Energi
Bangsa Habis Terkuras
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sebagai
seorang warga negara sepuh (81 tahun) dan sudah berada di pinggir kubur, saya
sangat prihatin dan cemas mengikuti perkembangan politik nasional selama
Oktober/Nopember 2016 ini. Dipicu oleh lidah Ahok yang tak terkontrol di Pulau
Pramuka di Kepulauan Seribu pada 27 Oktober 2016 dan reaksi MUI terhadapnya
bahwa Ahok menghina Alquran dan ulama telah menghebohkan panggung politik
nasional. Menyikapi pendapat MUI ini, publik terbelah dua: mendukung dan
menentang. Saya bersama mayoritas diam berada dalam kategori yang kedua.
Sebenarnya
perbedaan sudut pandangan dalam menyikapi sesuatu sah-sah saja, sekiranya
kultur politik bangsa ini cukup dewasa dan tidak mudah terpropokasi oleh muatan
syahwat politisi yang kecewa berat dengan pemerintah Jkw/JK. Liarnya lidah Ahok
dilawan oleh Demo 411 yang tumpah ruah ke Jakarta dengan mengusung slogan:
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPFM), padahal MUI sendiri tidak
menggunakan istilah fatwa. Akibatnya, energi bangsa nyaris terkuras habis
secara sia-sia. Sikap saling menghujat dalam sosial media (sosmed) sudah
berangkat teramat jauh melampaui batas-batas toleransi, keadaban, dan
mencederai kepentingan yang lebih besar: bangsa dan negara.
Saya
termasuk salah seorang yang dihujat habis-habisan karena berseberangan
dengan MUI, termasuk dilakukan oleh sebagian orang Minang, suku saya, dan
sebagian warga Muhammadiyah. Organisasi sosial keagamaan ini adalah tempat saya
berkiprah selama puluhan tahun. Karena pendapat saya yang dinilai melawan arus
di atas, bahkan ada warga Muhammadiyah meminta PP Muhammadiyah untuk memecat
saya sebagai anggota. Dari Batam ada orang yang menuduh saya sudah terlalu
banyak makan daging kondiak (bahasa Minang untuk babi). Ungkapan-ungkapan
kafir, munafik, terima sogok, dan yang sejenis itu dialamatkan kepada mereka
yang tidak sejalan dengan MUI. Sungguh dahsyat dan brutal.
Saya
berada di pusaran arus panas itu. Kelas intelektual semisal DR. Indra J.
Piliang, DR. Sumanto al-Qurtubi, K.H. Musthofa Bisri, Denny Siregar, dan
puluhan yang lain melalui sosmed tanpa diminta telah menjelaskan di mana posisi
saya dalam masyarakat dengan bantahan bahwa segala hujatan dan kutukan itu
tidak layak dan tepat sasaran. Tetapi karena publik telah terbelah tajam,
pikiran-pikiran jernih betapa pun tinggi nilainya dianggap angin lalu saja oleh
mereka yang sedang marah dan kalap, sekalipun ada di antaranya yang mulai
sadar.
Dalam
hati kecil, segala hujatan dan kutukan di atas, saya tanggapi biasa-biasa saja.
Adapun yang cukup merisaukan adalah kegaduhan dan prahara besar ini sengaja
ditompangi oleh kekuatan-kekuatan hitam dengan syahwat kekuasaan yang tak
terbendung yang bisa menjurus kepada tindakan makar terhadap pemerintah. Sinyal
ke arah itu dengan mudah dapat terbaca dalam media cetak, lebih-lebih dalam sosmed.
Pertanyaannya:
apakah kita ingin mempertaruhkan masa depan bangsa ini gara-gara seorang Ahok
dan MUI? Terlalu naïf dan ceroboh jika ada orang yang punya fikiran demikian.
Terlalu berjibun masalah lain yang lebih penting dari itu semua, seperti rasa
keadilan yang terkoyak dan kedaulatan bangsa yang melemah, khususnya di bidang
ekonomi dengan segala cabangnya. Semestinya energi kita dipusatkan untuk
memecahkan masalah-masalah besar yang akan menentukan hari depan kita semua.
Dengan
dijadikan Ahok sebagai tersangka, sesungguhnya proses hukum telah berjalan
sebagaimana semestinya dan tugas kepolisian selanjutnya diambilalih oleh
kejaksaan. Tetapi ada saja pihak yang tidak puas dengan proses ini, lalu
mengajukan pertanyaan: mengapa Ahok tidak ditahan? Memang Ahok dapat ditahan
dan dapat juga tidak ditahan berdasarkan tafsiran atas undang-undang.
Alhamdulillah, sekarang suhu politik mulai mereda, sekalipun suara-suara
keras masih saja diteriakkan yang katanya akan diteruskan dengan demo yang ketiga
pada 25 Nop. 2016, sesuatu yang diragukan bakal terjadi.
Pernyataan
MUI yang dijadikan pintu masuk oleh mereka yang sedang marah telah memunculkan
aktor radikal yang masif. Presiden Jokowi tampaknya cukup risau dengan
perkembangan ini. Sebagai antisipasi, presiden melakukan safari konsolidasi
dengan mengunjungi pusat-pusat pertahanan negara. Safari politik presiden ini
ditafsirkan sementara pihak sebagai indikasi bahwa situasi negara memang
mengkhawatirkan, sementara pihak yang lain memandangnya agak berlebihan.
Akhirnya,
untuk merawat hari depan bangsa ini agar bertahan lama sungguh diperlukan
suasana hati yang teduh, pikiran yang jernih, dan jiwa besar dalam menghadapi
perbedaan pandangan. Tanpa itu, bangsa ini benar-benar bisa menjadi bangsa kuli
yang hina-dina. []
REPUBLIKA,
22 November 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar