalam
mengatasi kemungkinan timbulnya ketegangan konseptual antara kedua aliran
tersebut. Diperlukan peraturan dan perundang-undangan yang tepat guna mengatasi
hubungan antaraliran di dalam kehidupan bermasyarakat.
Demaskulinisasi wajah
agama
Bagaikan sebuah mata
uang, agama memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu wajah maskulin dan wajah
feminin. Wajah agama seperti ini mengikuti 'wajah' Tuhan yang juga memiliki dua
wajah, oleh kaum spiritual disebut dengan wajah ketegaran (jamaliyah/yang) dan
wajah kelembutan (jamaliyah/yin). Tidak mengherankan jika umat beragama
menampilkan dua wajah, yaitu wajah keras dan wajah lembut. Idealnya kedua
komponen ini sama dan sebangun.
Dalam Islam, keutuhan
kedua komponen ini ditampilkan Nabi Muhammad SAW, yang dilukiskan di dalam
Alquran: Asyidda' 'ala al-kuffari ruhamaau bainahum (Bersikap tegas terhadap
kaum kafir dan bersikap lembut kepada sesama mereka).
Dualitas kualitas
Tuhan mempunyai makna yang sangat mendasar dalam dunia kemanusiaan. Seseorang
tidak boleh sembrono di dalam menjalani kehidupannya karena meskipun Tuhan
Mahapengasih lagi Mahapenyayang, tetapi dalam kualitas-Nya yang lain Tuhan juga
Mahapemaksa (al-Qahhar) dan Mahapendendam (al-Muntaqim).
Wajah dan kualitas
maskulin dan feminin pada diri Tuhan ternyata juga ikut menghiasi kualitas
manusia. Secara personal manusia memiliki dualitas di dalam dirinya, paralel
dengan dua wajah Tuhan dan dua wajah agama tadi. Manusia memiliki kualitas
kejantanan dan ketegaran (masculinity/struggling) dan kualitas kelembutan dan
kepengasihan (femininity/nurturing).
Nama-nama indah Allah
SWT yang dikenal dengan al-Asma' al-Husna yang berjumlah 99, dapat
dikategorikan dalam dua kategori, yaitu jalaliyyah dan jamaliyyah. Hanya,
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan dalam Alquran lebih
menonjolkan sifat-sifat jamaliyyah.
Tuhan bukan hanya
memiliki sifat-sifat maskulin (The Father of God), melainkan juga memiliki,
bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin (The Mother of God).
Dalam sebuah masyarakat
fiqih oriented seperti sering diatributkan kepada umat Islam Indonesia,
sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Mahabesar
(al-Kabir), Mahaperkasa (al-'Aziz), dan Mahapembalas/Pendendam (al-Muntaqim).
Bukannya menonjolkan sifat-sifat feminitas-Nya, seperti Tuhan Mahapenyayang
(al-Rahman), Mahalembut (al-Lathif), dan Mahapemaaf (al-'Afuw), sehingga Tuhan
lebih menonjol untuk ditakuti daripada dicintai.
Efek psikologis yang
muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi
diri dengan The Father of God, yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan
strugling, bukannya dengan The Mother of God, yang mengambil ciri berserah
diri, kasih, dekat, dan nurturing.
Idealnya, komposisi
kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya
keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam diri Tuhan, seperti tecermin di
dalam al-asmaul husna dan sebagaimana juga dipraktikkan Rasulullah SAW.
Idealnya, manusia yang memiliki kapasitas sebagai hamba dan khalifah mengadopsi
kedua kualitas tersebut secara proporsional.
Sebagai hamba manusia
tidak sepantasnya merasa dan menonjolkan sifat-sifat maskulin dan kejantanan di
hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Manusia harus
menonjolkan sikap feminin dan kelembutan di hadapan Tuhan.
Sebagai khalifah,
manusia tentu harus memiliki sikap maskulin dan ketegaran. Sebab bagaimana
manusia bisa sukses mengatur alam semesta tanpa ketegaran.
Dosis penampilan
kualitas maskulin tidak pernah boleh meninggalkan kualitas feminin, sebagaimana
Tuhan sendiri mencontohkannya. Dalam QS Al-fatihah, Tuhan sebagai pribadi ialah
Mahapengasih dan Penyayang (Bi ism Allah al-rahman al-rahim) dan kapasitas
diri-Nya sebagai Tuhan juga Mahapengasih dan Mahapenyayang (Rab al-'alamin,
al-rahman al-rahim). Karena itu, kita harus mencontoh sifat dan karakter Tuhan,
lebih dominan menampakkan wajah feminin ketimbang wajah maskulin-Nya.
Mengkritisi pola
pendidikan agama
Setiap negara
menerapkan pola deradikalisasi, tapi tema dan objek deradikalisasi memiliki
persamaan dan perbedaan satu sama lain. Pada umumnya, tema deradikalisasi
berkisar pada pemahaman kembali ajaran-ajaran dasar agama yang bersifat
universal. Di dalam Islam, diupayakan untuk memahami kembali ayat-ayat dan
hadis yang dipahami secara tekstual dan memutuskan historical background dan
maqashid al-syari'ah.
Sasaran
deradikalisasi biasanya kurikulum dan bahan ajar seperti buku-buku, jurnal,
materi-materi ceramah. Tidak terkecuali orang dan lembaga juga sering menjadi
sasaran deradikalisasi seperti yang kita lihat di dalam sejumlah negara.
Penetapan kurikulum
dan bahan bacaan hampir semua negara melakukan persiapan dengan baik, termasuk
Indonesia. Hanya, cara masuknya berbeda-beda. Ada negara yang menyisir
kurikulum dan silabus dengan mendrop seluruh materi yang berpotensi bisa
menimbulkan pemahaman keras. Ada juga cara-cara memberikan perbandingan
pendapat atau pandangan lain meskipun dalilnya sama. Cara-cara seperti umum
dilakukan, termasuk di Indonesia. Materi perbandingan mazhab (muqaranah
al-madzahib) menjadi materi penting di dalam pembelajaran agama.
Materi pengenalan
dasar agama-agama lain juga diperkenalkan atau diajarkan di dalam jenjang
pendidikan tertentu agar peserta didik tidak hanya mengenal kebaikan agamanya
sendiri, tetapi pada agama lain terdapat juga ajaran kebaikan.
Sumber-sumber bacaan
dan terbitan juga dikendalikan dengan cara menyeleksi bahan-bahan bacaan
peserta didik. Tentu dengan cara ini tidak mudah karena bahan bacaan sekarang
tidak hanya dalam bentuk buku yang gampang diatur pendistribusiannya. Lebih
berat ialah dalam bentuk buku elektronik atau internet, yang bisa menyuguhkan
apa pun, termasuk bagaimana cara merakit bom.
Terbukti sejumlah
kasus kejadian bom pelakunya mengaku belajarnya dari internet. Orang yang
berbakat dan memiliki keinginan dan motivasi kuat bisa saja menemukan ide-ide
cerdas melalui internet. Sementara itu, internet sekarang sudah sangat personal
karena melekat di dalam ponsel yang diakses kapan saja dan di mana saja.
Semua serbamudah dan
murah bahkan gratis. Target lain yang sering dijadikan sasaran ialah
orang-orang atau kelompok, yayasan, lembaga yang dicurigai memiliki jaringan
khusus yang berpotensi menggalang kekuatan untuk menciptakan keresahan dengan
melakukan serangkaian kekerasan atau ancaman kekerasan di dalam masyarakat.
Target mereka ialah menimbulkan kepanikan dan ketakutan publik. Dengan begitu,
mereka menganggap separuh target sudah tercapai.
Karena itu, peran
media juga sangat penting. Media bisa menemukan sarang teroris atau
kelompok-kelompok mengkhawatirkan, tetapi dengan media juga kelompok-kelompok
itu menjadi besar karena selalu dibesar-besarkan dan didramatisasi.
Hal lain yang sering
menjadi tema ialah masalah pencegahan, penindakan, rehabilitasi, dan
reintegrasi. Keempat persoalan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak
keamanan atau pemerintah, melainkan juga semua pihak, termasuk lingkup keluarga
sebagai unit masyarakat terkecil.
Pencegahan,
penindakan, dan rehabilitasi bisa saja diemban pemerintah bersama segenap
aparat hukum dan keamanan, tetapi masalah reintegrasi harus menjadi bagian yang
tak terpisahkan dengan masyarakat luas.
Di sini sering muncul
masalah penting dan amat mendesak karena rata-rata pelaku teroris itu masih
mudah usia sehingga kalau mereka dipenjara lima tahun, misalnya, mereka masih
memiliki usia yang cukup panjang. Jika masyarakat menolak kehadiran mereka,
tidak mustahil mereka akan mencari kembali jaringan lama. Bagaimana pun mereka
manusia biasa yang membutuhkan hak-hak hidup yang standar seperti makan, minum,
berkeluarga, dan bersosialisasi. Jika mereka ditolak masyarakat, mereka mau ke
mana? []
MEDIA INDONESIA, 18
November 2016
Nasaruddin Umar
; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar