Hujan Deras Mengelilingi Ka’bah
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kita masih merenungi hutan belantara dan hujan deras, dan untuk
anak cucuku dan para jm kutuliskan kisah kecil seorang Bapak mengantarkan
anaknya berjalan menuju Hajar Aswad. Syarat membacanya adalah teguhnya
pengetahuan dan keyakinan bahwa tidak ada kekuatan yang benar-benar kekuatan,
dan tidak ada kekuasaan yang sungguh-sungguh kekuasaan selain milik Tuhan.
Tidak ada apapun dalam kehidupan ini yang berlaku, terjadi dan
berlangsung, selain yang direncanakan oleh Allah, diizinkan, dibiarkan atau
disengaja oleh Tuhan untuk maksud-maksud yang mungkin masih dirahasiakan.
Tidak ada mukjizat, tidak ada karomah, tidak ada ma’unah atau
fadhilah apapun sepanjang sejarah dan di zaman apapun kecuali yang sejatinya
milik-Nya namun sesekali dipinjamkan oleh-Nya kepada hamba-Nya untuk
kemauan-kemauan yang para makhluk dipersilahkan mencari dan menelusurinya,
dalam jangka waktu hingga hari kiamat.
Tidak ada Nabi Muhammad membelah bulan kecuali Tuhanlah yang
membelah. Tidak ada di tangan Nabi Musa tongkat sakti melainkan Tuhanlah
pencipta dan pemilik sejati tongkat yang Ia muati kesaktian.
Tidak ada Nabi Isa menghidupkan orang mati kecuali Tuhan sendiri
satu-satunya yang mampu dan berhak untuk menghidupkan dan mematikan.
Tidak ada Nabi Sulaiman bercengkerama dengan semut, semua hewan,
Jin dan Malaikat, kecuali Tuhanlah yang mempersambungkan komunikasi di antara
mereka. Tidak ada Nabi Yusuf yang wajahnya sangat ganteng kecuali keindahan
wajah Allah sendiri yang diusapkan ke muka Nabi Yusuf.
***
Tidak ada Bapak yang sanggup menyembelih anaknya dan tidak ada
anak yang mampu ikhlas disembelih oleh Bapaknya, kecuali Tuhan sendiri yang
menganugerahkan kekuatan hati kepada Nabi Ibrahim dan meniupkan keikhlasan ke
dalam jiwa Nabi Ismail.
Pun tidak ada penguasa di bidang apapun di muka bumi yang
semena-mena menipu rakyatnya, kecuali Tuhan memberinya tunda-waktu dengan
maksud rakyat harus menelitinya dengan kecerdasan dan kepekaan.
Tidak ada Pemerintah, Kaisar, Jenderal, Raja, Presiden,
Konglomerat dan siapapun yang sejati menguasai dunia, kecuali Tuhan sedang
memegang kedua kaki mereka atau mencengkeram leher mereka sampai waktu yang Ia
tentukan untuk membenturkan mereka ke tembok kebenaran-Nya.
Tidak ada kegagahan yang sejati dan abadi, tidak ada kehebatan
yang sejati dan abadi, tidak ada kesaktian keampuhan kemegahan yang sejati dan
abadi, kecuali Tuhan meminjamkannya untuk menguji mereka yang diuji.
Tidak ada yang kelihatan dan tak kelihatan, tidak ada yang sepi
atau yang terdengar, tidak ada yang terang benderang atau yang tersembunyi,
tidak ada yang transparan atau yang rahasia, tidak ada yang wujud atau yang
gaib, bahkan tidak apapun dan tidak ada tiada apapun, kecuali Tuhan
pemilik-Nya, pencipta-Nya dan distributor-Nya pada skala ruang dan jangka waktu
yang secara absolut dirancang oleh-Nya.
***
Seorang Bapak menyaksikan pemuda putranya berjalan mengitari
Ka’bah di tengah jejalan ribuan orang yang saling mendesak satu sama lain.
Tatkala muncul tujuan untuk berjalan menuju Hajar Aswad, muncul pulalah
tindakan untuk menyingkirkan, membelah, mempertandingkan kekuatan kaki, tangan
dan sikut.
Dan putra si Bapak itu gagal mencapai Hajar Aswad. Ia terseret
arus kembali melewati wilayah batu hitam. Pada putaran berikutnya ia berusaha
lagi dan terseret lagi. Demikian beberapa putaran ia berjuang dan tetap tak
berhasil membawa badannya mendekat ke Hajar Aswad.
Si Bapak menghampirinya, menuntun tangannya, mengajak minggir ke
tepian area seputar Ka’bah, semacam batas yang di atasnya melingkar terap-terap
Masjidil Haram. Si anak diajak duduk di lantai, menghela napas panjang melepas
lelah. Si Bapak bersila menghadap Ka’bah, menundukkan wajah, tampak
membaca-baca entah apa. Kemudian tiba-tiba menggamit putranya, mengajaknya
berwudlu kembali, tentu dengan tidak mudah mencapai tempat wudlu.
Kemudian kembali ke tepian di mana mereka tadi duduk. Si anak
dipersilahkan untuk melakukan shalat dua raka’at sambil si Bapak juga melakukan
hal yang sama. Setelah shalat si Bapak mengajak anaknya berdiri dan berjalan
mengikutinya. Si anak berjalan di belakang Bapaknya.
Si Bapak tidak berjalan dalam arus dan irama ribuan jamaah yang
berthawaf. Melainkan dari tepian area seputar Ka’bah itu ia berjalan lurus ke
arah Hajar Aswad. Si Bapak berjalan tidak cepat dan tidak lambat. Berjalan
biasa saja sebagaimana umumnya orang berjalan. Si Bapak dan anaknya yang
berjalan di belakangnya tidak perlu menyesuaikan langkahnya dengan sangat
banyak orang yang berjalan ke arah yang bersilangan dengan arah ke Hajar Aswad.
Langkah mereka tidak tersendat-sendat karena di depannya banyak orang lewat.
Tubuh mereka juga tidak bergeser ke kanan atau kiri atau berhenti sejenak
karena menunggu orang-orang yang lewat di depan mereka.
***
Mereka berdua menembus hujan Muthawwifin, ribuan orang yang
berjalan mengelilingi Ka’bah. Bukankah jumlah dan kerapatan orang-orang yang
berthawaf adalah sejenis hujan deras, meskipun arahnya tidak dari atas ke
bawah, melainkan dari kiri ke kanan?
Tapi tidak. Mereka berdua tidak menembus hujan deras Muthawwifin.
Mereka tidak berjalan di sela-sela hujan. Mereka tidak memiliki strategi untuk
tidak basah oleh guyuran hujan. Mereka tidak memiliki ilmu dan kesaktian untuk
menghindari perbenturan dengan ribuan orang yang berjalan silang.
Bapak dan anaknya itu tidak melakukan perjuangan apa-apa kecuali
melangkah berjalan saja. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kelihaian untuk
menghindari tabrakan. Mereka hanya berjalan. Hanya berjalan. Mereka tidak
bertabrakan, berbenturan atau bersenggolan dengan apapun.
Ketika tiba di Hajar Aswad, si Bapak menjulurkan kedua tangannya,
memegang batu itu bagian di atas yang biasa dicium oleh jutaan orang. Di antara
dua tangan yang menjulur dan berpegangan di batu itu dengan kedua kakinya
terdapat ruang yang lapang, dan si Bapak mempersilahkan anaknya untuk bergeser
ke ruang itu agar mencium Hajar Aswad.
Si Bapak mengatakan kepada anaknya cukup sebentar saja menciumnya.
Kemudian sesudah selesai anaknya mencium, si Bapak dan anaknya diangkat ke
belakang entah oleh siapa, dan mereka ditaruh kembali berpijak lantai sekitar
tiga meter dari Hajar Aswad.
Sekarang anak cucuku dan para jm mestinya bertambah pengertiannya
bahwa di bawah guyuran hujan, Tuhan menyediakan banyak kemungkinan: basah
kuyup, basah sedikit, atau tidak basah sama sekali. Terserah-serah Tuhan. Dan
jika hujan deras itu berlangsung di alamatmu sekarang, yakni di hutan belantara
yang gelap secara keseluruhan dan remang-remang sebagian: toh engkau sudah
selalu belajar tidak untuk menunggu atau menagih cahaya dari luar, melainkan
berikhtiar memancarkan cahaya dari dalam dirimu sendiri. []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar